Jakarta, CNN Indonesia --
Polemik pinjaman online (pinjol) kembali mencuat setelah Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF mengusulkan agar praktik pinjol dilarang. Pasalnya, ia menilai pinjol cenderung merugikan peminjam alias lebih banyak mudarat dari manfaat.
Hasanuddin menyebut banyak nasabah yang sudah dirugikan usai mengambil pinjaman dari pinjol. Pasalnya, bunga yang dibebankan perlahan mencekik peminjam.
"Pinjol itu merugikan pihak peminjam. Banyak mudaratnya. Harus dilarang itu. Islam mengajarkan bahwa tak boleh merugikan salah satu pihak dalam suatu perjanjiannya," kata Hasanuddin, Kamis (26/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, penolakan juga didasarkan oleh sistem bunga berlipat yang tak sesuai dengan syariat Islam. Melihat hal itu, Hasanuddin meminta kepada pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Kepolisian untuk aktif melarang pinjol.
"Harus dilarang. OJK kan bisa saja menghentikan atau kepolisian bila melanggar hukum merugikan ya ditindak karena itu banyak korbannya," kata Hasanuddin.
Ia menjelaskan prinsip Hukum Islam yakni "mengupayakan banyak yang maslahah dan meninggalkan yang mudarat''. Artinya, berusaha untuk melakukan perbuatan yang memberikan manfaat, ketimbang melakukan yang mendatangkan keburukan atau kerugian.
Menanggapi usulan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menilai pemahaman Hasanuddin soal pinjol legal belum utuh.
Ia menegaskan pinjol resmi yang terdaftar dan berizin di OJK juga melarang praktik predatory lending, seperti yang disampaikan Komisi Fatwa MUI. Ia sepakat praktik predator yang mendzalimi peminjam seperti pinjol ilegal mesti dihapuskan.
Dia menjabarkan bahwa pinjol terdaftar dan diawasi OJK telah membantu perekonomian Indonesia dengan menyalurkan pinjaman khususnya kepada kelompok yang tidak memenuhi syarat pembiayaan bank atau unbankable.
Kuseryansyah mencatat sejak kemunculan pinjol pada 2016 hingga sekarang total penyaluran pinjaman pinjol mencapai kurang lebih Rp221 triliun. Dana disalurkan kepada UMKM, penduduk di Indonesia timur, maupun kelompok ibu rumah tangga yang memiliki usaha mikro.
Sementara, Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK menyatakan hingga Juli 2021, sudah ada 64,8 juta masyarakat yang memakai jasa pinjol legal.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengamini pernyataan MUI yang melarang pinjol ilegal. Ia menilai pinjol ilegal telah menjadi parasit ekonomi dan membahayakan masyarakat menengah dan rentan miskin.
Mereka yang memiliki literasi keuangan minim kerap menjadi korban pinjol ilegal. Karena mudah dan cepatnya pinjaman disalurkan, pinjol sering dijadikan pilihan oleh masyarakat tanpa diketahui konsekuensi yang menanti, dari teror hingga bunga yang tidak masuk akal.
Dia menyebut ada sekitar 92 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori unbankable, mereka inilah yang menjadi sasaran empuk pinjol ilegal.
Mengingat mayoritas atau 87 persen populasi RI merupakan Muslim, Bhima menilai permintaan MUI untuk melarang pinjol bakal efektif sebagai edukasi dan peringatan dalam membantu memberantas praktik terkait.
"Model pinjaman rentenir digital jenisnya bervariasi dan pinjol ini salah satunya. Makanya saya dukung karena ini cara mengedukasi masyarakat agar menjauhi pinjaman bermasalah dan coba beralih ke alternatif pinjaman lain," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/8).
Pengawasan lemah dinilai menjadi biang kerok menjamurnya pinjol ilegal. Cek ulasannya di halaman berikut.
Pengawasan Lemah
Polemik soal pinjol sendiri sudah berlarut sejak pertama kali ditemukan pada 2018. Menurut Bhima, tak seriusnya OJK menangani pinjol ilegal berbuntut MUI harus 'turun tangan' ikut melarang.
Padahal, ia menilai seharusnya pelaku pinjol ilegal bisa diketahui di era digital saat ini. Misalnya meretas siapa pelaku dari nomor ponsel dan rekening yang dipakai saat menyalurkan pinjaman.
Bhima juga menyayangkan OJK yang melakukan ping pong kewajiban pengawasan pinjol ilegal. Menurut dia, perkara pinjol ilegal seharusnya menjadi tanggung jawab OJK karena berkaitan dengan transaksi keuangan.
Di sisi lain, OJK mencatat sudah memberantas setidaknya 3.856 platform pinjol ilegal. Namun, capaian itu masih kurang maksimal. Bhima menyebut tak selesainya polemik pinjol ilegal dikarenakan pemblokiran lebih lambat dari pertumbuhan pinjol ilegal.
"Kecepatan pengawasan dan pemblokiran pemerintah lebih lambat dari munculnya pinjol. Harapannya harusnya diberikan pidana maksimal agar menimbulkan efek jera," katanya.
Sedangkan untuk pinjol legal yang menyalurkan pinjaman produktif, Bhima menilai keberadaannya masih dibutuhkan karena masyarakat unbankable RI masih sangat tinggi. Ingat, rasio kredit terhadap PDB perbankan baru 38 persen.
Toh, pinjol legal dinilai lebih banyak memberikan kemudahan bagi masyarakat dengan persyaratan transparan terkait bunga, penagihan sesuai koridor ketentuan, dan tidak melanggar privasi peminjam.
Apalagi, ada pinjol legal yang menawarkan pinjaman dengan prinsip syariah dengan menghilangkan sistem bunga yang diharamkan dalam islam.
Pinjol legal syariah ini, menurut Bhima, bisa dijadikan acuan MUI dalam mengarahkan umat menghindari pinjol ilegal. Selain itu, umat juga bisa diarahkan ke koperasi syariah atau program pemerintah khusus mereka yang unbankable, seperti program ultra mikro (UMi), program membina ekonomi keluarga sejahtera (Mekaar) atau program sejenis.
Ekonom Syariah Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi Beik sepakat kalau pinjol ilegal lebih banyak mudaratnya dari manfaat. Dari hukum islam, bunga saja sudah diharamkan, apalagi bunga mencekik yang dikenakan pinjol ilegal.
Selain soal bunga, ia mengatakan masalah privasi, rendahnya transparansi, dan teror menjadi pelengkap bermasalahnya pinjol ilegal.
Kendati begitu, masih banyak masyarakat yang terjebak di dalamnya. Menurut dia, selain rendahnya literasi keuangan, pemicu lainnya adalah masyarakat kita mudah tergodanya dengan tawaran pinjaman yang dikirimkan ke nomor ponsel via SMS.
Ia menyebut kemudahan dan kecepatan pinjaman ilegal yang bahkan bisa dicairkan di hari yang sama seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa mereka sebetulnya 'dijebak' dalam pinjaman yang merugikan.
Administrasi dalam pinjaman berizin seperti BI checking kerap dianggap ribet oleh masyarakat. Padahal, proses tersebut dipakai untuk melindungi semua pihak, termasuk peminjam.
"Administrasi kadang sering dianggap ribet tapi sebenarnya melindungi. Fungsi perjanjian dan akad itu melindungi semua pihak jadi jangan sampai ada satu yang mendzolimi," ujarnya.
Dalam praktik syariah, ia menyebut memang pinjaman berbunga tidak diperbolehkan. Namun, ia menilai hidup di dual financial system membuat sistem konvensional dan syariah bisa hidup berdampingan.
Ia mengatakan MUI perlu melakukan kajian internal dulu sebelum mengeluarkan fatwa haram pinjol, pasalnya ia menilai pinjol legal diawasi cukup ketat oleh OJK.
MUI juga bisa mengarahkan umat untuk meminjam ke lembaga keuangan syariah seperti Baitul Maal wa Tamwil (BMT) atau bank konvensiobal syariah.
Ia menekankan agar OJK dan Kepolisian tegas dalam melindungi konsumen. Ia berpendapat regulasi ekosistem keuangan digital mesti diperkuat agar tidak dimanfaatkan oleh oknum.
"Harus diselidiki sampai tuntas aktor di balik usaha pinjol ilegal. Jangan ada ampun, harus disikat," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]