Jakarta, CNN Indonesia -- Budi sebut saja begitu, membuat keluarganya merasa hidup tak nyaman selama beberapa tahun. Pria dewasa ini memang didiagnosa mengidap penyakit Skizofrenia.
Saat kondisinya memburuk dia bisa ngamuk-ngamuk tak tentu juntrungannya. “Kalau bicara ditanggapi salah, tak ditanggapi juga salah,” kata Bagus Utomo, pria warga Jakarta itu tentang kakak laki-lakinya. “Dia bisa mengamuk marah sampai pagi. Hidup seperti itu sangat tak nyaman.”
Apa yang dialami Bagus akibat kondisi Budi sudah dicatat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut lembaga tersebut sebanyak 20 juta orang mengidap skizofrenia di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh pada pengidapnya, tetapi juga kepada orang-orang yang hidup di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Hidup bersama kakak saya merupakan penderitaan yang luar biasa, bayangkan saja setiap hari dia mengamuk,” kata Bagus bercerita.
Selama belasan tahun Bagus harus rela diganggu saat waktu istirahat dan tidurnya dengan amukan kakaknya, sampai akhirnya kakaknya bisa sembuh dari gangguan jiwa ini.
Sampai pada fase kesembuhan itu juga bukan tanpa perjuangan. Bagus harus berkonsultasi dengan psikiater, memberi obat-obatan yang dianjurkan dokter untuk kakaknya, hingga mencari dukungan-dukungan sosial.
Bagus juga bercerita, sebelumnya ia sempat menggunakan berbagai cara untuk menyembuhkan kakaknya. “Dari ditransfer ke kambing, pakai telur, semua saya coba selama 10 tahun untuk menyembuhkan kakak saya,” kata Bagus mengenang.
Setelah sang kakak mendapatkan pengobatan yang tepat sekaligus keluarga mendapat berbagai edukasi cara-cara menangani pengidap skizofrenia Bagus mulai menerapkannya pada kakaknya sendiri, hingga kakaknya sembuh.
Dia membuatnya merasa bahwa pengalaman ini perlu dibagi dengan orang lain.
Ia mengaku saat ia melihat orang-orang yang baru mengidap gejala awal skizofrenia ia merasa ingin membantu, karena penyakit ini lebih mudah ditangani saat gejala awal baru muncul.
Pengalamannya hidup dengan penderita skizofrenia ini menginspirasi Bagus untuk mendirikan komunitas di tahun 2001 bernama Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia.
Dengan KPSI, Bagus tidak hanya membantu para pengidapnya, ia juga mengunjungi keluarga para pasien untuk berbagi cara-cara menangani para pengidap.
Bagus sendiri menyatakan bahwa ia sempat merasa trauma sampai sekarang. “Setiap ada keluarga saya yang menelpon, saya langsung panik karena saya takut kakak saya mulai kambuh lagi,” kata Bagus. Bahkan ia sampai meminta keluarganya untuk tidak segera menelponnya jika tidak terlalu penting dengan mengirim pesan terlebih dahulu.
Usaha Bagus mengembangkan KPSI telah berbuah. Dalam akun Facebooknya sudah terdapat 15 ribu anggota yang bergabung dalam komunitas ini. KPSI juga membantu memberikan rujukan psikiater dan rumah sakit yang tepat untuk para pasien berkonsultasi.
Lembaga ini bekerjasmaa dengan penyedia layanan medis untuk untuk penanganan lanjutan misalnya dengan berbagi dengan sesama pengidap, latihan yoga, dan lain-lain.
Pasien yang sembuh tak rapuh seperti gelas retakPengidap skizofrenia identik dengan butuh bantuan orang lain. Namun ternyata tidak semuanya demikian. Tiga puluh satu tahun yang lalu, Elyn R. Saks didiagnosis mengidap skizofrenia dan dikatakan tidak dapat hidup sendirian.
“Meskipun saya telah didiagnosis bertahun-tahun yang lalu, namun saya masih harus berusaha menerima bahwa saya mengidap skizofrenia dan akan tetap mendapatkan pengobatan seumur hidup saya,” kata Saks. “Memang pengobatannya telah berhasil menyembuhkan saya, yang saya tidak terima adalah prognosis saya.”
Nyatanya meskipun Saks pernah dirawat inap saat berumur 28 tahun, sekarang Saks adalah seorang dekan dan dosen psikologi dan ilmu perilaku di universitas Souther California Gould Law School. Ia juga telah sembuh dan menjadi advokat kesehatan di Center Cannot Hold, serta telah menikah.
Ada lagi kisah dari fotografer dan kontributor Psych Central Michael Hedrick yang didiagnosa skizofrenia delapan tahun lalu. “Saya tidak pernah mendengar suara-suara dan tidak berhalusinasi. Untuk saya kebanyakan hanya psikosis, parnoid, dan delusi,” kata Hedrick. Bahkan ia pernah menganggap bahwa psikiaternya adalah orang yang sengaja disewa orang tuanya untuk meyakinkan mentalnya tak sehat.
Para pengidap skizofrenia sendiri menurut Bagus tidak ingin diperlakukan dengan hati-hati layaknya gelas retak. “Mereka ingin diperlakukan sama seperti orang lain, supaya kami bisa belajar dan bisa pulih lagi agar seperti orang lain,” Bagus menyatakan. Karena menurutnya yang penting adalah dukungan keluarga dan masyarakat untuk membantu pemulihan mereka.