Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengatakan seharusnya tak perlu ada tawar-menawar atau diskon yang diberikan kepada obligor BLBI. Pemerintah berhak menagih seluruh dana yang pernah digelontorkan untuk 48 obligor beserta bunga.
"Utang itu adalah kewajiban. Artinya yang punya uang (negara) harus bisa minta itu. Kalau mereka (obligor) tidak bayar atau tawar menawar, maka akan terjadi ketidakpastian," ungkapnya.
Hal ini akan membuat publik menilai bahwa semua urusan dengan Pemerintah Indonesia bisa diselesaikan dengan tawar-menawar. Dampaknya, sebagian pihak akan 'menggampangkan' Pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enak nih bisa tawar-menawar. Ini bukan soal angka, tapi terlihat dari proses ini bahwa wibawa pemerintah lemah," ucap Akhmad.
Ia juga menyayangkan pemerintah baru mengejar obligor BLBI sekarang. Andai saja dikejar sejak lama, maka uang yang kembali ke negara juga sudah banyak.
"Selama ini, pemerintah berbuat apa saja, kalau uang itu masuk dari dulu bisa diinvestasikan sehingga menghasilkan uang banyak, di bank sudah berapa itu. Sekarang, baru ditagih, masih ada keringanan pula (dari SKL 2002)," papar Akhmad.
Menurutnya, proses penagihan dana BLBI memberikan kesan buruk di mata masyarakat. Bukan hanya ketidakpastian, tapi proses ini juga berpotensi menimbulkan moral hazard.
Lihat Juga : |
"Nanti buka moral hazard, pejabat bisa tawar-menawar, buka permainan-permainan. Oke turunkan angka, pejabat dapat imbalan. Harusnya utang tertulis sekian, bayar. Kalau tidak bayar masuk penjara," jelas Akhmad.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah transparan mengenai jumlah utang dan bunga masing-masing obligor. Kalau pun diberikan diskon, pemerintah harus transparan dan memberitahu publik secara rinci.
"Jangan sampai pemerintah dapat nih Rp110,45 triliun, senang. Tapi ternyata yang seharusnya kembali lebih dari itu, misalnya Rp200 triliun. Jadi jelaskan potensi dana yang sebenarnya harus balik itu berapa," tutup Akhmad.
Catatan Redaksi: Judul ini diubah pada Rabu (22/9) karena pembaruan informasi dari pihak terkait.
(bir)