Ciri khas hiperinflasi menurut Boediono adalah hilangnya kepercayaan orang saat memegang uang.
"Begitu dia menerima uang, segera dia belanjakan untuk membeli barang untuk menghindari kerugian dari nilai uang yang merosot cepat," lanjutnya.
Gejala psikologis tersebut dinamai kecepatan perpindahan uang (velocity of circulation of money) atau ia sebut "V".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan V bisa menimbulkan suatu paradoks. Meski jumlah uang terus bertambah cepat, pelaku ekonomi selalu merasakan kekurangan likuiditas.
Analis Makro Bank Mandiri Faisal Rachman tidak melihat adanya hiperinflasi di Indonesia untuk tahun ini. Pasalnya, kondisi global dikatakan sudah mulai membaik, harga minyak dunia pun berangsur turun.
"Kalau dilihat, fear of global recession telah menurunkan harga komoditas dunia. Kemarin harga pertamax juga diturunkan lagi. Jadi, kalau melihat itu saya rasa tidak akan sampai hiperinflasi," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/10).
Sampai akhir tahun, ia memproyeksi inflasi akan berada di level 6,27 persen. Jika ada risiko yang lebih besar pun tidak akan melebihi 7 persen.
Sejalan dengan Faisal, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah melihat kemungkinan hiperinflasi terjadi di Indonesia sangat jauh. Apalagi, inflasi year to date 2022 masih aman di level 4,84 persen.
"Jadi lonjakan inflasi pasca kenaikan harga BBM masih cukup terkendali. Memang ada kenaikan tapi bukan skenario terburuk. Hiperinflasi jauh dari mungkin terjadi. Sampai akhir tahun inflasi saya perkirakan di kisaran 5,75-6,25 persen," jelas Piter.
Meski hiperinflasi adalah peristiwa langka khususnya untuk negara maju, ini telah terjadi berkali-kali sepanjang sejarah di negara-negara seperti China, Jerman, Rusia, Hongaria, dan Georgia.
Menurut Boediono, inflasi apalagi hiperinflasi selalu merupakan proses interaksi yang intens antara ekonomi dan politik.
"Sejarah menunjukkan bahwa hiperinflasi biasanya berakhir (dan seringkali hanya biasa diakhiri) dengan perubahan sistem politik. Itu terjadi di Indonesia pada 1966," jelasnya.
Menurut data penelitian Ekonom AS Steve Hanke dan Nicholas Krus, rata-rata negara yang pernah merasakan hiperinflasi adalah mereka yang terdampak perang dunia. Berikut daftar 10 negara yang pernah merasakan kejamnya hiperinflasi:
1. Hungaria (1945-1946, inflasi bulanan tertinggi 41,9 triliun persen)
2. Zimbabwe (2007-2008, inflasi bulanan tertinggi 7,96 miliar persen)
3. Yugoslavia (1992-1994, inflasi bulanan tertinggi 313 juta persen)
4. Republik Srpska (1992-1994, inflasi bulanan tertinggi 297 juta persen)
5. Jerman (1922-1923, inflasi bulanan tertinggi 29,5 ribu persen)
6. Yunani (1941-1945, inflasi bulanan tertinggi 13,8 ribu persen)
7. China (1947-1949, inflasi bulanan tertinggi 5.070 persen)
8. Danzig (1922-1923, inflasi bulanan tertinggi 2.440 persen)
9. Armenia (1993-1994, inflasi bulanan tertinggi 438 persen)
10. Turkmenistan (1993-1994, inflasi bulanan tertinggi 429 persen)