Investasi Miras Seumur Jagung Bukti Inkonsistensi Kebijakan
Izin investasi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol seumur jagung. Cuma satu bulan sejak diundangkan pada 2 Februari 2021, izin investasi miras dicabut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kebijakan itu menuai kontra sejak dibuka secara terbatas dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat (ormas) keras menolak lantaran pembukaan keran investasi miras dinilai banyak mendatangkan mudarat ketimbang maslahat.
Setelah dihujani kritik, Jokowi pun luluh. Kepala negara membatalkan izin investasi miras dalam lampiran III Perpres 10/2021.
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat serta tokoh-tokoh agama yang lain, saya sampaikan lampiran perpres pembukaan investasi baru industri minuman keras mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ucap Jokowi dalam konferensi pers, Selasa (2/3).
Kebijakan seumur jagung ini mengindikasikan pemerintah belum konsisten dalam merilis sebuah regulasi termasuk mengenai perizinan investasi.
Meskipun dalam perkara miras ini, pemerintah berupaya mendengar aspirasi dari masyarakat. Namun, idealnya sebuah kebijakan lahir setelah menyerap aspirasi semua pemangku kepentingan terkait, pihak-pihak terdampak, serta masyarakat, bukan sebaliknya.
"Memang ini salah satu cerminan pemerintah masih belum konsisten benar, masih tarik ulur, kebijakan ini belum berdasarkan kajian yang kuat," ungkap Ekonom Core Indonesia Piter Abdullah Redjalam kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/3).
Beruntungnya, izin investasi miras dicabut sebelum ada rencana penanaman modal masuk. Sehingga, dampak terhadap kepercayaan investor tidak akan signifikan. Beruntungnya lagi, secara umum investasi miras tidak terlalu berarti bagi pasar Indonesia.
"Ini akan berdampak negatif kepada investor kalau UU ini sudah dilaksanakan, sudah ada yang investasi, tapi tahu-tahunya pemerintah menarik kembali (izin investasi), kalau ini kan implementasinya belum," ucapnya.
Namun, yang perlu menjadi catatan, sambung Piter, pemerintah perlu konsisten dalam membuat kebijakan ke depan. Tujuannya, memberikan kepastian iklim investasi bagi para pemilik modal demi melengkapi upaya pemerintah mendorong investasi melalui penerbitan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja.
"UU Cipta Kerja itu sudah kurangi banyak hambatan dalam investasi, tapi UU Cipta Kerja itu tidak mengatasi semuanya. Salah satu yang tidak teratasi adalah terkait dengan konsistensi kebijakan. Walaupun sudah ada UU Cipta Kerja, pemerintah harus benar-benar berupaya konsisten dalam kebijakannya," imbuh Piter.
Senada, Ekonom Indef Tauhid Ahmad menuturkan investor membutuhkan kepastian hukum, mulai dari perizinan, perpajakan, tenaga kerja, dan sebagainya. Kepastian hukum untuk melindungi usahanya dalam jangka panjang.
Karenanya, sebuah regulasi sebelum diundangkan harus dikaji secara matang dari berbagai aspek, mulai dari sisi ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Sayangnya, ia menilai kajian mendalam tersebut tidak ditemukan pada UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, termasuk izin investasi miras yang baru dicabut.
Ia menduga hal tersebut disebabkan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya merevisi banyak pasal dalam undang-undang (uu) dan peraturan pemerintah (pp).
Namun, semua prosesnya dikerjakan dalam waktu terbilang singkat, sehingga kualitas regulasinya kurang baik.
"Belum ada kajian akademik, tahu-tahu yang ditutup (bidang usaha) hanya enam bidang saja. Ini yang membuat regulasi yang baru, tidak cukup mampu menampung fenomena kritik dan protes yang terjadi di masyarakat. Akhirnya, produk yang diundangkan menjadi prematur, tidak efektif, bahkan saat implementasi sulit dilakukan, khususnya miras ini. Itu yang harus diperbaiki," ucapnya.
Apabila kejadian ini kembali berulang, kekhawatirannya dapat mempengaruhi kepercayaan investor kepada iklim investasi di Indonesia. Pasalnya, kebijakan prematur rentan digugat ke Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pihak berseberangan.