Jakarta, CNN Indonesia -- Selama ini, istilah 'anak perempuan jahat' lebih populer ketimbang 'anak lelaki jahat'. Mengingatkan pada sekelompok remaja perempuan yang mengucilkan gadis lain. Mungkin, dengan bergosip membicarakan mereka di belakang punggung mereka.
Semua gambaran tersebut salah. Rupanya anak laki-laki lebih mungkin menyakiti orang dengan cara itu. Sementara anak perempuan lebih sering melapor menjadi korban kekerasan sosial tersebut, menurut penelitian.
“Saya terkejut dengan hal ini,” kata Pamela Orpinas, profesor dari University of Georgia Departement of Health Promotion and Behavior. “Sebagian besar situs web, buku, acara televisi, dan penelitian kualitatif berbicara lebih banyak tentang agresi relasional pada anak perempuan, bukan laki-laki.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pamela, yang juga penulis penelitian ini, menilai sebagian besar informasi yang kita lihat dan dengar adalah salah.
Agresi relasional Bila Anda mengucilkan atau menolak orang lain, bertolak belakang dari melukai secara fisik, berarti Anda melakukan apa yang dikenal dengan agresi relasional. Ada juga yang menyebut, agresi tidak langsung atau agresi sosial. Istilah tersebut mengacu saat seseorang merugikan orang lain.
Caranya, menyebarkan rumor negatif, atau berbicara tentang orang lain di belakang orang tersebut, menyabotase hubungan dengan orang lain.
Perempuan umumnya tidak banyak menggunakan agresi fisik dari anak laki-laki. Namun, apakah itu berarti anak perempuan lebih cenderung menggunakan agresi relasional?
Demi mempelajari lebih lanjut tentang agresi relasional di kalangan remaja, Orpinas dan rekannya melakukan penelitian. Mereka ingin mengidentifikasi, tidak hanya apakah anak perempuan lebih jahat, dari anak laki-laki, tapi juga melacak lintasan agresi antara anak kelas 6 dan 12.
Sampel diambil dari 620 siswa dari sembilan sekolah menengah di sebelah timur laut Georgia. Daerah tersebut merupakan wilayah dengan kejahatan dan kemiskinan tinggi. Jumlah pembagian hampir sama antara anak laki-laki dan perempuan. Setengah dari siswa adalah kulit putih, generasi hitam ketiga, dan sisanya Latin.
“Itu merupakan satu dari sebuah penelitian besar, yang mencoba memahami pembangunan sosial dari SMP ke SMA,” kata Orpinas.
Orpinas menemukan, hampir semua siswa melaporkan setidaknya satu tindakan agresi, atau satu kali menjadi korban selama tujuh tahun masa sekolah. Lebih dari setengah jumlah siswa, 55 persen, diklasifikasikan sebagai kategori rendah pelaku tindak agresi relasional.
Anak laki-laki (55 persen) dibanding anak perempuan (45 persen) berada dalam kelompok moderat. Dan, lebih banyak anak laki-laki, 66 persen, dibandingkan anak perempuan, 33 persen, masuk dalam peringkat kelompok tinggi.
“Kita bisa melihat, ada proporsi lebih tinggi anak laki-laki berbuat jahat,” kata Orpinas. “Mungkin anak perempuan lebih agresif dari anak laki-laki dalam hal relasional hanya mitos.” Selain itu, lebih banyak anak laki-laki, yakni 61 persen, berada dalam kelompok terendah sebagai korban, dibanding perempuan, dengan 39 persen.”
“Anak perempuan lebih sensitif terhadap agresi relasional, dan lebih jeli terhadap norma dan status sosial,” kata Orpinas. Itu menjelaskan, lebih banyak anak perempuan melihat diri mereka sebagai korban agresi relasional.
Berita baiknya, secara keseluruhan para siswa melapor adanya penurunan baik agresi maupun korban dari waktu ke waktu.
(win/vga)