Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak goreng naik di sejumlah daerah dalam beberapa hari terakhir. Harga bahan pokok (bapok) itu tembus lebih dari Rp22 ribu per kilogram (kg).
Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Internasional (PIHPS), Selasa (26/10), rata-rata harga minyak goreng kemasan bermerek 1 naik Rp100 menjadi Rp17.400 per kg. Begitu juga dengan rata-rata harga minyak goreng kemasan bermerek 2 naik Rp100 menjadi Rp16.900 per kg.
Sementara, harga minyak goreng di Gorontalo yang dijual di pasar tradisional tembus Rp20.150 per kg. Harga cukup tinggi juga terjadi di Papua Barat sebesar Rp18.550 per kg dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp18 ribu per kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pasar modern, minyak goreng di Aceh dibanderol hingga Rp22.600 per kg. Selain itu, harga minyak di Maluku sebesar Rp21.150 per kg dan DKI Jakarta Rp18.700 per kg.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan kenaikan harga minyak nasional terjadi karena lonjakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
"Penyebabnya adalah kenaikan harga CPO, karena bahan baku minyak goreng di Indonesia kan dari CPO," ungkap Oke kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/10).
Padahal, Indonesia merupakan penghasil sawit terbesar di dunia. Tahun lalu, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 34 juta ton senilai US$22,97 miliar. Adapun pangsa pasar ekspor sawit Indonesia mencapai 55 persen.
Oke mengatakan pemerintah belum akan melakukan intervensi untuk menurunkan harga minyak goreng. Kementerian Perdagangan akan mengecek pasokan CPO terlebih dahulu.
"Pada posisi sekarang Kementerian Perdagangan akan memastikan ketersediaan pasokan di dalam negeri dulu," kata Oke.
Ia khawatir pasokan CPO di dalam negeri menipis. Jika itu terjadi, harga CPO naik tajam di pasar global dan berimbas pada harga minyak goreng.
"Karena dengan harga internasional yang tinggi maka dikhawatirkan terganggu pasokan dalam negeri," terang Oke.
Ia mengatakan pihaknya bisa saja melakukan intervensi. Namun, intervensi hanya bisa dilakukan untuk minyak goreng dengan kemasan sederhana.
"Intervensi peraturan menteri perdagangan hanya di minyak dengan kemasan sederhana," jelas Oke.
Sebagai catatan, pemerintah sebenarnya telah mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp11 ribu per liter.
Ketentuan ini tertuang di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan pemerintah harus gerak cepat menyelesaikan masalah kenaikan harga minyak goreng. Masalahnya, ia memperkirakan harga CPO terus menguat hingga musim semi tahun depan.
Musim semi biasanya berlangsung pada Maret sampai Mei di daerah subtropis. Jika benar harga CPO akan naik sampai musim semi tahun depan, artinya harga minyak goreng berpotensi terus meningkat sampai Mei 2021.
"Pasokan global minyak nabati turun karena masuk musim dingin, karena kan musim dingin tidak ada panen. Kenaikan harga CPO minimal sampai musim semi tahun depan," ujar Rusli.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Intervensi Harga
Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan intervensi untuk harga minyak goreng. Menurutnya, pemerintah bisa menerapkan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk CPO.
Jadi, pemerintah dapat mematok jumlah pasokan yang harus dijual di dalam negeri dengan harga jual maksimal. Dengan demikian, ketika harga CPO global naik, maka harga penjualan di dalam negeri tetap terkendali.
Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan kebijakan DMO untuk batu bara. Dalam aturan itu, 25 persen batu bara harus dijual di Indonesia dari total produksi dengan harga maksimal US$70 per ton.
Jika harga batu bara sedang tinggi-tingginya seperti sekarang, maka perusahaan lokal yang butuh batu bara tak perlu khawatir. Pasalnya, harga maksimal batu bara tetap di level US$70 per ton.
"Jadi DMO ini bisa untuk menekan harga agar tidak melebihi HET," terang Rusli.
Untuk merealisasikan hal itu, Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan banyak pihak. Misalnya, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Kesehatan.
"Kementerian Kesehatan juga harus ikut karena ada soal kesehatannya, ada dampak kesehatan kalau dibiarkan minyak goreng harga mahal. Masyarakat akan menggunakan minyak berkali-kali sampai hitam, ini berpengaruh ke kesehatan," ujar Rusli.
Sementara, pemerintah juga harus menghitung secara rinci berapa sebenarnya kebutuhan minyak goreng atau produk olahan CPO di dalam negeri.
"Kalau tidak ada intervensi untuk menekan harga minyak goreng, dampaknya akan memperlambat pemulihan ekonomi," ucap Rusli.
Meski begitu, ia mengingatkan pemerintah untuk berkoordinasi dengan pengusaha. Hal ini agar tak menimbulkan kegaduhan di sektor usaha.
Sementara, Ekonom Pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia sulit dihindari. Masalahnya, CPO menjadi bahan baku utama dari minyak goreng di Indonesia.
"Indikasi krisis energi di beberapa belahan dunia dan juga proyeksi produksi sawit di Malaysia yang belum membaik membuat harga CPO belum akan turun. Jadi, kenaikan harga minyak goreng sulit dihindari," papar Bayu.
Kenaikan harga minyak goreng tentu menambah beban bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Biaya yang mereka harus keluarkan untuk mengisi perut otomatis lebih besar dari sebelumnya.
"Sebagian konsumen terutama yang berpendapatan rendah tentu akan keberatan, juga usaha mikro, pengguna minyak goreng, seperti pedagang gorengan," ujar Bayu.
Sependapat dengan Rusli, Bayu menilai perlu ada intervensi dari pemerintah untuk menolong masyarakat kelompok bawah. Salah satunya bisa dengan memberikan bantuan sosial (bansos) khusus bagi masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah.
"Kalau itu saja dijalankan sudah baik," imbuh Bayu.
Namun, ia tak sepakat dengan Rusli mengenai DMO. Menurutnya, kebijakan DMO bisa diterapkan untuk batu bara, tapi tidak untuk sawit.
"Pengaturan pada batu bara lebih mudah karena penggunanya bukan ritel, perorangan atau rumah tangga, tapi industri atau pembangkit," kata Bayu.
Sementara, jika pemerintah menerapkan DMO sawit untuk produsen minyak goreng, maka pengawasannya akan sulit. Hal ini juga rawan disalahgunakan pengusaha.
"Untuk minyak goreng konsumennya jutaan, kecil-kecil dan tersebar di seluruh Indonesia. DMO akan sangat rawan dan pengawasannya sulit," tutup Bayu.
[Gambas:Video CNN]