Polemik Jaminan Hari Tua (JHT) semakin menjadi. Pekerja protes keras sebagian gaji yang selama ini dipotong setiap bulan untuk membayar iuran JHT baru bisa cair saat usia 56 tahun.
Yang terbaru, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Selain itu, seorang pekerja di industri besi Redyanto Reno Baskoro juga menggugat Pasal 5 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal tersebut berbunyi "Manfaat JHT bagi peserta mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan peserta terkena pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf b diberikan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun".
Bahkan, petisi untuk membatalkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang diunggah di change.org sudah diteken oleh hampir 400 ribu orang pukul 20.05 WIB pada Selasa (15/2).
Melihat kondisi masyarakat yang serba susah sekarang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda setuju jika Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dibatalkan.
"Saya rasa kebijakan tersebut (dana JHT baru dapat cair saat usia 56 tahun) tidak tepat di situasi pandemi seperti ini," ungkap Nailul kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/2).
Saat ini, banyak masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bahkan dipaksa mengundurkan diri karena perusahaan sudah tak mampu membayar gaji. Jika JHT baru dapat dicairkan saat usia 56 tahun, maka akan banyak pekerja yang sengsara.
"Mereka jika mau usaha dari mana modalnya? Kan JHT seharusnya bisa menjadi salah satu sumber modal," tutur Nailul.
Kebijakan baru ini, menurut Nailul, seakan-akan ingin menyelamatkan 'hari tua' masyarakat, namun menyengsarakan 'hari muda' mereka.
Pemerintah memang menawarkan jalan keluar berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Namun, Nailul pesimistis implementasi program tersebut berjalan optimal.
"Pelaksanaan JKP bagaimana di lapangan? Apakah sudah beres, tidak," tegas Nailul.
Sebagai informasi, JKP adalah program ke-5 dari BPJS Ketenagakerjaan, setelah JHT, Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pensiun (JP). JKP berbeda dengan empat program lainnya karena dikhususkan untuk peserta yang terkena PHK.
JKP memberikan manfaat berupa uang tunai, akses ke informasi kerja, bimbingan dan konseling karir, serta pelatihan kerja.
Manfaat uang tunai akan diberikan kepada peserta paling lama 6 bulan. Peserta bisa mendapatkan manfaat setelah lolos verifikasi, termasuk memenuhi syarat.
Nailul sangsi program ini mampu menggantikan JHT. Sebab, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan bukan hanya karena PHK, tapi juga dipaksa atau dibuat untuk mengundurkan diri.
Jika JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja yang terkena PHK, maka karyawan yang mengundurkan diri tak akan dapat JKP dan JHT jika belum berusia 56 tahun.
"Dari satu sisi bos nya minta mengundurkan diri, di satu sisi tidak ada uang dari JHT atau JKP. Lantas dari mana dapat bertahan hidup?" ungkap Nailul.
Oleh karena itu, ia menilai Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 sebaiknya dicabut dan kembali ke aturan lama, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
"Jika mau dibatalkan tentu bisa. Dibatalkan sama menteri atau lewat MA. Desakan dari DPR juga sudah mulai," kata Nailul.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dibatalkan. Menurutnya, aturan lama di Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 lebih pantas diimplementasikan di kondisi seperti sekarang.
"Di mana ada klausul proses pencairan bisa dilakukan setidaknya 1 bulan setelah pekerja resmi meninggalkan perusahaan dan tidak sedang bekerja," ucap Bhima.
Jaman sekarang, sambung Bhima, seseorang sulit mencari kerja. Hal ini khususnya bagi mereka yang terkena PHK di usia 40 tahun ke atas.
"Ada usia 40 tahun terkena PHK. Ada perusahaan buka lowongan ya lebih baik rekrut yang usia 30 tahun. Jadi mereka yang usianya 40 tahun bisa tidak jadi karyawan, tapi jadi wirausaha, kalau JHT menunggu 56 tahun itu tidak fair," papar Bhima.
Ia menganggap aturan baru JHT ini tak masuk akal. Pasalnya, dana yang ditahan selama puluhan tahun adalah milik masyarakat.
Kalau pun masyarakat ingin mencairkan sebelum berusia 56 tahun sebenarnya bisa. Namun, tidak 100 persen.
Masyarakat hanya dapat mencairkan 30 persen untuk kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lain dengan syarat minimal kepesertaan 10 tahun.
"Tidak masuk akal karena yang butuh JHT dalam posisi yang sangat butuh. Mereka yang PHK hanya bertahan dari pesangon. Ini kan (JHT) uang dari pekerja, ini potongan dari gaji mereka. Jadi suka-suka pekerja seharusnya," ungkap Bhima.
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dapat dicabut melalui putusan MA. Nantinya, MA yang akan memutuskan apakah aturan kembali ke permenaker sebelumnya atau membuat permenaker baru.
"(Kalau untuk dicabut) Tentu diuji ke MA karena permenaker adalah peraturan di bawah undang-undang (uu)," kata Feri.