Jakarta, CNN Indonesia -- Para ilmuwan yang selama bertahun-tahun setia mengembangkan obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit, sekarang bekerja dengan perusahaan tembakau untuk mengembangkan rokok elektrik.
Dikutip dari Reuters, perusahaan Philip Morris International (PMI) mempekerjakan lebih dari 400 ilmuwan dan staf teknis di pusat penelitiannya di Neuchâtel, Swiss. Mereka termasuk para ahli toksikologi, ahli kimia, ahli biologi, serta ahli biostatistik dan urusan regulasi.
Sementara itu, perusahaan Altria Group, yang memproduksi Marlboro, juga telah merekrut puluhan ahli kimia dan kesehatan untuk perusahaan rokok elektrik independennya NJOY. Mereka mengembangkan perangkat inhalasi ini di bawah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga Food and Drug Administration di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka mengatakan bahwa mereka sedang berusaha untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
“Kami sedang melihat mencari obat yang dapat membuat orang-orang yang sedang sakit parah dapat memperpanjang usia mereka selama 12 sampai 14 minggu,” kata Gizelle Baker, ahli biostatistik Philip Morris International di Nechatel.
“Jika Anda memiliki produk yang mencegah kanker di tempat pertama, Anda memberikan dampak yang lebih besar pada kesehatan masyarakat,” kata ilmuwan yang sebelumnya bekerja di perusahaan pengembangan obat kanker Poniard Pharmaceuticals itu.
Tujuan mereka adalah, memperbaiki generasi rokok elektrik saat ini dan, jika mungkin, memberikan bukti bahwa mereka dapat mengurangi risiko penyakit. Produk yang dinyatakan oleh memiliki risiko lebih kecil oleh FDA ini diharapkan memiliki peraturan yang lebih ringan.
“Jika perusahaan tembakau dapat membuktikan bahwa ada penurunan risiko (penyakit), rokok elektrik akan mendapatkan regulasi yang lebih sedikit serta pajak lebih kecil daripada rokok,” kata analis Philip Gorham. Namun, jika perusahaan tersebut tidak bisa membuktikannya, mereka mungkin akan tunduk pada pembatasan yang sama, lanjutnya.
PMI telah menggelontorkan lebih dari US$ 2 miliar atau sekitar Rp 26 triliun untuk mengembangkan dan meneliti penurunan risiko kesehatan pada rokok elektrik. Pembakaran tembakau menghasilkan bahan kimia beracun yang lebih besar.
Namun, untuk membuktikan bahwa produk rokok elektrik memiliki risiko lebih kecil memerlukan ilmu pengetahuan canggih. FDA ingin melihatnya manfaat kesehatan tersebut, tidak hanya bagi perokok individu tapi juga bagi populasi secara keseluruhan.
Manuel Peitsch, profesor bioinformatika di Universitas Basel, membantu upaya PMI untuk menganalisis unsur uap rokok elektrik. Menilai efeknya pada sel dan molekul, serta kemungkinan produk ini menimbulkan penyakit.
PMI juga melakukan uji klinis pada manusia. Mereka ingin menilai, apakah rokok elektrik mengurangi paparan berbahaya bagi orang lain. Dan jika demikian, apakah pengurangan efek tersebut juga memiliki risiko terkena kanker paru-paru, penyakit jantung, gangguan paru, atau gangguan paru obstruktif kronik yang lebih rendah.
(win/mer)