Jakarta, CNN Indonesia --
Banyaknya angka pengangguran di generasi muda masih mewarnai Perayaan Hari Sumpah Pemuda ke-94. Selama lima tahun terakhir, angkanya cenderung meningkat. Salah satunya lantaran ekonomi babak belur gara-gara pandemi covid-19.
Lihat saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 7,01 juta jiwa atau 5,33 persen pada Februari 2017.
Angka ini kemudian naik pada Agustus 2017 menjadi 7,04 juta orang atau 5,5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka pengangguran pun sempat turun pada Februari 2018, yakni menjadi 5,13 persen atau 6,87 juta orang. Namun, naik kembali pada Agustus 2018, yakni menjadi 5,34 persen atau 7 juta jiwa.
Tingkat pengangguran turun kembali menjadi 5,01 persen pada Februari 2019. Jumlah pengangguran pun menanjak kembali pada Agustus tahun yang sama menjadi 5,28 persen atau atau mencapai 7,05 juta orang.
Pada Februari 2020, angka pengangguran kembali turun ke level 4,99 persen. Namun, pada Agustus 2020 angkanya langsung melonjak ke level 7,07 persen atau 9,77 juta orang.
Jika melihat pada garis waktu, pada periode ini angka pengangguran melonjak seiring dengan merebaknya pandemi covid-19 di Indonesia.
TPT kembali menurun pada Februari 2021 menjadi 6,26 persen atau setara dengan 8,75 juta orang. Angkanya pun naik lagi pada Agustus tahun yang sama menjadi 6,49 persen atau setara 9,1 juta orang.
Namun, angka ini turun lagi pada Februari 2022 menjadi 5,83 persen atau 8,4 juta orang. Melihat data di atas, meski fluktuatif, angka pengangguran di Indonesia relatif meningkat sejak 2017 hingga awal 2022.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan masalah pengangguran dan penyerapan tenaga kerja berkaitan erat dengan performa pertumbuhan ekonomi.
Semakin baik pertumbuhan ekonomi, maka semakin besar daya serapan angkatan tenaga kerja dan menekan angka pengangguran.
Ia menerangkan sejak lima tahun belakangan, terutama setelah pandemi, pertumbuhan ekonomi RI masih sangat standar, bahkan sempat minus. Menurutnya, saat itu pertumbuhan ekonomi kalah cepat dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja baru.
Saat pandemi, kata Ronny, ekonomi tertekan dari dua sisi; baik permintaan maupun penawaran. Karenanya pertumbuhan ekonomi melemah.
"Pelemahan permintaan membuat prospek investasi menjadi menurun. Hasilnya, daya serap ekonomi terhadap angkatan kerja baru ikut melemah, di sisi lain sebagian dari angkatan kerja yang bekerja justru keluar dari pekerjaan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/10).
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ancaman Resesi Global
Saat pandemi covid-19 mereda, kini permasalahan angka pengangguran memiliki tantangan baru, yakni ancaman resesi global.
Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah lembaga internasional meramal resesi global bisa terjadi pada 2023 mendatang.
Sinyal resesi muncul seiring dengan kebijakan moneter bank sentral yang terus mengerek suku bunganya demi mengendalikan inflasi.
IMF pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu sebesar 6,1 persen. Sedangkan pada tahun depan, diperkirakan hanya 2,9 persen.
Ronny mengatakan saat ancaman resesi ini mengemuka, harga komoditas naik tajam, inflasi mulai tinggi, daya beli masyarakat menurun, fluktuasi mata uang semakin tak karuan, lalu terjadi perang suku bunga oleh bank-bank sentral beberapa negara.
"Semua ini lagi-lagi akan menekan pertumbuhan ekonomi kita dan tentu lagi-lagi larinya ke pelemahan daya serap ekonomi nasional atas angkatan dan tenaga kerja baru," katanya.
Oleh karena itu, ia memproyeksi angka pengangguran di Indonesia tahun depan bisa menyentuh level 9 juta jiwa. "Ini asumsi jika tidak ada kebijakan fiskal ekspansif untuk memitigasinya," imbuh Ronny.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan ruang fiskal pada program-program penjagaan daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mendorong permintaan, sehingga industri akan tetap berproduksi dan menyerap tenaga kerja baru.
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak juga mengamini bahwa ancaman resesi global dan stagflasi berpotensi menambah angka pengangguran. Pasalnya, hal tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat, sehingga usaha manufaktur akan tertunda dan mendahulukan bahan pangan.
"Betul bahwa stagflasi yang mengglobal akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia, dan berpotensi menambah pengangguran," ujarnya.
Ia juga menyinggung meningkatnya pengangguran selama lima tahun belakangan terjadi karena pemerintah terlalu fokus kepada investasi usaha besar yang rentan terhadap covid-19. Waktu covid, produksi sebagian terhenti, karyawan sebagian di PHK.
Oleh karena itu, ia menilai ke depan pemerintah perlu secara aktif membekali angkatan kerja untuk berwirausaha atau bekerja mandiri, diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dengan demikian, Indonesia juga mengurangi ketergantungan pada barang-barang impor, terutama impor bahan pangan.
Menurutnya, jika pemerintah mengambil langkah-langkah yang dimaksud, tahun depan angka pengangguran tidak akan melonjak terlalu tinggi.
"Tahun 2023 yang akan datang angka pengangguran dapat terbendung naik tidak terlalu besar menjadi hanya sekitar 9 juta orang atau sekitar 6 persen," kata Payaman.
[Gambas:Video CNN]