Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum koki-koki top dunia memopulerkan tren kuliner asin yang dicampur manis, Indonesia rupanya sudah punya cikal bakalnya. Itu bisa ditemukan pada makanan khas Sulawesi.
Masyarakat Jailolo menyantap lauk bercitarasa gurih seperti pantallo pamarason bukan dengan nasi. Sebagai gantinya, mereka merebus singkong, ubi, pisang, dan buah sirsak muda.
Pantallo pamarason merupakan daging berbumbu yang dimasak dengan rempah Toraja dan keluak. Rasanya mirip rendang tapi lebih gurih. Tekstur dagingnya lebih lembut dan secara tampilan mirip masakan Jawa, krengsengan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat potongan pantallo pamarason dan ubi madu mendarat di lidah, sensasi unik langsung terasa. Bumbu daging mendominasi di kecapan awal. Namun belakangan, manis ubi pun menyatu dalam sebuah kombinasi yang bisa dinikmati.
Paduan dengan sirsak muda terasa lebih netral. Sirsak muda tidak terlalu menguarkan rasa manis, sehingga saat disantap dengan pantallo pamarason lebih seperti makan lontong biasa.
Selain dengan pantallo pamarason, sirsak muda, ubi, pisang, dan singkong juga bisa dipadukan dengan kakap woku blanga, ayam gagape, prawn tuturuga, dan tentu saja ayam rica-rica.
Semuanya masakan berbumbu khas Sulawesi. Kakap woku blanga merupakan ikan yang dimasak dengan bumbu kecokelatan. Ayam gagape terasa seperti ayam bumbu kuning dengan kunyit yang menonjol.
 Ayam gagape, makanan khas Sulawesi (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia) |
Warga lokal sudah terbiasa menyantap menu-menu itu tidak dengan nasi. Kalau lidah awam menganggapnya unik, bagi masyarakat Sulawesi kombinasi manis dan asin itu terasa nikmat.
"Itulah keindahan makanan Indonesia. Sekarang jadi tren, seperti salted caramel atau chocolate salty. Ini sangat unik. Ada layer pedas, asam, gurih, dan manisnya. Keragaman rasa ini cantik," ujar Petty Elliott, koki yang memasaknya di Hotel Kempinski Indonesia.
Menu-menu itu hidup dari ingatan masa lalu Petty. Ia sendiri asli Manado. Sejak kecil, sang nenek mengajaknya membantu di dapur, memasak makanan-makanan khas daerahnya. Namun ada sebagian menu yang baru dipelajari Petty.
"Mei saya ke Jailolo, belajar di sana. Saya tahu menu ini dari ibu-ibu suku di sana," tuturnya. Sayur kembang pepaya misalnya, ia masak dengan terasi. Rasanya jadi lebih sedap. "Kalau di Manado, enggak pakai terasi."
Petty memang selalu belajar kuliner daerah langsung dari asalnya. Sejak kembali ke Indonesia dari Inggris pada 2002, sudah hampir semua masakan Indonesia ia kuasai. Tinggal Kalimantan yang belum benar-benar ia pelajari.
Menurutnya, riset itu penting. "Bisa sih bikin dari resep, tapi saya ingin memberi info yang autentik. Bagaimana keadaan pulaunya, bagaimana kondisi masyarakatnya," katanya.
Setelah menguasai masakan tradisional sampai ke akarnya, Petty baru akan mengeksplorasinya dengan sentuhan-sentuhan kontemporer. Untuk mengembangkan ide itu, Petty mengandalkan pengalamannya 12 tahun menulis kuliner.
"Kadang saya juga mencari ide sendiri, misalnya ke pasar, ketemu orang, ke alam seperti hutan, laut, gunung. Saya juga senang warna," ujar Petty. Penulis buku Papaya Flower itu menegaskan, "Bagi saya yang penting itu warna, tekstur, rasa, dan tentu saja aroma."
(rsa/mer)