ANALISIS

Pinjol, Antara Manfaat Cepat Dapat Utang dan Segala Risikonya

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 19 Mei 2021 07:33 WIB
Di balik keberadaan pinjol yang memberikan manfaat berbentuk kecepatan mendapatkan utang, ada risiko yang harus diperhatikan. Berikut ulasannya.
Keberadaan pinjol ilegal masih saja marak meski Satgas Waspada Investasi telah banyak melakukan pemblokiran. Ilustrasi. ((CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Keberadaan penyelenggara fintech peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol) ilegal masih marak. Menjelang lebaran lalu, Satgas Waspada Investasi (SWI) kembali memblokir 86 pinjom ilegal.

Padahal, sepanjang 2020 lalu, sudah ada 1.200 fintech bodong yang ditutup. Satgas dalam pernyataan pemblokiran itu menyatakan fintech ilegal yang baru mereka blokir itu muncul memanfaatkan momentum peningkatan kebutuhan masyarakat menjelang lebaran kemarin.

"Fintech lending dan penawaran investasi ilegal ini masih tetap muncul di masyarakat. Menjelang Lebaran dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan agar tidak menjadi korban," tutur Ketua SWI Tongam Lumban Tobing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengakui salah satu mudarat menjamurnya pinjol adalah kemunculan pinjol ilegal. Meski Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi sudah berulang kali memblokir aplikasinya, pinjol ilegal terus bermunculan dengan nama-nama baru.

"Dalam beberapa tahun terakhir ini seiring perkembangan aplikasi digital muncul fintech ilegal, ini kalau sudah diblokir dengan satu nama, dia akan muncul lagi dengan nama yang beda, tapi modelnya tetap sama," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/5).

Ia mengatakan sebenarnya mudah mengidentifikasi pinjol ilegal. Salah satu indikasi pinjol ilegal adalah bunga kredit tinggi. Namun, di sisi lain ia menawarkan kemudahan pencairan dana, sehingga bisa siapa pun yang kepepet, kerap kali mengabaikan itung-itungan bunga kredit, asalkan uang cepat diterima.

Bhima mengatakan belum ada regulasi spesifik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai bunga pinjol. Untuk saat ini, ketentuannya baru sebatas dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menetapkan batas maksimal biaya atau bunga pinjaman sebesar 0,8 persen.

AFPI juga memberikan pembatasan maksimal bagi para penyelenggara untuk tidak menerapkan biaya pinjaman berupa beban bunga, denda, administrasi, dan lain-lain sampai hari ke-90. Lebih dari hari ke-90, biaya pinjaman adalah maksimal 100 persen dari pinjaman pokok.

Misalnya, pinjaman pokok Rp1 juta, bila peminjam menunggak lebih dari 90 hari, maka peminjam wajib mengembalikan maksimal Rp2 juta. Fintech tidak dapat menagih lebih dari itu. Sayangnya, aturan itu baru sebatas anggota AFPI saja. Sedangkan pinjol ilegal masih mematok tarif lebih tinggi.

"Tidak ada aturan spesifik tentang bunga yang wajar, maka pinjol bisa saja bunganya lebih tinggi dari pinjaman bank yang paling tinggi risikonya seperti BPR atau koperasi. Bisa jadi ada fintech yang memberikan bunga sampai 40 persen setahun," ujarnya.

Mudarat lainnya, lanjut Bhima, belum ada aturan mengenai perlindungan data pribadi. Sehingga pinjol terlebih yang ilegal bisa mengakses data debitur dalam handphone secara ilegal.

Saat ini, OJK baru mengatur bahwa pinjol hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi debitur.

Namun, belum ada aturan spesifik mengenai perlindungan data pribadi. Wilayah abu-abu ini dimanfaatkan oleh pelaku pinjol ilegal untuk mengakses data debitur secara ilegal, serta memanfaatkannya untuk penagihan dengan cara teror yang tidak pantas.

Kasus terbaru menimpa Melati (bukan nama sebenarnya) yang terjerat utang pinjol hingga Rp40 juta dari 24 aplikasi. Mantan guru Taman Kanak-kanak (TK) itu harus menghadapi teror pesan dengan kalimat yang tidak pantas, menjadi omongan di lingkungannya, dipecat dari pekerjaannya, hingga diancam dibunuh oleh debt collector (penagih utang) karena ketiadaan aturan itu.

"Jadi, masih banyak ruang yang belum diregulasi oleh OJK," ucapnya.

Sepakat, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyatakan mudarat pinjol ilegal melebihi lintah darat karena bunganya sangat besar. Terlebih, apabila debitur menunggak pembayaran.

Mereka bisa dipermalukan dengan menghubungi semua kontak pada handphone secara ilegal seperti yang terjadi pada kasus Melati.

"Bahkan, foto-foto kita diambil dan disebar dengan label sebagai penjahat yang kabur tidak membayar pinjaman," ujarnya.

Namun, di balik semua mudarat fintech ilegal tersebut, ada sejumlah manfaat dari kehadiran pinjol legal. Ia mengatakan pinjol bisa memberikan kemudahan akses pendanaan bagi masyarakat masih belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable).

Dengan demikian, kalangan unbankable itu bisa mendapatkan pendanaan dari pinjol untuk kepentingan mendadak. Bank Indonesia (BI) mencatat golongan unbankable tersebut mencapai 91,3 juta orang pada 2020 lalu.

"Tidak perlu agunan seperti kita pinjam ke bank," ucapnya.

Sementara itu, Bhima menuturkan manfaat pinjol lainnya adalah kecepatan akses yang tidak dimiliki oleh bank. Penarikan pinjaman lewat pinjol bisa dilakukan dalam 24 jam selama tujuh hari lantaran memanfaatkan layanan digital.

Dari sisi tenor pinjaman, pinjol menawarkan tenor yang lebih singkat dibandingkan bank yakni dimulai dari dua minggu sampai dengan tiga minggu. Pun demikian, plafon pinjaman yang relatif lebih terjangkau wong cilik kalangan unbankable.

"Plafon pinjaman bisa disesuaikan, bahkan yang paling kecil ada pinjaman di bawah Rp10 ribu untuk beli pulsa, bank tidak bisa masuk ke situ," ucapnya.

Dorong Usaha Cilik

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER