Bahkan, hingga kini, menurut Rudy, pihak Bank Nobu pun tidak bisa memastikan keberadaan unit apartemen Meikarta. Namun, pada saat yang sama, pihak Nobu memaksa debitur KPA untuk tetap membayarkan cicilan.
"Kata mereka tidak bisa (berhenti bayar), mereka tetap jalankan sesuai dengan perjanjian kredit. Kalau sesuai perjanjian kredit, berarti kan ada agunan, tolong dong difasilitasi apa sih langkah-langkahnya. Tolong dong jangan "diintimidasi" melalui surat peringatan," ucapnya.
Sementara, untuk pembeli Meikarta yang telah melunasi, pihak Bank Nobu hanya bisa memberikan surat keterangan lunas tanpa kepastian unit. Rudy pun keheranan sebab pihaknya tetap diminta mempertanyakan keberadaan unit kepada PT MSU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas di tengah peliknya kasus Meikarta, bagaimana peran pemerintah dalam melindungi konsumen?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan proses hukum harus menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan kasus ini di mana konsumen bisa menggugat pihak Meikarta.
Namun, pemerintah dinilai seharusnya menekan pengembang dan grup bisnis yang menaunginya, dalam hal ini adalah Lippo Group, untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka janjikan kepada konsumen.
"Seharusnya pemerintah bisa memberikan tekanan karena pihak Meikarta jelas-jelas melakukan wanprestasi dan kurang beritikad baik menyelesaikannya dengan konsumen," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/1).
Di sisi lain, Ronny menilai jika proses transaksi konsumen dan Meikarta dilakukan dengan cover asuransi dan sejenisnya, maka proses penggantian bisa saja beralih ke pihak yang mengcover asuransi transaksi properti.
"Itupun jika ada (asuransi) dan jika Meikarta memang layak dinyatakan insolvent atau bangkrut," ujarnya.
Senada, Praktisi Hukum Perumahan Joni Tanamas mengatakan pemerintah bisa bahkan wajib memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi seluruh masyarakat.
Ia mengatakan sebagai regulator, pemerintah bisa membuat aturan perlindungan konsumen dan sebagai pemberi izin, pemerintah bisa mengevaluasi bahkan mencabut izin Meikarta.
"Rombak UU-nya, buat UU Properti Real Estate yang kuat perlindungan konsumen karena relasi hukum dalam jual beli properti atau real estat itu kompleks, dan bukan hanya relasi perdata namun relasi hukum publik," ujarnya.
Sebenarnya, ada lembaga negara yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Kendati demikian, lembaga itu hanya bertugas menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
"Menerima kasus pengaduan tanpa berwenang menyelesaikan kasusnya," jelas Joni.
Joni mengatakan pemerintah perlu membentuk lembaga yang bisa mengawasi, menerima aduan, dan menindak kasus yang terkait dengan perlindungan konsumen.
Lembaga tersebut bisa bertindak seperti Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat atau Badan Pengawas Obat (BPOM) di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing mengatakan kewajiban pelaku usaha jelas tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah menepati janji terhadap konsumen.
"Kalau masuk kategori tidak menepati janji kepada konsumen bisa masuk pidana, bisa juga administrasi, dalam hal ini pemerintah memberikan sanksi, bisa jadi pencabutan usaha dan sebagainya," ujar David.
Lihat Juga : |
David menegaskan pemerintah seharusnya bisa menekan pihak Meikarta untuk bertanggung jawab.
"Pokoknya (pemerintah) bisa menekan pemilik perusahaan pengembang tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membuat pengawas perlindungan konsumen properti.
Pasalnya, dari aduan konsumen individu sepanjang 2022, sektor perumahan menempati posisi keempat dengan 7,3 persen. Persentase ini menunjukkan 64 individu dari total 882 keluhan melapor pada YLKI terkait masalah perumahan.
"Struktur Kementerian PUPR saat ini belum ada fungsi yang mengurusi masalah perlindungan konsumen. Ini kami dorong supaya di struktur Kementerian PUPR, utamanya Direktorat Perumahan itu ada bagian yang secara khusus bertugas di perlindungan konsumen," ujar Pengurus YLKI Sudaryarmo.
Selain itu, menurutnya, berdasarkan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, mestinya kementerian sektoral harus membuat peraturan teknis terkait perlindungan konsumen.
"Kementerian PUPR mestinya mengeluarkan aturan atau pedoman teknis perlindungan konsumen di sektor perumahan, dan ini jadi acuan bagi pengembang dan konsumen ketika membeli properti dan ada masalah," ungkapnya.