Jakarta, CNN Indonesia --
Jakarta dinobatkan menjadi kota termahal ke-20 dari 25 kota di dunia pada 2021 versi laporan Bank Julius Baer's Global Wealth and Lifestyle Report 2021. Dilansir dari CNBC, laporan ini merinci beberapa barang yang dinilai sangat mahal di Jakarta.
Dalam riset tersebut, Jakarta termasuk kota yang mahal untuk membeli whisky, tas wanita, dan mobil. Namun, Jakarta menjadi kota yang menawarkan harga terjangkau untuk properti, alat olahraga, jam tangan, perhiasan, makan malam, asuransi, jasa pengacara dan operasi lasik.
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan transformasi ibu kota menjadi salah satu kota termahal di dunia merupakan konsekuensi dari interaksi global. Ini menyebabkan proses konvergensi atau pertemuan antara tren kota di negara maju dengan negara berkembang termasuk Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil dari proses konvergensi itu, kata dia, adalah kenaikan upah pada sejumlah sektor yang mendapatkan pengaruh global. Kondisi ini pun diikuti dengan kenaikan daya beli pekerja pada sektor tersebut.
Ujung kenaikan daya beli tersebut diikuti oleh pertumbuhan harga barang maupun jasa di Jakarta.
"Interaksi kita semakin intensif dengan negara maju lewat arus investasi datang, ekspatriat ke Jakarta, perusahaan multinasional sudah hadir di negara berkembang sehingga di beberapa sektor itu meningkatkan pendapatan secara cukup signifikan. Dengan pendapatan meningkat otomatis daya beli meningkat," terangnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/4).
[Gambas:Video CNN]
Sayangnya, Fithra menilai ada perkembangan yang tidak proporsional apabila ditengok dari sisi sektoral. Ia menuturkan sektor jasa dan keuangan tumbuh melebihi rata-rata sektor lainnya.
Menurutnya, hal itu yang menyebabkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp4,41 juta tahun ini, cenderung lebih rendah dibandingkan sejumlah kota lain di sekitarnya.
Pasalnya, ia menuturkan perhitungan UMP tersebut banyak dipengaruhi oleh keberadaan sektor industri manufaktur di suatu wilayah.
Sedangkan, perekonomian di DKI Jakarta banyak dipengaruhi oleh sektor jasa dan keuangan. Sebagai perbandingan, UMP di Kabupaten Bekasi senilai Rp4,79 juta dan Kota Bekasi Rp4,78 juta.
Kedua kota tersebut berbasis industri manufaktur.
"UMP itu lebih banyak ke sektor manufaktur. Nah, masalahnya kalau industri manufaktur itu memang naik terus tren kenaikan upahnya. Tapi kalau bicara pertumbuhan sektoral, pertumbuhan produktivitas (industri manufaktur) itu bukan yang paling tinggi. Itu sering kalah dengan jasa sehingga tumbuhnya disproporsional," jelasnya.
Menurutnya, mahalnya harga barang di Jakarta menimbulkan ketimpangan yang dapat diukur melalui gini ratio. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat DKI Jakarta merupakan salah satu dari tujuh provinsi dengan gini ratio tinggi, yaitu 0,400 per September 2020.
Selain DKI Jakarta, enam provinsi lain yang memiliki tingkat gini ratio tinggi, alias ketimpangan tinggi yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (0,437), Gorontalo (0,406), Jawa Barat (0,398), Papua (0,395), Sulawesi Tenggara (0,388), dan Nusa Tenggara Barat (0,386).
Seperti diketahui, ukuran gini ratio adalah berkisar antara nol yang berarti pemerataan sempurna, hingga satu yang mewakili ketimpangan sempurna. Sementara itu, secara nasional ratio gini tercatat sebesar 0,399, naik dibanding gini ratio Maret 2020 yang sebesar 0,393 dan September 2019 sebesar 0,391
Fithra mengatakan ketimpangan di DKI Jakarta disebabkan kenaikan upah, buah dari konvergensi global seperti disebutkan sebelumnya, hanya dinikmati oleh sejumlah sektor saja. Terutama jasa dan keuangan.
"Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, meskipun koefisien gini ratio kita dalam keadaan yang baik, tapi kecenderungan meningkat, ada ketimpangan kota besar dan kota kecil," jelasnya.
Dalam jangka panjang, ia mengatakan kondisi ketimpangan tersebut bisa mengakibatkan golongan milenial maupun masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah terpinggirkan dari ibu kota. Saat ini fenomena itu sudah terlihat.
Mereka mulai minggir ke daerah penyangga DKI Jakarta yang notabene harga barangnya lebih murah ketimbang ibu kota.
Sebagai contoh, kaum milenial cenderung membeli properti di kawasan penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
"Sekarang orang muda tidak tinggal lagi di Jakarta, mereka pindah ke pinggir karena tidak mampu lagi beli properti atau tanah di Jakarta. Bahkan, pada 2020 pertumbuhan properti di Asia jauh lebih tinggi dari Eropa, Jakarta bahkan setingkat di bawah Miami, AS," paparnya.
Menurutnya, lambat laun apabila kondisi tersebut dibiarkan maka potensi ketimpangan pun semakin melebar. Namun, di sisi lain ada dampak positif dari kondisi tersebut.
Sebab, perpindahan sejumlah masyarakat ke kawasan pinggiran diprediksi mampu menggerakkan perekonomian di daerah itu. Selain itu, pertambahan penduduk di daerah penyangga diharapkan mampu mendorong datangnya investasi ke wilayah itu.
"Aktivitas ekonomi jauh lebih merata, dengan Jakarta dulu sebagai center (pusat), sekarang aktivitas ekonomi mulai spillover (tersebar) ke daerah penopang di Bodetabek," tuturnya.
Terpisah, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai posisi Jakarta sebagai peringkat ke-20 kota termahal di dunia adalah wajar. Alasannya, sebagai kota metropolitan, ibu kota merupakan pusat peredaran uang di Indonesia.
Dirangkum dari berbagai sumber, sebesar 70 persen perputaran uang Indonesia berada di DKI Jakarta.
"Untuk Jakarta daya beli cukup kuat, contoh selama pandemi ini masyarakat menengah ke atas masih punya daya beli," tuturnya.
Sepakat dengan Fithra, ia mengatakan konsekuensi dari banyaknya peredaran uang di Jakarta sebagai kota termahal adalah ketimpangan penduduk. Terlebih, Indonesia tidak memiliki sistem pengendalian perpindahan penduduk dari kota ke desa, serta sebaliknya seperti di China.
Pemerintah China memberlakukan sistem Hukou, atau pendataan keluarga. Dengan sistem Hukou ini, warga pedesaan China tidak boleh asal pindah dan tinggal menetap di kota, begitu juga sebaliknya.
"Kita daerah terbuka, tidak seperti di China dengan sistem kuota masyarakat, jadi tidak bisa urbanisasi dengan mudah. Kalau kita, daerah yang mungkin minus bisa melakukan urbanisasi, makanya itu pentingnya pemerataan pembangunan di daerah, sehingga tidak terpusat di Jakarta," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus mengambil sikap mengendalikan perpindahan penduduk ke Jakarta, sehingga mengurangi ketimpangan di ibu kota. Dalam hal ini, pemerintah bisa memanfaatkan perkembangan teknologi digital yang memungkinkan kegiatan ekonomi berlangsung di pedesaan lewat bantuan digitalisasi.
Pasalnya, sepakat dengan Fithra, apabila pusat perekonomian terpusat hanya di Jakarta maupun kota besar lainnya, maka jurang ketimpangan semakin lebar.
"Tentu ada dampak sosial kalau arus urbanisasi semakin besar di Jakarta, sering ada suara di daerah mengenai ketidakadilan. Makanya, pembangunan seperti dikatakan pemerintah seharusnya dari pinggiran, seperti negara lain mereka memberdayakan juga desa sehingga pusat pertumbuhan disebar," katanya.