Jakarta, CNN Indonesia --
Kisruh Apartemen Meikarta tak kunjung sampai ke titik penyelesaian hingga saat ini. Masalah justru memasuki babak baru di mana PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta menggugat 18 konsumen.
Ketua Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) Aep Mulyana mengatakan 18 orang konsumen digugat perdata senilai Rp56 miliar ke PN Jakarta Barat usai mengadu ke DPR pada Desember 2022 lalu karena unit yang tak kunjung diserahkan sejak 2019.
Aep menduga gugatan tersebut dipicu oleh isi spanduk-spanduk termasuk kata 'oligarki' yang dibentangkan saat para konsumen orasi dan berunjuk rasa di depan gedung DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PT MSU menggugat 18 orang konsumen Meikarta senilai total Rp56 miliar dengan alasan pencemaran nama baik yang merugikan perusahaan," ujar Aep melalui keterangan tertulis, dikutip Selasa (24/1).
Konsumen Meikarta sendiri sudah rapat dengan Komisi VI DPR pada pertengahan Januari lalu. Dalam rapat itu, konsumen menceritakan kronologi terkait unit yang tidak kunjung diserahkan.
Selain itu sejumlah konsumen juga menuntut pengembang mengembalikan dana atau refund.
"Kami anggota perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta intinya sudah tidak tertarik lagi dengan unitnya, dan sepakat memohon untuk mengembalikan hak-hak kami dalam bentuk refund," ujar Aep.
Dalam rapat itu, Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade menyinggung soal dugaan kekuatan oligarki dalam kasus Apartemen Meikarta.
"Kita melihat ada kekuatan oligarki yang sewenang-wenang. Harusnya bapak (konsumen) sudah menerima (unit) pada 2019 sekarang sudah 2023, jadi sudah delay 4 tahun," ujar Andre.
Andre juga menyinggung PT MSU yang menjanjikan unit diserahkan pada 2027. Andre menuding kasus Meikarta ini sebagai penzaliman oleh oligarki.
"Ini proyek sudah bermasalah dari awal. Ini bentuk penzaliman oligarki kepada rakyat Indonesia," ujarnya.
Kendati demikian, pihak Meikarta tidak dihadirkan dalam rapat itu. DPR sudah berencana untuk memanggil pihak Meikarta, tetapi belum ada kepastian waktu yang ditentukan.
Sementara itu, Corporate Secretary Lippo Cikarang Veronika Sitepu menjelaskan putusan homologasi menyebut penyerahan unit akan dilakukan secara bertahap hingga 2027 mendatang.
Kesepakatan perdamaian atau homologasi itu mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Putusan No. 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jakarta Pusat tertanggal 18 Desember 2020.
Padahal jika mengacu pada Penegasan dan persetujuan Pemesanan Unit (P3U) atau konfirmasi pemesanan, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemilik proyek seharusnya melakukan serah terima unit apartemen pada pertengahan 2019 hingga 2020 kepada konsumen.
Mirisnya lagi, konsumen yang menjadi debitur Bank Nobu mengaku harus tetap membayarkan cicilan untuk pembelian apartemen Meikarta yang tak kunjung mereka lihat wujudnya.
Kuasa hukum Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Rudy Siahaan menyebutkan saat ini terdapat anggota komunitas yang berhenti membayarkan cicilan KPA kepada Bank Nobu. Tapi, mereka mendapatkan intimidasi berbentuk surat peringatan.
"Kalau surat peringatan itu kan berarti ada yang mengancam, memperingati, 'eh kamu bayar dong unitnya, bayar angsuran kamu', bagaimana konsumen mau bayar kalo unitnya nggak ada? Stress dong," papar Rudy di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (19/12).
Bersambung ke halaman berikutnya...
Bahkan, hingga kini, menurut Rudy, pihak Bank Nobu pun tidak bisa memastikan keberadaan unit apartemen Meikarta. Namun, pada saat yang sama, pihak Nobu memaksa debitur KPA untuk tetap membayarkan cicilan.
"Kata mereka tidak bisa (berhenti bayar), mereka tetap jalankan sesuai dengan perjanjian kredit. Kalau sesuai perjanjian kredit, berarti kan ada agunan, tolong dong difasilitasi apa sih langkah-langkahnya. Tolong dong jangan "diintimidasi" melalui surat peringatan," ucapnya.
Sementara, untuk pembeli Meikarta yang telah melunasi, pihak Bank Nobu hanya bisa memberikan surat keterangan lunas tanpa kepastian unit. Rudy pun keheranan sebab pihaknya tetap diminta mempertanyakan keberadaan unit kepada PT MSU.
Lantas di tengah peliknya kasus Meikarta, bagaimana peran pemerintah dalam melindungi konsumen?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan proses hukum harus menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan kasus ini di mana konsumen bisa menggugat pihak Meikarta.
Namun, pemerintah dinilai seharusnya menekan pengembang dan grup bisnis yang menaunginya, dalam hal ini adalah Lippo Group, untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka janjikan kepada konsumen.
"Seharusnya pemerintah bisa memberikan tekanan karena pihak Meikarta jelas-jelas melakukan wanprestasi dan kurang beritikad baik menyelesaikannya dengan konsumen," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/1).
Di sisi lain, Ronny menilai jika proses transaksi konsumen dan Meikarta dilakukan dengan cover asuransi dan sejenisnya, maka proses penggantian bisa saja beralih ke pihak yang mengcover asuransi transaksi properti.
"Itupun jika ada (asuransi) dan jika Meikarta memang layak dinyatakan insolvent atau bangkrut," ujarnya.
Senada, Praktisi Hukum Perumahan Joni Tanamas mengatakan pemerintah bisa bahkan wajib memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi seluruh masyarakat.
Ia mengatakan sebagai regulator, pemerintah bisa membuat aturan perlindungan konsumen dan sebagai pemberi izin, pemerintah bisa mengevaluasi bahkan mencabut izin Meikarta.
"Rombak UU-nya, buat UU Properti Real Estate yang kuat perlindungan konsumen karena relasi hukum dalam jual beli properti atau real estat itu kompleks, dan bukan hanya relasi perdata namun relasi hukum publik," ujarnya.
Sebenarnya, ada lembaga negara yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Kendati demikian, lembaga itu hanya bertugas menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
"Menerima kasus pengaduan tanpa berwenang menyelesaikan kasusnya," jelas Joni.
Joni mengatakan pemerintah perlu membentuk lembaga yang bisa mengawasi, menerima aduan, dan menindak kasus yang terkait dengan perlindungan konsumen.
Lembaga tersebut bisa bertindak seperti Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat atau Badan Pengawas Obat (BPOM) di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing mengatakan kewajiban pelaku usaha jelas tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah menepati janji terhadap konsumen.
"Kalau masuk kategori tidak menepati janji kepada konsumen bisa masuk pidana, bisa juga administrasi, dalam hal ini pemerintah memberikan sanksi, bisa jadi pencabutan usaha dan sebagainya," ujar David.
David menegaskan pemerintah seharusnya bisa menekan pihak Meikarta untuk bertanggung jawab.
"Pokoknya (pemerintah) bisa menekan pemilik perusahaan pengembang tersebut," ujarnya.
Bentuk Badan Pengawas Perlindungan Konsumen Properti
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membuat pengawas perlindungan konsumen properti.
Pasalnya, dari aduan konsumen individu sepanjang 2022, sektor perumahan menempati posisi keempat dengan 7,3 persen. Persentase ini menunjukkan 64 individu dari total 882 keluhan melapor pada YLKI terkait masalah perumahan.
[Gambas:Photo CNN]
"Struktur Kementerian PUPR saat ini belum ada fungsi yang mengurusi masalah perlindungan konsumen. Ini kami dorong supaya di struktur Kementerian PUPR, utamanya Direktorat Perumahan itu ada bagian yang secara khusus bertugas di perlindungan konsumen," ujar Pengurus YLKI Sudaryarmo.
Selain itu, menurutnya, berdasarkan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, mestinya kementerian sektoral harus membuat peraturan teknis terkait perlindungan konsumen.
"Kementerian PUPR mestinya mengeluarkan aturan atau pedoman teknis perlindungan konsumen di sektor perumahan, dan ini jadi acuan bagi pengembang dan konsumen ketika membeli properti dan ada masalah," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN]