Jakarta, CNN Indonesia --
Rencana perubahan skema iuran BPJS Kesehatan menjadi kelas standar tahun depan memantik beragam respons masyarakat. Salah satunya dari Rachel (28), pegawai salah satu perusahaan swasta di DKI Jakarta.
"Duh, sangat mengganggu arus kas ini," ucap Rachel kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/9).
Rencananya, layanan kelas yang semula terdiri dari peserta penerima bantuan iuran (PBI) serta kelas mandiri 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, kepesertaan kelas mandiri 1, 2, dan 3 akan digabung menjadi satu kelas, sehingga memungkinkan pengenaan besaran iuran yang sama dari semula tiga tarif berbeda.
Kendati belum ada keputusan iuran final, isu yang sempat beredar memperkirakan besaran iuran untuk kelas standar berkisar Rp50 ribu sampai Rp75 ribu per peserta.
Kebetulan saat ini Rachel merupakan peserta kelas mandiri 3 dengan iuran sebesar Rp42 ribu per bulan. Namun, ia hanya membayar Rp35 ribu per bulan karena masih mendapat subsidi dari pemerintah.
Dalam sebulan, ia menghabiskan Rp105 ribu untuk membayar iuran BPJS karena menanggung iuran untuk dua orang anggota keluarganya, ibu dan kakaknya.
"Jadi kalau naik Rp50 ribu saja, total jadi Rp150 ribu. Lumayan itu buat saya sekarang, secara banyak cicilan ini itu. Apalagi kalau Rp75 ribu per bulan, amit-amit cabang bayi ih, tega banget pemerintah," sambungnya.
Menurut Rachel, rencana perubahan layanan kelas ini memberatkan karena beberapa faktor. Pertama, ia menanggung pembayaran iuran untuk dua anggota keluarganya.
Kedua, pengeluarannya tengah memuncak, mulai dari untuk cicilan rumah sampai cicilan motor. Ketiga, gajinya tak kunjung naik dalam dua tahun terakhir sejak pandemi covid-19 mewabah di Indonesia.
Keempat, ia khawatir kondisi ekonomi yang mulai pulih akan menimbulkan banyak kenaikan harga atas pengeluaran-pengeluaran lain alias inflasi.
"Lagi pandemi begini, perusahaan tidak jelas kapan akan menaikkan gaji, sementara bunga (kredit) berpotensi naik kalau kasus covid turun. Duh, mati saja ini kalau bunga naik, semua naik," ujarnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah tidak terburu-buru mengubah layanan kelas BPJS Kesehatan. Apalagi, ia menilai tengah menjadi pihak yang tak diuntungkan karena merupakan peserta kelas mandiri 3, sehingga berpotensi mengalami kenaikan iuran.
Padahal, kepesertaan kelas mandiri 3 sengaja dipilihnya untuk menekan pengeluaran sembari mengamankan bantalan ketika sakit. Sebelumnya, ia menjadi peserta kelas mandiri 2, tapi setelah menikah dan pengeluaran bertambah, ia harus merelakan kepesertaannya turun ke kelas 3.
"Intinya saya tidak setuju tarif naik karena gaji karyawan tidak naik. Jadi menurut saya, solusinya tunda dulu please sampai ekonomi stabil, minimal stabil dulu please," tuturnya.
Cek respons warga lainnya pada halaman berikutnya.
Sangsi Pelayanan Membaik
Senada dengan Rachel, Akbar, karyawan swasta lainnya juga tidak setuju dengan rencana perubahan layanan ini. Bahkan, menurutnya, iming-iming perubahan kelas standar demi peningkatan kualitas layanan kepada peserta tidak serta merta bisa dipercaya.
"Saya tidak yakin kelas standar bakal meningkatkan layanan. Kalau mau dibenahi ya dari sistem BPJS-nya dulu, kalau tidak dibenahi, ya bakal percuma kelas standar ini. Kelas standar bakal sama saja jatuhnya, layanan BPJS Kesehatan tetap jadi anak tiri," kata pria berusia 29 tahun itu.
Pembenahan sistem ini, menurutnya, perlu dilakukan mulai dari administrasi, data, kualitas ruangan rawap inap, hingga kondisi keuangan BPJS Kesehatan sendiri.
Begitu pula dengan dampak pada besaran iuran. Kebetulan, sama dengan Rachel, ia juga peserta kelas mandiri 3 dengan turut menanggung kedua orang tua.
"Keberatan lah, soalnya jadi tambah mahal bayarannya. Jadi kalau sekarang bayarnya cuma Rp105 ribu, naik bisa jadi Rp150 ribu sampai Rp225 ribu, jadi lumayan banget," ungkapnya.
Sementara Zahra punya alasan penolakan yang berbeda. Kebetulan, karyawan swasta yang satu ini sedang hamil dan akan melahirkan pada tahun depan.
Ia mengaku sudah berencana menaikkan kelas kepesertaannya dari semula mandiri 3 menjadi mandiri 1 jelang kelahiran. Tujuannya, agar mendapat fasilitas rawat inap yang lebih baik nantinya dan ketika ingin ditingkatkan jadi kelas utama, maka biaya penambahannya tidak terlalu jauh.
"Soalnya kan lagi pandemi begini, tentu maunya fasilitas rawat inap yang lebih sedikit ya kamar tidurnya di satu ruangan, jadi maunya naik kelas mandiri 1 jelang lahiran. Tapi karena lagi pandemi juga, pemasukan stagnan, tapi pengeluaran banyak, jadi melahirkan dengan BPJS ini tetap jadi pilihan saya," ucap Zahra.
Masalahnya, bila kelas standar benar diterapkan pada 2022 jelang kelahirannya, ia khawatir layanan yang diberikan jadi seragam. Padahal, ia akan membayar lebih mahal dalam beberapa bulan ke depan karena berencana naik kelas.
"Jadi nanti sudah bayar lebih mahal dalam beberapa bulan ke depan, ujungnya tidak bisa dapat fasilitas kelas 1 karena diubah lagi standar kelasnya. Ini jadi percuma dong," imbuhnya.
Sementara isu yang didengarnya saat ini, ruang inap untuk kelas non-PBI akan disamaratakan menjadi empat tempat tidur dalam satu ruangan. "Ya kalau begini jadi tidak punya banyak pilihan ya, dan kalau nambah dana sendiri untuk upgrade khawatirnya lebih mahal," katanya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah juga menunda dulu rencana ini. Paling tidak, ia berharap ada sosialisasi yang jelas ke masyarakat luas, sehingga perubahan tidak ujug-ujug diterapkan.
Apalagi hal ini menyangkut layanan kesehatan masyarakat dan pandemi covid-19 masih memberi ketidakpastian bagi masyarakat.
"Jangan sampai sudah tidak pasti dengan covid, soal layanan juga makin tidak pasti," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN]