Buruh boleh bernafas lega setelah Presiden Jokowi menghembuskan angin segar untuk merevisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 soal Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam ketentuan itu, JHT disebut cuma bisa cair ketika peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat total tetap.
Padahal, JHT selama ini sudah menjadi tumpuan buruh yang mengundurkan diri dari pekerjaannya atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalih pemerintah menggantikan JHT dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tetap dinilai tak sebanding, mengingat JKP barang baru.
Merespons titah Jokowi, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menyebut akan menerbitkan aturan main baru untuk menggantikan Permenaker 2/2022. Namun demikian, dia belum dapat memastikan poin apa saja yang akan diubah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah, Anwar berjanji, akan mendengar usulan dari buruh terlebih dahulu terkait poin mana saja yang akan direvisi. "Kami akan telaah semua (masukan dari pekerja). Nanti akan jelas pasal dan ayat apa yang perlu direvisi," ucap Anwar.
Jika dilihat dari pernyataan buruh, tentu sudah jelas apa keinginan mereka. Yakni, menghapus Pasal 3 yang menyatakan manfaat JHT baru dapat diberikan kepada pekerja ketika masuk usia pensiun 56 tahun.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya mengirimkan surat ke Jokowi agar pelaksanaan JHT kembali pada aturan lama, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Dalam aturan lama tersebut, manfaat JHT dapat dicairkan setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri atau PHK dari perusahaan diterbitkan.
Andai pelaksanaan JHT kembali pada aturan lama, lantas bagaimana nasib program JKP, yang manfaatnya cair ketika peserta mengklaim terkena PHK?
JKP adalah program ke-5 dari BPJS Ketenagakerjaan, setelah JHT, Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pensiun (JP). JKP berbeda dengan empat program lainnya karena dikhususkan untuk peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini tertuang dalam Permenaker Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Manfaat JKP. Pemerintah akan memberikan 3 jenis manfaat JKP kepada pekerja yang terkena PHK, yakni uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Untuk uang tunai, pemerintah hanya akan memberikan selama 6 bulan. Jumlahnya 45 persen dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25 persen dari upah untuk 3 bulan selanjutnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan jika pelaksanaan JHT dikembalikan ke aturan lama akan terkesan tumpang tindih dengan JKP. Namun, perintah Jokowi untuk merevisi kebijakan terbaru JHT adalah jalan tengah untuk mengakomodir permintaan buruh.
"Ini sekaligus memperlihatkan pemerintah mendengar aspirasi masyarakat secara luas, tapi ya betul ini berpotensi tumpang tindih," ungkap Yusuf.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyarankan pemerintah memberikan keleluasaan pencairan dana JHT selama 1 tahun sampai 2 tahun ke depan. Hal ini sebagai masa transisi sebelum memaksa pekerja untuk menempatkan dana JHT selama puluhan tahun.
Selama masa transisi itu, pemerintah harus merevisi aturan JKP yang juga banyak menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa poin yang perlu direvisi adalah masa waktu pemberian manfaat uang tunai JKP yang hanya 6 bulan sejak terkena PHK dan kelompok-kelompok pekerja mana yang berhak menerima JKP.
Lihat Juga : |
Masa waktu untuk mendapatkan manfaat uang tunai JKP dinilai terlalu pendek. Sementara, pemerintah perlu menambah kelompok pekerja informal sebagai penerima JKP. Saat ini, kelompok pekerja yang berhak menerima JKP hanya pegawai kontrak atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pegawai tetap atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
"Selama masa transisi ini aturan JHT bisa lebih fleksibel. Tapi di periode transisi ini pemerintah harus sempurnakan JKP untuk masalah kelompok pekerja informal itu dan insentif yang hanya 6 bulan," papar Yusuf.
Pemerintah, ia menyarankan juga dapat mensosialisasikan ke masyarakat bahwa potensi imbal hasil yang didapat dari penempatan dana JHT hingga usia pensiun akan lebih besar ketimbang dipendam dalam jangka pendek.
"Tapi masa transisi ini diberikan target waktu sembari aturan JKP diperbaiki, misalnya dua tahun. Setelah itu, aturan JHT harus cair 56 tahun diterapkan dengan syarat aturan JKP mengakomodir seluruh keinginan pekerja," jelas Yusuf.