Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan intervensi untuk harga minyak goreng. Menurutnya, pemerintah bisa menerapkan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk CPO.
Jadi, pemerintah dapat mematok jumlah pasokan yang harus dijual di dalam negeri dengan harga jual maksimal. Dengan demikian, ketika harga CPO global naik, maka harga penjualan di dalam negeri tetap terkendali.
Lihat Juga : |
Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan kebijakan DMO untuk batu bara. Dalam aturan itu, 25 persen batu bara harus dijual di Indonesia dari total produksi dengan harga maksimal US$70 per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika harga batu bara sedang tinggi-tingginya seperti sekarang, maka perusahaan lokal yang butuh batu bara tak perlu khawatir. Pasalnya, harga maksimal batu bara tetap di level US$70 per ton.
"Jadi DMO ini bisa untuk menekan harga agar tidak melebihi HET," terang Rusli.
Untuk merealisasikan hal itu, Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan banyak pihak. Misalnya, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Kesehatan.
Lihat Juga : |
"Kementerian Kesehatan juga harus ikut karena ada soal kesehatannya, ada dampak kesehatan kalau dibiarkan minyak goreng harga mahal. Masyarakat akan menggunakan minyak berkali-kali sampai hitam, ini berpengaruh ke kesehatan," ujar Rusli.
Sementara, pemerintah juga harus menghitung secara rinci berapa sebenarnya kebutuhan minyak goreng atau produk olahan CPO di dalam negeri.
"Kalau tidak ada intervensi untuk menekan harga minyak goreng, dampaknya akan memperlambat pemulihan ekonomi," ucap Rusli.
Meski begitu, ia mengingatkan pemerintah untuk berkoordinasi dengan pengusaha. Hal ini agar tak menimbulkan kegaduhan di sektor usaha.
Sementara, Ekonom Pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia sulit dihindari. Masalahnya, CPO menjadi bahan baku utama dari minyak goreng di Indonesia.
"Indikasi krisis energi di beberapa belahan dunia dan juga proyeksi produksi sawit di Malaysia yang belum membaik membuat harga CPO belum akan turun. Jadi, kenaikan harga minyak goreng sulit dihindari," papar Bayu.
Kenaikan harga minyak goreng tentu menambah beban bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Biaya yang mereka harus keluarkan untuk mengisi perut otomatis lebih besar dari sebelumnya.
"Sebagian konsumen terutama yang berpendapatan rendah tentu akan keberatan, juga usaha mikro, pengguna minyak goreng, seperti pedagang gorengan," ujar Bayu.
Sependapat dengan Rusli, Bayu menilai perlu ada intervensi dari pemerintah untuk menolong masyarakat kelompok bawah. Salah satunya bisa dengan memberikan bantuan sosial (bansos) khusus bagi masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah.
"Kalau itu saja dijalankan sudah baik," imbuh Bayu.
Namun, ia tak sepakat dengan Rusli mengenai DMO. Menurutnya, kebijakan DMO bisa diterapkan untuk batu bara, tapi tidak untuk sawit.
"Pengaturan pada batu bara lebih mudah karena penggunanya bukan ritel, perorangan atau rumah tangga, tapi industri atau pembangkit," kata Bayu.
Sementara, jika pemerintah menerapkan DMO sawit untuk produsen minyak goreng, maka pengawasannya akan sulit. Hal ini juga rawan disalahgunakan pengusaha.
"Untuk minyak goreng konsumennya jutaan, kecil-kecil dan tersebar di seluruh Indonesia. DMO akan sangat rawan dan pengawasannya sulit," tutup Bayu.