Lika-liku Pengusaha Tionghoa Cari Cuan Kala Pandemi

CNN Indonesia
Jumat, 12 Feb 2021 11:02 WIB
Pandemi covid-19 memukul hampir semua sektor ekonomi, tak terkecuali bisnis yang dibangun oleh pengusaha keturunan Tionghoa. Berikut kisahnya.
Pandemi covid-19 memukul hampir semua sektor ekonomi, tak terkecuali bisnis yang dibangun oleh pengusaha keturunan Tionghoa. (CNNIndonesia/Elisa Valenta Sari).
Jakarta, CNN Indonesia --

"Saat dengar PSBB, lockdown, aktivitas dibatasi, mobilitas dibatasi, jujur itu langsung mengkhawatirkan," ujar Eddy Hussy membuka percakapan dengan CNNIndonesia.com.

Pengusaha nasional keturunan Tionghoa itu mengaku khawatir karena pembatasan sosial dalam rangka menahan laju penyebaran covid-19 bukan tidak mungkin akan membuat orang menahan diri untuk membeli properti, bidang usaha yang ditekuninya sejak puluhan tahun.

Dampaknya, ada bayang-bayang penurunan nilai bisnis hingga kerugian. Benar saja, tak perlu waktu lama, mantan ketua umum Real Estate Indonesia (REI) itu pun mengaku bisnisnya babak belur karena pandemi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Turun itu ada lah pasti, turun iya, meski puji Tuhan, syukur Alhamdulillah kita akhirnya bisa manage," kata Anggota Dewan Kehormatan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) ini melalui sambungan telepon.

Sayangnya, Eddy masih enggan membagi rinci seberapa jauh penurunan bisnis yang dialaminya. Namun ia memastikan bidang usahanya terpukul karena properti merupakan salah satu sektor yang tertekan di pandemi bersama pariwisata, hotel, restoran, dan lainnya.

Tengoklah catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Sektor konstruksi minus 3,26 persen sepanjang tahun lalu.

"Ini tidak bisa dibilang properti mana yang turun banget, semua turun, semua kena, tidak ada segmen (properti) yang turun drastis sendiri, semuanya turun," ucap pria kelahiran Tanjung Pinang, 22 Juni 1959 itu.

Bahkan, baginya, krisis ekonomi akibat pandemi memberikan dampak penurunan yang lebih besar krisis moneter 1998 dan krisis keuangan 2008. Pasalnya, kedua krisis berlangsung tidak terlalu panjang dan tidak menyerang semua lini bisnis.

Malah, baginya, dampak krisis ekonomi akibat covid-19 seperti era 2015-2016. Kala itu, sektor properti juga terkena pukulan berat karena kebijakan perubahan rasio pinjaman (Loan to Value/LTV).

Bank Indonesia (BI) saat itu memberlakukan ketentuan LTV 30 persen sampai 50 persen. Hal itu ibarat badai bagi sektor properti karena menurunkan gairah masyarakat untuk memiliki properti lantaran harus menyiapkan uang muka (down payment/DP) besar.

Padahal, mengumpulkan DP butuh waktu yang tak sebentar. Sedangkan kebutuhan properti mungkin sudah mendesak.

"Bank memang tetap menyalurkan saat itu, tapi dampak penurunannya kami rasakan karena orang jadi tidak gampang lagi untuk beli properti," tuturnya.

Ia kini hanya bisa berharap program vaksinasi covid-19 bisa benar-benar berhasil dan cepat menyembuhkan pandemi di tanah air. Ujung-ujungnya, sektor properti yang selama ini digelutinya melalui PT Ekadi Trisakti Mas, PT Rezeki Graha Mas Utama, hingga PT Mustika Anugerah Semesta (MAS), kembali bergairah.

Omzet Turun

Potret beratnya lika liku bisnis di tengah pandemi rupanya tak hanya dialami Eddy. Linda, perempuan kelahiran Pangkal Pinang pada 1970 yang juga memiliki darah keturunan Tionghoa juga mengalaminya.

Bahkan, jatuh bangun mengembangkan bisnis sudah dirasakannya sejak era krisis moneter 1998. Kala itu bisnis kakaknya terpukul oleh aksi kerusuhan massa.

Pada 1998, Linda baru merantau dari Pangkal Pinang ke Jakarta bersama suaminya. Ia tinggal di kawasan Tanjung Duren dan membuka usaha toko kelontong di sebuah Pasar Jaya yang tak jauh dari rumahnya.

Saat krisis moneter terjadi dan kerusuhan terjadi, tokonya menjadi salah satu yang terdampak. "Tidak dijarah memang, tapi akses masuk tidak diberi, katanya 'lebih baik Nci tidak ke pasar dulu, bahaya', begitu kata kakak saya," ungkapnya sembari mengingat kejadian sekitar 20 tahun silam.

Kira-kira sekitar dua minggu toko tidak dibuka. Ia pun hanya makan seadanya di rumah sesuai stok bahan pangan yang tersedia, karena anggota keluarga tak berani ke luar saat kerusuhan terjadi.

"Soalnya kan ada chinese-nya, orang tahu, takut diapa-apain kalau keluar," ucapnya.

Usai kerusuhan, toko memang bisa dibuka lagi, tapi pembeli menurun karena tekanan daya beli masih menghantui. Butuh sekitar tiga tahun katanya untuk benar-benar merasakan pemulihan ekonomi.

"Karena setelah itu masih belum pulih benar, orang beli tapi harga-harga masih belum stabil, untung juga belum terus-terus ada," imbuhnya.

Lepas dari krisis 1998, keuangan keluarga tiba-tiba bergejolak lagi karena butuh dana besar untuk pengobatan suami yang sakit ginjal pada 2018. Toko pun kadang harus rela ditutup karena perlu mengantar suami berobat.

Malang, nyawa suaminya tak bisa ditolong dan meninggal pada 2019. Linda pun harus berjuang mengurus toko seorang diri dan mengurus satu orang anak yang akan masuk perguruan tinggi.

Sayangnya, baru ingin berharap 2020 bisa menjadi tahun yang baru setelah cobaan besar datang, pandemi covid-19 rupanya menghampiri.

"Langganan saja jadi tidak datang ke toko, takut katanya karena di pasar ramai. Ada beberapa masih beli yang tukang nasi goreng, tukang ketoprak, tapi ya tidak bisa andalkan itu, turun terus omzetnya," ujarnya.

Saat ini saja, kata Linda, omzet yang dikantongi sehari hanya sekitar Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Padahal, biasanya bisa mencapai Rp5 juta sampai Rp7 juta per hari.

[Gambas:Video CNN]

Ia pun sudah menyiasati keuangan dengan mengurangi satu dari dua pekerja yang ada. "Terpaksa satu saya tidak pekerjakan lagi, karena tokonya sepi, sekarang tinggal satu," katanya.

Linda pun hanya bisa berharap pandemi segera berakhir agar keuangan keluarga yang kini jadi tanggung jawabnya sendiri bisa diperbaiki lagi. Begitu juga dengan toko yang sudah puluhan tahun dibangun bisa tetap menghasilkan cuan.

(uli/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER