Ancaman Penurunan Manfaat Asuransi di Balik PPN Dokter
Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pelayanan kesehatan medis. Sebelumnya layanan ini bebas PPN.
Rencana itu tertuang dalam rancangan perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Kalau rencana itu direalisasikan maka sejumlah layanan rumah sakit mulai dari dokter umum hingga persalinan bakal kena pajak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2012, yang termasuk dalam jasa pelayanan kesehatan medis diantaranya jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. Kemudian, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisioterapi, dan jasa dokter hewan.
Selanjutnya, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium jasa psikologi dan psikiater, hingga jasa pengobatan alternatif.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menuturkan rencana tersebut membuka peluang kenaikan premi dan penurunan manfaat asuransi kesehatan swasta. Pasalnya, PPN berpotensi dibebankan pada asuransi kesehatan di luar BPJS Kesehatan.
Menurutnya, hal tersebut justru akan membebani peserta asuransi kesehatan.
"Berarti pertanggungan akan berkurang, misalnya pertanggungan awal Rp1.000 karena PPN menjadi Rp900, akibatnya tertanggung tidak mendapatkan hak penuh karena dipotong PPN. Bisa saja konsekuensi supaya tertanggung manfaatnya tetap Rp1.000 maka iuran premi dinaikkan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/6).
Menurutnya, kenaikan iuran premi maupun penurunan manfaat sah-sah saja dilakukan perusahaan asuransi kesehatan swasta. Pasalnya, sesuai dengan hukum ekonomi, pungutan PPN akan menambah biaya yang ditanggung masyarakat.
Namun, ia menyayangkan kebijakan tersebut direncanakan saat kondisi perekonomian rakyat masih terdampak pandemi yang hingga kini belum jelas kapan berakhirnya.
"Itu sah-sah saja hukum ekonomi tapi dalam kondisi sekarang orang berusaha ya sudah jangan orang jatuh ketiban tangga lalu ketiban tangga lagi," ujarnya.
Selain membebani peserta asuransi, lanjutnya, pungutan PPN juga akan memberatkan perusahaan asuransi sendiri. Biaya operasional perusahaan berpotensi terkerek naik dengan pungutan PPN.
Tak hanya layanan kesehatan yang ditanggung swasta, pengenaan PPN tersebut juga bisa menyasar layanan medis yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Menurut Ronny, hal tersebut berdampak pada beban keuangan BPJS Kesehatan karena harus menyetor tarif pajak kepada negara.
"Kalau memang BPJS Kesehatan dikenakan berarti pemerintah motong haknya (mengambil PPN) dari BPJS Kesehatan," jelasnya.
Di sisi lain, keuangan BPJS Kesehatan sendiri masih sakit. Beberapa waktu lalu, Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan kondisi keuangan pengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sebetulnya masih defisit Rp6,36 triliun per 31 Desember 2020.
Ia menjelaskan BPJS Kesehatan memang mengalami surplus. Namun, itu merupakan surplus arus kas sebesar Rp18,74 triliun.
Padahal, BPJS Kesehatan masih memiliki komponen lain yang mengurangi arus kas tersebut, totalnya mencapai Rp25,15 triliun. Akibatnya, BPJS Kesehatan masih mengalami defisit.
Akan tetapi, jika pemerintah membebaskan PPN bagi layanan kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, Ronny menilai keputusan itu justru mencerminkan ketidakadilan.
Karena itu, ia berharap pemerintah bisa memikirkan matang-matang rencana pungutan PPN pada jasa layanan kesehatan lantaran ini semua menyangkut hajat hidup masyarakat.
Baca juga:Perusahaan Outsourcing Akan Kena PPN |
"Bisa kena PPN baik BPJS Kesehatan dan non BPJS Kesehatan tergantung regulasinya. Tapi, kalau memang membedakan antara BPJS dan non BPJS berarti tidak adil kalau adil itu kena dua-duanya BPJS dan non BPJS," katanya.
Secara umum, ia menilai rencana pengenaan PPN pada jasa layanan kesehatan justru menyalahi pengertian PPN sendiri yang berarti pajak dari pertambahan nilai. Pasalnya kata Ronny, tidak ada pertambahan nilai yang dihasilkan dari layanan medis.
"Pemerintah bisa saja kenakan itu (PPN). Tapi kalau dari konteks PPN-nya tidak memenuhi unsur pertambahan nilai," ucapnya.