Sementara itu, Ketua Harian DPP Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan kebijakan yang diambil Edhy tidak membuat nelayan lebih sejahtera dari sebelumnya. Pasalnya, pembudidaya harus bersaing dengan perusahaan besar yang hendak mengekspor benih lobster.
"Jadi, tidak ada upaya untuk menjaga agar ada ketersediaan benih. Nelayan dan pembudidaya harus berkompetisi dengan pembeli-pembeli lobster yang untuk diekspor," kata Dani.
Selain itu, pembudidaya terpaksa mendapatkan benih lobster dengan harga mahal. Dengan demikian, modal yang dikeluarkan lebih besar dari sebelumnya. "Tidak ada kestabilan pasokan benih lobster," imbuh Dani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, ia berharap kebijakan perikanan di zaman Edhy akan membawa keuntungan bagi nelayan. Namun, nyatanya tidak begitu.
"Setelah aturan direvisi, ternyata motif utamanya bukan dorong budidaya, tapi berikan keuntungan kepada pengusaha yang punya izin untuk ekspor benihnya," jelas Dani.
Dani menyarankan pemerintah menyetop dulu kebijakan ekspor benih lobster untuk beberapa waktu ke depan. KKP, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas hal ini, harus melakukan evaluasi mengenai dampaknya bagi seluruh pihak khususnya nelayan.
"Apakah ini bisa buat nelayan sejahtera, apakah lingkungan bisa terjaga, orang tidak ribut di bawah. Mereka yang sebelumnya bisa beli lobster, sekarang susah karena ada kepentingan ekspor," tutur Dani.
Selain itu, pemerintah harus mengusut tuntas celah korupsi dari kebijakan ekspor benih lobster. Hal itu khususnya terkait dengan perizinan ekspor benih lobster kepada perusahaan.
Sependapat, Piter juga menyarankan pemerintah kembali melarang ekspor benih lobster. Lebih penting, pemerintah membangun industri hulu sampai hilir untuk lobster.
Hal tersebut akan jauh menguntungkan ketimbang hanya mengekspor benih. Kalau sekarang, devisa memang akan bertambah dari kegiatan ekspor benih lobster, tapi efeknya hanya akan terasa hanya untuk jangka pendek.
"Kalau benih tumbuh menjadi lobster, maka akan ada kesinambungan dan bisa menciptakan lapangan kerja yang sangat luas," terang Piter.
Sementara, Zenzi menawarkan solusi jika pemerintah ngotot tetap mengizinkan ekspor benih lobster. Menurutnya, pemerintah bisa memberikan pelatihan dan fasilitas kepada nelayan agar bisa melakukan budidaya dan penetasan di darat.
"Jadi diambil induknya, lalu dibuat menetas di darat. Ini teknologinya belum ada di Indonesia," imbuh Zenzi.
Namun, ia mengingatkan jangan sampai semua lobster yang ditangkap untuk dibudidaya. Hal ini agar masih ada lobster yang hidup di laut.
Sebagai gambaran, nelayan bisa menangkap beberapa induk lobster di laut. Namun, sebagian lobster dibiarkan berada di laut untuk bertelor dan benihnya menjadi sumber makanan untuk ikan lain.
Kemudian, induk lobster yang ditangkap tadi dibudidaya di daratan. Budidaya dilakukan sampai lobster dapat bertelor.
Setelah bertelur, nelayan harus membuat lobster itu menetas dan menjadi benih. Nantinya, benih itu yang akan diekspor.
"Kalau yang bertelur di laut jadi makanan ikan lain, lalu yang penetasan di darat bisa untuk kuota ekspor," terang Zenzi.
Dengan solusi itu, ekosistem di laut tetap bisa terjaga karena sumber makanan untuk populasi 14 jenis ikan lainnya tetap tersedia. Sementara, pemerintah tetap bisa mengekspor benih lobster dari penetasan di daratan.
(aud/bir)