Jakarta, CNN Indonesia -- Sulit untuk mencegah penyakit artritis rematoid (AR) karena salah satu jenis penyakit rematik ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, pakar rematologi meyakini sistem kekebalan tubuh dan infeksi virus Epstein Barr (EBV) sebagai salah satu penyebab AR.
"Teorinya ada banyak, nomor satu adalah karena gen yang rentan terkena penyakit rematik. Kemudian, adanya infeksi virus juga diduga sebagai penyebab. Yang beresiko tinggi terkena AR adalah mereka yang ada faktor genetik di dalam tubuh," kata Sumariyono.
Dokter rematologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu menambahkan, waktu pengobatan memberikan peranan penting dalam penanganan penyakit AR. Oleh karena itu, pengobatan secara dini amatlah penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada pengobatan dini, respon atau hasil pemeriksaannya jauh berbeda daripada pengobatan lanjutan. Pengobatan saat dini boleh dibilang kerusakan sendi hampir tak ada, namun jika saat lanjut kerusakan hampir selalu ada," ujar Sumariyono.
Lebih rinci, Rudy Hidayat, dokter rematologi yang juga menjabat Sekretaris Jenderal IRA menjelaskan bagaimana cara mendeteksi penyakit AR sedini mungkin.
"Pertama adalah cek sendiri kalau ada gejala awal tanda peradangan. Dalam AR, peradangan terjadi lebih dari tiga sendi, kaku sendi di pagi hari lebih dari 60 menit, dan apabila gejala berlangsung lebih dari enam minggu tolong dicurigai," kata Rudy.
Ia mengatakan, peradangan sendi dapat dikenali dari lima tanda yaitu berwarna merah, terasa nyeri, bengkak, hangat, dan terjadi gangguan fungsi. Menurut Rudy, peradangan seperti itu tidak boleh dianggap biasa.
"Cara lain untuk mengetahui AR adalah tes remas di pangkal jari. Apabila timbul nyeri maka dapat dikatakan terjadi peradangan khas AR. Kedua, dianjurkan juga untuk periksa, jika tidak ada rematolog, minimal ke dokter ahli penyakit dalam," kata Rudy.
Langkah selanjutnya, Rudy menjelaskan, adalah mengamati berjalannya penyakit AR. Ia memaparkan, AR tidak bisa disembuhkan sehingga target pengobatannya adalah remisi atau pengurangan dampak penyakit.
"Remisi itu butuh obat, kalau mau cepat bisa menggunakan agen biologi, namun biayanya mahal. Kalau pakai obat konvensional perlu kesabaran pasien untuk terus berobat sampai dikatakan harus pakai agen biologi," kata Rudy.
Dia menjelaskan, remisi dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan inflamasi, serta memperbaiki fungsi sendi. Menurut Rudy, proses pengobatan yang lama tak jarang membuat pasien tidak nyaman dan akhirnya bosan.
"Untuk itu, harus diamati terus. Dengan demikian, yang terakhir diharapkan AR dapat terkontrol yaitu mencapai target remisi atau mendapat hasil pengobatan klinik yang optimal," ujarnya.
Cek, periksa, dan amati AR agar senantiasa terkontrol bertujuan agar kerusakan sendi akibat AR dapat dicegah. Dengan demikian, tidak terjadi komplikasi berupa kecacatan dan dapat meningkatkan harapan hidup penderita AR.
"Ini semua sebisa mungkin harus dilakukan secepat mungkin karena deteksi dini AR menjadi bagian yang penting untuk menangani pasien AR," tandas Rudy.
(Baca juga: Wanita Tiga Kali Lebih Rentan Cacat Akibat Artritis Rematoid) (win/utw)