Jakarta, CNN Indonesia -- Sepanjang usia 30-an, Marie Cuthbertson (nama samaran) yang kini berusia 50 tahun, selalu mengalami gejala yang memalukan dan menyakitkan setelah berhubungan seks dengan suaminya sendiri. Setiap berkonsultasi dengan dokter, diagnosis yang diberikan selalu penyakit menular seksual dan diresepkan antibiotik.
Namun, gejala yang dirasakannya tak pernah berkurang. “Semua dokter gagal menemukan bahwa saya menderita reaksi fisik karena seks,” kata Marie. “Mereka mengatakan kondisi tersebut tidak terjadi dan tersirat mengatakan pasangan saya tidak bisa setia. Itu menghina kami berdua.”
Marie dan suaminya, Mark (49), yang tinggal di Sheffield, Inggris, melakukan hal terbaik untuk mengobati masalah yang dianggap orang sebagai ‘lelucon’ dan terus mencoba untuk menikmati kehidupan seks mereka. Namun, rasa sakit ‘mengerikan’ dan peradangan yang terjadi pada vagina setelah berhubungan dengan suami, meyakinkan Marie dia sedang mengalami reaksi terhadap tindakan seks itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Peradangan dan sakit hanya terjadi di waktu sesudah berhubungan seks. Saya yakin itu bukan masalah infeksi,” katanya.
Akhirnya, setelah 10 tahun berlalu, seorang dokter umum baru merujuknya ke klinik genitourinary. “Dokter yang fantastis,” kata Marie mengenang.
“Saya bilang saya percaya saya alergi terhadap seks. Dia mengatakan bahwa dia telah membaca laporan klinis yang menunjukkan kondisi itu memang bisa terjadi.”
Dokter tersebut mengatakan Marie bisa jadi mengalami alergi terhadap protein yang terkandung di dalam air mani dan kondom adalah satu-satunya solusi. Benar saja, setelah Marie mengikuti saran dokter untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks, gejala menyakitkan yang dirasakannya langsung lenyap.
“Kami tidak ingin menggunakan kondom, tetapi solusi itu benar-benar bekerja,” katanya.
Masalah yang dihadapi Marie mungkin terdengar jarang, tetapi satu dari sepuluh perempuan mungkin mengalami kondisi serupa. Reaksinya bisa ringan, seperti iritasi dan gatal, tapi juga bisa begitu parah dan menyebabkan reaksi alergi yang mengancam nyawa yang disebut syok anafilaksis. Reaksi alergi tersebut juga bisa memicu serangan asma.
Tampaknya memang masuk akal bagi orang-orang yang mengalami alergi terhadap air mani, dasar reproduksi manusia. Namun demikian, Dr Michael Carroll, dosen ilmu reproduksi di Manchester Metropolitan University, mengatakan penelitiannya yang tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa ada sekitar 12 persen perempuan yang mungkin mengalami alergi air mani. Sayangnya, kondisi tersebut kurang terdiagnosis karena sebagian dari mereka malu untuk berkonsultasi dengan dokter.
Dia mengatakan dokter sering salah mendiagnosis karena adanya kesamaan gejala dengan kondisi lain seperti dermatitis dan beberapa penyakit menular seksual. Perempuan berusia 20 sampai 30 tahun diperkirakan akan mengalami dampak terburuk, merasakan reaksi segera atau sampai satu jam setelah berhubungan seks. Mereka akan mengalami reaksi negatif terhadap air mani semua laki-laki.
(mer)