Jakarta, CNN Indonesia --
Perhatian publik tertuju pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) usai kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak dari eks kepala bagian umum kantor wilayah DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo.
Publik mengkritik DJP setelah mengetahui Rafael memiliki harta senilai Rp56 miliar. Maklum, jumlah kekayaan Rafael tidak wajar jika melihat jabatan yang diembannya.
Imbasnya, di media sosial pun ramai seruan setop bayar pajak karena curiga uang publik disalahgunakan oleh pejabat DJP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggali Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafael.
"Sekarang yang dipersoalkan LHKPN. Ternyata harta yang bersangkutan tidak sesuai dengan upah. Untuk mengklarifikasi menyangkut penghasilan," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih, Selasa (28/2).
Selain itu, Alex mengatakan pihaknya juga akan menanyakan soal sumber kekayaan Rp56 miliar milik Rafael yang tak sesuai profil.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui jumlah harta kekayaan milik anak buahnya itu tak masuk akal jika melihat jabatannya sebagai eselon III di DJP.
Sebagai pembanding, berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com di situs LHKPN kebanyakan pejabat eselon I dan II DJP hanya memiliki kekayaan senilai Rp4 miliar hingga Rp5 miliar. Lihat saja, kekayaan Direktur Keberatan dan Banding Wansepta Nirwanda hanya sebesar Rp4,12 miliar.
Lalu, Direktur Penegakan Hukum Eka Sila Kusna Jaya Rp4,16 miliar, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ihsan Priyawibawa Rp4,98 miliar, Direktur Data dan Informasi Perpajakan Dasto Ledyanto Rp5,79 miliar, dan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Dodik Samsu Hidayat Rp5,35 miliar.
Adapun pejabat DJP dengan harta paling kecil adalah Kepala Seksi Pemeriksaan Muhammad Tarmizi, yakni Rp688,5 juta.
Sementara, pejabat eselon II dengan harta yang paling besar lainnya adalah Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II Harry Gumelar, yakni mencapai Rp30,87 miliar.
"Terhadap yang bersangkutan (Rafael) ini doesn't make sense, kami juga tahu itu gak make sense. Saya bilang ke Irjen (Inspektorat Jenderal Kemenkeu) untuk disampaikan ke publik, selama ini anda kontrol itu," kata Sri Mulyani saat menghadiri CNBC Indonesia Economic Outlook.
Bendahara negara itu juga mengklaim sudah lama mencurigai harta jumbo milik Rafael. Ia membantah penyelidikan harta Rafael baru dilakukan sekarang karena viral kasus sang anak, Mario Dandy Satrio, yang menganiaya David, putra petinggi GP Ansor.
"Penelitian (harta Rafael) dilakukan karena kasus itu (penganiayaan anak petinggi GP Ansor), itu tidak benar. Kami sudah melakukan penelitian," ucap Sri Mulyani.
Ia menegaskan Kemenkeu selalu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal LHKPN. Hanya saja, ia menyesalkan tidak ada tidak ada tindakan konkret yang dilakukan sejumlah pihak yang dilapori harta tersebut, meski sudah terpantau mencurigakan.
Menurutnya, kelalaian ini bakal menjadi evaluasi secara menyeluruh, bukan hanya di internal DJP, tapi keseluruhan Kemenkeu.
"Kalau selama ini sudah dilihat, investigasi, diteliti, kenapa tidak dilakukan tindakan? Kalau yang bersangkutan, apakah ini kesulitan atau kelemahan kita mencari bukti, apakah ada faktor lainnya? Itu yang akan kami teliti dan saya sudah minta Pak Irjen untuk melakukannya," ujar Sri Mulyani.
"Jadi sebetulnya kami sudah melakukan tindakan, namun mengapa tidak muncul suatu langkah korektif? Ini yang mungkin menjadi fokus kami," imbuhnya.
Lantas mengapa dalam kasus ini Irjen seolah kebobolan dan tidak mengambil tindakan dari jauh-jauh hari?
Pengamat Kebijakan Publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio menjelaskan pekerjaan dasar Irjen adalah untuk mencegah penyelewengan hingga korupsi di tubuh internal kementerian atau lembaga.
Menurutnya, seharusnya Irjen memiliki data jumlah kekayaan secara detil dari internal kementerian, sehingga mereka harus bertanggung jawab untuk menjelaskan jika selama ini data kekayaan Rafael Alun dibilang 'wajar'.
Terkait kinerja Irjen Kemenkeu, Agus tidak mau menilai atau menuduh buruk. Sebab, yang tahu akan hal itu hanya internal Kemenkeu.
Namun, ia mengatakan ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan Irjen bisa kebobolan dari kasus ini. Menurutnya, hampir semua Irjen memiliki kendala yang sama, yakni kedekatan dengan internal.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Agus menilai kedekatan bisa membuat kerja irjen terhambat. Bahkan lebih buruk lagi, seandainya itu korupsi tak menutup kemungkinan ada pembiaran. Mengingat korupsi di Indonesia sudah mendarah daging dan masuk ke sumsum tulang.
"Ya Irjennya juga perlu diperiksa. Tapi kalau ASN korupsi itu gampang, cek gajinya berapa? Hidupnya seperti apa? Selesai," ucap Agus kepada CNNIndonesia.com.
Ia menekankan bahwa irjen bertanggung jawab terhadap kepentingan internal kementerian atau lembaga. Irjen yang tahu apakah ASN di internal pernah melanggar atau tidak. Menteri pun hanya menerima laporan dari irjen.
"Kalau Irjen lapor baik, ya baik. Menteri kan gak mungkin turun sampai ke toilet ngecek," kata Agus.
Pengawasan Irjen Lemah
Pendapat yang tak jauh berbeda disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia menyebut kasus harta Rafael yang tak wajar namun belum ada tindakan karena pengawasan internal dari Irjen lemah.
"Pengawasan internal kementerian lemah, jadi kurang proaktif melakukan penelusuran terhadap kejanggalan kenaikan harta ASN," katanya.
Kalau dilihat dari LHKPN Rafael, kata Bhima, ada keganjilan pada 2013-2014 naiknya sampai Rp10 miliar lebih. Kemudian, di 2019-2020 naiknya juga sekitar Rp10 miliar.
Melihat data ini, seharusnya Irjen proaktif untuk melakukan audit dan bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aliran uang.
Sebenarnya di internal kemenkeu sudah ada sistem pelaporan sesama pegawai. Kalau ada atasan memiliki harta mencurigakan, apalagi ada kaitan dengan suap, misalnya, sesama pegawai bisa saling melapor.
Kendati demikian, Bhima menduga sistem whistle blower itu tidak bekerja dengan baik.
"Ini perlu didorong, ada keberanian dari pegawai untuk bicara asal buktinya kuat," imbuh Bhima.
Setali tiga uang, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menuturkan kasus harta berlimpah Rafael salah satunya karena minimnya pengawasan internal di satu sisi dan rendahnya etika pejabat pajak di sisi lain.
Pertanyaanya kemudian, pengawasan internal yang seperti apa? Mereka selalu diaudit setiap tahun, secara personal pun selalu melaporkan hartanya ke KPK dalam hal ini LHKPN, lantas di bagian mana persoalanya?
Ronny mengatakan berkaca pada LHKPN misalnya, yang diungkap hanya kepemilikan harta dari sisi legal atau tidak legal menurut perundang-undangan yang ada. Selama mereka bisa membuktikan bahwa hartanya tak ada masalah dengan aturan hukum yang ada, maka LHKPN-nya dianggap tak ada masalah.
"Tapi apakah harta legal benar-benar legal arti yang sebenarnya, hanya sesama pejabat yang mengetahui, yakni antara pejabat terkait dan pejabat dari institusi pengawasan," imbuh Ronny.
Oleh karena itu, ia menilai dalam konteks inilah satgas khusus penertiban pejabat pajak diperlukan saat ini, agar bisa mencapai ke semua level jabatan.
Menurut Ronny, satgas khusus ini juga bisa menyasar sisi etika sosial dan ekonomi pejabatnya, terutama soal gaya hidup dan tingkah polahnya di tengah masyarakat.
Terkait cakupan kewenangan Irjen Kemenkeu, Ekonom Indef Reza Hafiz memaparkan beberapa tugas dan fungsinya. Hal tersebut ia ungkapkan merujuk pada PMK Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Pada Pasal 1743, Irjen Kemenkeu itu punya unit Inspektorat Bidang Investigasi yang memiliki beberapa tugas yang berkaitan langsung dengan konteks seperti pada kasus Rafael.
Pertama, pelaksanaan eksaminasi (pemeriksaan) laporan pajak-pajak pribadi (LP2P), LHKPN, dan laporan harta kekayaan pegawai di lingkungan Kemenkeu. Menurut Reza, pada pint ini jelas Irjen bisa melakukan pemeriksaan harta ke seluruh individu di bawah instansi Kemenkeu.
[Gambas:Photo CNN]
"Jika memang pemeriksaan tersebut dilakukan dengan baik dan benar, dilakukan tindakan tegas terhadap individu yang hasil pemeriksaannya mencurigakan, serta dilaporkan pada pimpinan tertinggi instansi tersebut, tentu hal-hal seperti ini (kasus Rafael) dapat diantisipasi," imbuh Reza.
Kedua, pelaksanaan tindak lanjut atas informasi transaksi keuangan mencurigakan. Reza menyebut pada poin ini, masyarakat tahu bahwa PPATK sudah tracking terkait transaksi mencurigakan Rafael sejak 2012 dan berikan informasi/laporan kepada KPK, Kejagung, dan Irjen sendiri.
"Jika ditindaklanjuti serius dan tidak dilakukan pembiaran atas laporan PPATK terset, harusnya Rafael ini sejak lama diberhentikan dari pegawai Kemenkeu kan?" katanya.
Ketiga, pemberian rekam jejak (clearance) pegawai di lingkungan Kemenkeu. Poin ini jelas, Irjen bisa memberikan profiling kepada pimpinan (menteri) seperti apa rekam jejak individu-individu yang menempati posisi strategis di instansi tersebut.
"Apakah tugas ini tidak berjalan, disengaja, atau ada oknum yang bermain di situ? Saya tidak men-judge hal tersebut tapi kan jadinya patut dipertanyakan bagaimana pengendalian internal di institusi kementerian/lembaga paling besar di negara ini tidak berjalan dengan baik. Bagaimana kementerian/lembaga yang lain?" ungkap Reza.
[Gambas:Video CNN]