Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali 'menyentil' pemerintah daerah (pemda) soal efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran.
Ia menilai belanja daerah belum fokus sehingga anggaran belum mampu melayani masyarakat secara maksimal. Ani turut menyoroti dominasi anggaran pegawai dibandingkan dengan belanja modal. Hal ini pada ujungnya membatasi pembangunan di daerah.
Bendahara Negara menyebut salah satu 'penyakit' dalam pengelolaan keuangan daerah adalah banyaknya belanja daerah yang minim dampak ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut secara total di level daerah terdapat 29.623 program yang dipecah menjadi 263.135 kegiatan pada tahun ini. Hal itu menjadi indikator pemda mengecer anggaran menjadi kegiatan kecil yang minim hasil alias outcome dan output.
Sementara untuk kompetensi, masalah tercermin dari besarnya belanja seperti pegawai dan barang serta jasa. Bahkan, secara rata-rata ia menyebut belanja birokrasi mencapai 59 persen dari total anggaran daerah selama 3 tahun terakhir.
Khusus tahun ini, ia membeberkan belanja juga belum produktif, ini tercermin dari besarnya porsi anggaran belanja pegawai, yakni 32,4 persen dari pagu. Sementara, hanya 11,5 persen pagu dibelanjakan untuk infrastruktur layanan publik.
Teranyar, Ani mengkritisi besarnya perjalanan dinas PNS daerah. Temuannya, besaran uang perjalanan dinas PNS di daerah lebih tinggi dari para abdi negara di pusat. Bahkan, besaran uang tersebut bisa 50 persen lebih tinggi dari yang didapat PNS di pusat.
"Besaran uang harian perjalanan dinas (daerah) rata-rata 50 persen lebih tinggi dari pusat," ujar Ani dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (7/11).
Tak hanya itu, Ani juga menyebut besaran honorarium pegawai negeri sipil (PNS) di daerah bisa bervariasi dari minimal Rp325 ribu hingga maksimal mencapai Rp25 juta.
Mirisnya, di tengah belanja PNS yang besar itu, realisasi belanja APBD justru tak optimal secara menyeluruh. Hal ini tercermin dari realisasi pemanfaatan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat mencapai 64,8 persen hanya untuk memenuhi keperluan belanja pegawai.
Sementara dana alokasi khusus (DAK) dari pusat dijadikan sumber utama untuk belanja modal. Fakta ini terjadi karena kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim.
Buktinya, porsi PAD masih di kisaran 24,7 persen dari APBD dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, daerah terlalu mudah menghamburkan uang untuk program dan kegiatan yang terlalu banyak.
"Belanja daerah belum fokus dan efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Serta pola eksekusi APBD yang masih business as usual, selalu tertumpu di kuartal IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah," ujarnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Perlu Standar
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng sepaham dengan Ani. Ia menilai perlu dilakukan stadardisasi honorarium, remunerasi, dan tunjangan-tunjangan PNS di pusat dan daerah. Walau tak bisa menyeragamkan seluruhnya karena perbedaan tarif hidup dan biaya di setiap daerah, Robert menyebut mestinya ada suatu standar yang membuat biaya belanja pegawai tidak jomplang.
Saat ini standar harga satuan biaya honorarium, perjalanan dinas, rapat, dan lainnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Regional.
Dalam aturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut satuan biaya dinas PNS diatur berdasarkan wilayah kerja, sedangkan honorarium dibayar berdasarkan jabatan dan tugas yang dikerjakan.
Oleh karena itu, ia menilai kritik Ani soal tingginya dan bervariasinya dana yang dikucurkan daerah mengerucut pada aturan yang ditetapkan pusat. Solusi tepatnya, menurut dia, adalah mengubah aturan.
Di sisi lain, ia menyebut tak masalah bila anggaran pegawai PNS tinggi asalkan setimpal dengan produktivitas dan hasilnya (outcome). Sayangnya, ia menyebut yang terjadi adalah tunjangan tinggi tapi pelayanan masyarakat masih saja buruk.
Robert menyampaikan idealnya alokasi belanja modal harusnya mendominasi sekitar 60 persen-70 persen dari total anggaran. Sisanya dipakai untuk pengelolaannya alias belanja karyawan. "Tapi di birokrasi kita kan engga begitu, terbalik malah. Di lapangan hampir semua daerah lebih dominan belanja karyawan," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/12).
Namun, ia menyebut sebenarnya dominasi belanja pegawai tidak hanya terjadi di daerah, tapi secara nasional. Tengok saja APBN 2022 di mana Ani menganggarkan Rp266,41 triliun untuk belanja pegawai kementerian/lembaga (K/L). Sedangkan alokasi anggaran belanja modal hanya sebesar Rp196,61 triliun.
Ia juga berpendapat bahwa penertiban polemik dominasi belanja pegawai ada di pusat lewat reformasi birokrasi. Jika Ani ingin efisien, Robert menyebut mesti dilakukan perampingan jumlah PNS beserta jabatannya.
"Harus dilakukan pengurangan jumlah dan perampingan struktur signifikan untuk dihitung anggarannya berbasis pada kinerja yang ada. Kalau batu ujinya pelayanan publiknya, jangan gaji besar, tunjangan tinggi tapi pelayanan publik buruk," jelasnya.
Reformasi Aturan
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut masalah honorarium dan perjalanan dinas yang disinggung Ani bukan masalah baru. Ia menyebut akal-akalan oknum daerah menggemukkan biaya perjalanan dinas sudah kerap terdengar.
Oleh karena itu perlu dilakukan reformasi aturan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah lewat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang disahkan pada Selasa (7/12) lalu bersama DPR RI.
Dari kacamata dia, pangkal masalah dari honorarium dan perjalanan dinas ada pada perencanaan (planning) anggaran tahun berjalan suatu daerah. Ia menilai kalau perencanaan di awal tahun matang, maka target kebijakannya dan output/outcome yang dibidik juga akan jelas.
Yusuf tak memungkiri bahwa pemda harus banyak berbenah diri. Tapi di sisi lain ia mengatakan pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan, harus ada pendampingan mengingat SDM di daerah tidak sekompeten di pusat. Secara sistem, fasilitas, dan infrastruktur pun tidak bisa disamaratakan.
"Momentum terbitnya UU HKPD ini salah satu yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang sering kali menjadi temuan di keuangan daerah," imbuhnya.
Lebih jauh, Yusuf melihat landasan hukum sudah ada, kebijakan perjalanan dinas juga jelas. Tapi yang masih jadi masalah adalah oknum yang mengakali aturan. Ia mengaku sulit merumuskan sanksi untuk menertibkan PNS yang bandel. Tak seperti swasta, sulit memberhentikan PNS, walau pun mereka melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara.
Idealnya Yusuf menilai harus ada hukuman yang bisa membuat PNS mau taat dengan aturan karena sulit mengawasi setiap transaksi yang dilakukan oleh pegawai pemda, apa lagi di era otonomi daerah. Sanksi bisa berupa penurunan pangkat hingga pemberhentian.
Peneliti Center Macroeconomics and Finance Indef Riza Annisa Pujarama menyebut ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memangkas belanja pegawai. Pertama, petakan beban kerja sehingga diketahui apa saja kebutuhan yang diperlukan. Dari sana bakal ketahuan efektivitas penggunaan belanja pegawai.
"Perlu pemetaan kembali kebutuhan tenaga kerja yang efektif dan efisisen di daerah sehingga bisa lebih produktif dan belanja pegawai efisien," kata dia.
Kedua, untuk honorarium perlu ditelusuri apa saja komponen yang membuat membengkaknya pembiayaan, sehingga dapat belanja honorarium bisa lebih efektif. Ketiga, untuk perjalanan dinas bisa dilakukan urutan prioritas dan yang tidak urgent bisa dipangkas, sehingga bisa menghemat belanja.
[Gambas:Video CNN]