Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai seorang istri Yatmi mau tak mau menjadi perawat atau
caregiver untuk suaminya, Bambang Rudjito yang didiagnosis mengidap gangguan jiwa, schizoaffective.
Dia mengatakan hanya bisa pasrah dengan kondisi suaminya. Namun bukan berarti dia menyerah. Dia tetap tegar mendampingi sekaligus merawat Bambang yang pernah masuk ke Rumah Sakit Jiwa Magelang, Jawa Tengah.
Dokter spesialis kedokteran jiwa, Mahar Agusno, pun menaruh apresiasi terhadap Yatmi karena bisa mendampingi Bambang pada saat penyakitnya kambuh maupun saat Bambang kembali normal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski terkadang Yatmi juga suka mengeluhkan kondisi suaminya itu.
"Ibu Bambang luar biasa bisa mempertahankan perkawinan dengan kondisi Pak Bambang yang menderita schizoaffective," kata Mahar saat ditemui dalam acara Pekan Kesehatan Jiwa Unika Atmajaya, kemarin.
Pasalnya, sempat beberapa waktu Yatmi dan Bambang harus bertukar peran. Yatmi mencari nafkah dan Bambang di rumah, mencuci dan memasak.
Tapi kini, masa-masa kelam itu sudah berlalu. Bambang sudah bisa kembali bekerja dan setidaknya membuat Yatmi bahagia.
Ia kembali menjadi guru Bahasa Inggris di lembaga kursus. Sebuah profesi yang ternyata membuat Yatmi dulu jatuh cinta terhadap Bambang.
Dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikiatri Suryo Dharmono mengatakan
caregiver atu perawat pasien yang terkena gangguan jiwa sebenarnya juga rentan terkena gangguan jiwa maupun stres.
Oleh sebab itu dibutuhkan kesabaran ekstra juga keikhlasan untuk merawat penderita gangguan jiwa.
Untuk menyeimbangkan peran, Suryo berpesan kepada para
caregiver agar tetap menjaga kondisi mereka. Suryo menganjurkan agar
caregiver aktif berorganisasi, apalagi organisasi antar sesama caregiver.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi tekanan maupun depresi yang dihadapi ketika merawat
caregiver.
"Sehingga mereka mempunyai waktu berbagi dengan sesama. Orang-orang profesional yang terlibat bisa membantu mereka," ujar Suryo.
Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga menyarankan para caregiver memberikan waktu pada dirinya sendiri atau
me time.
"Tidak boleh sepenuhnya meluangkan waktu untuk pasien. Harus ada pertukaran dengan orang lain sehingga tidak merasa kehidupan menjadi bagian dari yang sakit," kata Suryo.
(utw/utw)