Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng sepaham dengan Ani. Ia menilai perlu dilakukan stadardisasi honorarium, remunerasi, dan tunjangan-tunjangan PNS di pusat dan daerah. Walau tak bisa menyeragamkan seluruhnya karena perbedaan tarif hidup dan biaya di setiap daerah, Robert menyebut mestinya ada suatu standar yang membuat biaya belanja pegawai tidak jomplang.
Saat ini standar harga satuan biaya honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lainnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Regional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut satuan biaya dinas PNS diatur berdasarkan wilayah kerja, sedangkan honorarium dibayar berdasarkan jabatan dan tugas yang dikerjakan.
Oleh karena itu, ia menilai kritik Ani soal tingginya dan bervariasinya dana yang dikucurkan daerah mengerucut pada aturan yang ditetapkan pusat. Solusi tepatnya, menurut dia, adalah mengubah aturan.
Di sisi lain, ia menyebut tak masalah bila anggaran pegawai PNS tinggi asalkan setimpal dengan produktivitas dan hasilnya (outcome). Sayangnya, ia menyebut yang terjadi adalah tunjangan tinggi tapi pelayanan masyarakat masih saja buruk.
Robert menyampaikan idealnya alokasi belanja modal harusnya mendominasi sekitar 60 persen-70 persen dari total anggaran. Sisanya dipakai untuk pengelolaannya alias belanja karyawan. "Tapi di birokrasi kita kan engga begitu, terbalik malah. Di lapangan hampir semua daerah lebih dominan belanja karyawan," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/12).
Lihat Juga : |
Namun, ia menyebut sebenarnya dominasi belanja pegawai tidak hanya terjadi di daerah, tapi secara nasional. Tengok saja APBN 2022 di mana Ani menganggarkan Rp266,41 triliun untuk belanja pegawai kementerian/lembaga (K/L). Sedangkan alokasi anggaran belanja modal hanya sebesar Rp196,61 triliun.
Ia juga berpendapat bahwa penertiban polemik dominasi belanja pegawai ada di pusat lewat reformasi birokrasi. Jika Ani ingin efisien, Robert menyebut mesti dilakukan perampingan jumlah PNS beserta jabatannya.
"Harus dilakukan pengurangan jumlah dan perampingan struktur signifikan untuk dihitung anggarannya berbasis pada kinerja yang ada. Kalau batu ujinya pelayanan publiknya, jangan gaji besar, tunjangan tinggi tapi pelayanan publik buruk," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut masalah honorarium dan perjalanan dinas yang disinggung Ani bukan masalah baru. Ia menyebut akal-akalan oknum daerah menggemukkan biaya perjalanan dinas sudah kerap terdengar.
Lihat Juga : |
Oleh karena itu perlu dilakukan reformasi aturan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah lewat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang disahkan pada Selasa (7/12) lalu bersama DPR RI.
Dari kacamata dia, pangkal masalah dari honorarium dan perjalanan dinas ada pada perencanaan (planning) anggaran tahun berjalan suatu daerah. Ia menilai kalau perencanaan di awal tahun matang, maka target kebijakannya dan output/outcome yang dibidik juga akan jelas.
Yusuf tak memungkiri bahwa pemda harus banyak berbenah diri. Tapi di sisi lain ia mengatakan pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan, harus ada pendampingan mengingat SDM di daerah tidak sekompeten di pusat. Secara sistem, fasilitas, dan infrastruktur pun tidak bisa disamaratakan.
"Momentum terbitnya UU HKPD ini salah satu yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang sering kali menjadi temuan di keuangan daerah," imbuhnya.
Lebih jauh, Yusuf melihat landasan hukum sudah ada, kebijakan perjalanan dinas juga jelas. Tapi yang masih jadi masalah adalah oknum yang mengakali aturan. Ia mengaku sulit merumuskan sanksi untuk menertibkan PNS yang bandel. Tak seperti swasta, sulit memberhentikan PNS, walau pun mereka melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara.
Idealnya Yusuf menilai harus ada hukuman yang bisa membuat PNS mau taat dengan aturan karena sulit mengawasi setiap transaksi yang dilakukan oleh pegawai pemda, apa lagi di era otonomi daerah. Sanksi bisa berupa penurunan pangkat hingga pemberhentian.
Peneliti Center Macroeconomics and Finance Indef Riza Annisa Pujarama menyebut ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memangkas belanja pegawai. Pertama, petakan beban kerja sehingga diketahui apa saja kebutuhan yang diperlukan. Dari sana bakal ketahuan efektivitas penggunaan belanja pegawai.
"Perlu pemetaan kembali kebutuhan tenaga kerja yang efektif dan efisisen di daerah sehingga bisa lebih produktif dan belanja pegawai efisien," kata dia.
Kedua, untuk honorarium perlu ditelusuri apa saja komponen yang membuat membengkaknya pembiayaan, sehingga dapat belanja honorarium bisa lebih efektif. Ketiga, untuk perjalanan dinas bisa dilakukan urutan prioritas dan yang tidak urgent bisa dipangkas, sehingga bisa menghemat belanja.