Kementerian Ketenagakerjaan mengizinkan industri padat karya yang terdampak pandemi covid-19 melakukan penyesuaian upah buruh sampai 31 Desember 2021.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Namun, penyesuaian upah hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh. Kemudian, ada beberapa kriteria industri padat karya yang bisa melakukan penyesuaian upah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kriteria itu, antara lain memiliki buruh minimal 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi minimal 15 persen.
Sektor industri padat karya yang dapat melakukan penyesuaian upah pun terbatas pada makanan, minuman, dan tembakau, tekstil dan pakaian jadi, kulit dan barang kulit, alas kaki, mainan anak, dan furnitur.
"Permenaker ini dibuat agak perusahaan yang terdampak covid-19 tidak membuat keputusan sepihak terkait hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hal pengupahan," tulis Serdirjen Perhubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kemenaker Adriani kepada CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).
"Dalam hal terjadi penyesuaian upah, maka itu bukan berarti pengurangan upah. Tetapi, penyesuaian upah dengan waktu kerja yang juga tidak normal. Dapat terjadi pengurangan jam kerja atau perusahaan tidak beroperasi sama sekali," lanjut dia.
Kebijakan ini tentu akan merugikan buruh. Jika terjadi penyesuaian upah karena jam kerja atau pun perusahaan berhenti beroperasi, maka kantong mereka akan semakin kempes di tengah pandemi covid-19. Paling parah, pendapatan mereka benar-benar hilang.
Menanggapi hal ini, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menyebut industri memang menderita selama masa pandemi ini. Namun, bukan berarti pemerintah harus mengeluarkan kebijakan seperti ini. Sebab, buruh bakal semakin mengencangkan ikat pinggang mereka.
Yang paling jelas, konsumsi buruh akan turun. Jumlah penurunannya diprediksi sejalan dengan potongan upah jika jam kerja dikurangi oleh perusahaan. "Bisa juga lebih dari itu karena buruh semakin mengencangkan ikat pinggang," kata Fithra kepada CNNIndonesia.com, dikutip Kamis (18/2).
Penurunan konsumsi buruh otomatis akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi rumah tangga nasional. Ujung-ujungnya, bakal mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional. "Bicara konsumsi, konsumsi kan menjadi kontributor terbesar untuk ekonomi," ucap Fithra.
Dengan kata lain, dampak dari kebijakan pengupahan industri padat karya di masa pandemi ini bukan hanya pada buruh, tapi juga ekonomi secara keseluruhan. Padahal, pemerintah sedang berupaya membangkitkan lagi ekonomi domestik pasca dihantam pandemi covid-19.
Menurut Fithra, Kemenaker salah menerbitkan kebijakan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif kepada industri untuk membantu manajemen membayar upah ke buruh.
"Upah ini tidak naik saja bisa masalah, apalagi kalau turun. Intervensi pemerintah, tidak boleh diturunkan. Pemerintah bisa kasih ke industri, misalnya industri menanggung 75 persen, sisanya pemerintah," ujarnya mencontohkan.
Toh, ia menilai keuangan pemerintah masih memungkinkan untuk menyalurkan insentif baru. Pemerintah bisa saja melakukan realokasi anggaran atau menarik utang baru.
Konsekuensinya, utang pemerintah akan naik dan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan semakin membengkak. Tetapi, ini harus dilakukan demi menyelamatkan ekonomi dalam negeri.
"Untuk jangka pendek memang perlu ditopang ongkos yang mahal, harus dilakukan. Kalau tidak, ekonomi tidak bisa bangkit," ucap Fithra.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan pendapatan buruh berpotensi turun dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini akan membuat kemampuan buruh untuk berbelanja lebih rendah lagi dari sebelumnya.
"Konsumsi buruh turun, khususnya buruh yang bekerja di industri-industri padat karya yang disebut dalam aturan Kementerian Ketenagakerjaan itu," tutur Josua.
Namun, kabar baiknya, menurut dia, kebijakan ini akan mengurangi potensi perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasalnya, beban operasional perusahaan akan berkurang. "Kalau diperhatikan, untuk bisa mempertahankan tidak ada PHK, ya pilihannya mengurangi upah buruh," jelasnya.
Oleh karena itu, Josua menganggap kebijakan pengupahan buruh industri padat karya di masa pandemi saling menguntungkan, baik bagi pekerja dan pengusaha. Dengan catatan, penyesuaian pengupahan hanya bersifat sementara.
Bagi perusahaan, keuntungan dari kebijakan itu sebenarnya tidak terlalu signifikan. Penyesuaian upah buruh hanya bisa membantu perusahaan bertahan, bukan untuk mengembalikan kinerja perusahaan kembali seperti sebelum ada pandemi.
"Ongkos operasional turun tapi kan penjualan, permintaan masih turun. Harapannya cuma bisa bertahan," terang Josua.