Kuliner Otentik Indonesia, Diplomasi Negara Lewat Makanan

Christina Andhika Setyanti | CNN Indonesia
Kamis, 29 Okt 2015 11:38 WIB
Ada keluhan ketika kuliner Indonesia dikembangkan di luar negeri sebagai restoran, citarasanya seringkali tak otentik lagi. Apa untung dan ruginya?
Ilustrasi rendang asli masakan Indonesia. (Kyle Lam/Flickr)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rasa kangen akan rumah kerap melanda ketika Anda tinggal di negara lain. Salah satu pengobat rindu adalah dengan menyantap aneka makanan khas Indonesia di restoran yang ada di negara tersebut.

"Belanda adalah salah satu negara yang punya banyak restoran khas Indonesia," kata Detty Janssen, salah satu warga Indonesia yang bermukim di Belanda kepada CNN Indonesia, Rabu (28/10).

"Yang baru beberapa waktu lalu buka, adalah restoran Padang di sana."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya, makanan yang diharapkan bisa mengobati kerinduan akan rempah dan citarasa otentik Indonesia ternyata tak sesuai harapan. Detty mengungkapkan citarasa otentik Indonesia di negara orang seakan hilang.

"Kebanyakan restoran Indonesia ini rasa makanannya sudah disesuaikan dengan citarasa masyarakat di sana," kata Detty yang juga seorang penggiat kuliner Indonesia di Belanda.

Penyesuaian citarasa makanan yang dilakukan misalnya pengurangan rasa pedas dalam makanannya. Berbeda dengan orang Indonesia yang suka dengan rasa rempah dan pedas, masyarakat luar negeri tak terlalu suka dengan rasa yang kuat dan pedas.

Dengan alasan penyesuaian lidah di lokasi yang ditempati ini, akhirnya beberapa restoran Indonesia di luar negeri pun menurunkan tingkat kepedasan dan bumbu lainnya.

Sedikit berbeda dengan Belanda, Ayu Hartoyo, warga Indonesia yang tinggal di Finlandia mengungkapkan hal yang berbeda.

"Setahu saya di Finlandia belum ada restoran makanan Indonesia. Sempat ada beberapa waktu lalu, tapi tidak bertahan lama," kata Ayu kepada CNN Indonesia.

Ucapan Ayu ini senada dengan Zahra Ayu Sekarwangi, mahasiswi Indonesia di Finlandia. "Sampai saat ini memang belum ada restoran Indonesia yang ada di Finladia, mungkin karena izinnya susah dan repot," kata mahasiswi yang sudah tinggal di Finladia selama 10 tahun ini kepada CNN Indonesia.

Hanya saja, meski tak ada restoran Indonesia di sana, namun ada beberapa event kuliner Indonesia yang ada di negara tersebut.

"Seminggu sekali ada Bali Brunch (pop up store), dan tiap tiga bulan ada restaurant day. Di sana orang bisa jualan makanan tanpa sertifikat, termasuk makanan Indonesia."

Dalam event tersebut, makanan Indonesia yang bisa didapatkan antara lain karedok, pempek, rendang, dan sate lilit ikan. Ditambahkannya, di event ini dia harus tetap pintar-pintar memilih makanan dengan citarasa khas.

"Ada yang otentik, ada yang enggak. Jadi tergantung memilihnya saja. Kalau saya pasti pilih yang otentik karena sudah tahu mana yang jual dengan rasa khas, mana yang kurang," katanya.

Hanya saja, Ayas, panggilan akrab Zahra mengungkapkan kalau dirinya masih cukup beruntung ketika ingin menyantap makanan dengan citarasa khas. Pasalnya, Ayas tinggal di lingkungan yang banyak orang Indonesia.

"Di sini banyak ibu-ibu Indonesia yang suka masak, jadi masakannya semua rasanya masih otentik."

Bagaimana dengan New York, Amerika?

"Di New York sebenarnya cukup banyak restoran Indonesia,” kata Tevy Merin Vice President Indonesian Diaspora Network Tri-State Amerika ketika dihubungi CNN Indonesia.

Hanya saja, diakui dia, citarasa makanannya tidak 'asli.' Akhirnya, Tevy dan teman-teman Indonesia lainnya memutuskan untuk menyantap makanan Indonesia dari jasa-jasa katering.

Di New York, makanan Indonesia bukan cuma disajikan di restoran, tapi ada beberapa orang yang menyediakan jasa katering makanan Indonesia.

"Kita semua sudah hafal, kalau mau makan yang enak dan khas, misalnya sate padang harus pesan ke tante yang ini, lalu kalau mau dendeng balado ke tante yang itu. Mereka sudah ada spesialisasinya masing-masing."

Mengapa harus otentik?

Kehilangan citarasa dalam makanan Indonesia ini seakan mengecewakan orang-orang yang bermukim di luar Indonesia.

Ilustrasi nasi gudeg. (CNN Indonesia/ Endro Priherdityo)

"Di restoran di beberapa negara di dunia, citarasa makanan Indonesia sudah berkurang," kata Riany Linardi, Kepala Bidang pendidikan dan Sosial, Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia kepada CNN Indonesia.

"Hal inilah yang coba kami perbaiki. Karena kalau hal ini terus terjadi, keotentikan makanan Indonesia bisa hilang. Masyarakat luar negeri nantinya berpikiran kalau citarasa makanan ya seperti itu seperti yang mereka makan di sana."

Hal ini, diakui Riany akan mengaburkan citarasa khas Indonesia di mata penduduk luar negeri. Nantinya, kondisi tersebut juga akan merugikan Indonesia secara tak langsung.

"Ketika mereka akhirnya ke Indonesia dan mencicipi makanan aslinya, dan ternyata rasanya berbeda dengan yang mereka makan di sana, mereka akan kecewa."

Tevy Merin, mengungkapkan ketidakotentikan ini juga membuat masyarakat luar negeri kebingungan. Di New York, Tevy mengaku sering ditanya oleh penduduk setempat soal makanan Indonesia yang disamakan dengan makanan China.

"Sempat kesal sih, karena mereka banyak yang menyamakan dengan citarasa makanan China, padahal sangat berbeda."

Diungkapkan Rainy, memperkenalkan citarasa asli makanan Indonesia di negara lain adalah bentuk diplomasi antar negara.

"Seharusnya semua makanan yang dimasak punya citarasa yang otentik sesuai dengan rasa aslinya. Setelah kenal dengan citarasa aslinya, orang luar bisa memilih apakah mereka suka atau tidak dengan makanannya," katanya.

Rainy mengatakan bahwa Indonesia seharusnya mencontoh Thailand untuk urusan rasa makanan khasnya di negara lain. Dia mengatakan, di berbagai belahan dunia, citarasa makanan Thailand, salah satunya Tom Yam punya rasa yang seragam dan sesuai aslinya.

Ayas rupanya sependapat dengan Rainy. Dia juga mengungkapkan bahwa makanan khas Thailand adalah salah satu makanan dengan rasa konsisten, dalam artian otentik.

Kekurangotentikan rasa makanan Indonesia di negara lain salah satunya disebabkan karena harga bumbu yang cukup mahal. Meski bisa didapatkan di toko-toko Asia, namun harga bumbunya cukup mahal.

"Harga bumbu di sana bisa mencapai US$2,69 (Rp36,5 ribu) dan ditambah tax 8,25 persen," kata Tevy Merin.

"Kita harus belajar dari Thailand. Pemerintahnya sangat membantu orang-orang yang ingin buka restoran di luar negeri. Salah satunya dengan memberi pinjaman lunak dalam jangka panjang. Selain itu, mereka juga memberi diskon pada maskapai penerbangannya, untuk membawa kargo rempah-rempah yang dibutuhkan untuk masakan mereka di berbagai negara. Jadi harga bumbunya pun tidak terlalu mahal," kata Rainy.

Tevy Merin menambahkan ketidakotentikan ini bukan cuma disebabkan karena bumbu.

"Awalnya, beberapa restoran di New York punya rasa yang otentik. Namun setelah beberapa waktu rasanya mulai berubah jadi kurang otentik."

Dia mengungkapkan, salah satu hal yang mungkin terjadi adalah karena pergantian juru masak dan juga lokasi restoran tersebut berada.

"Ada beberapa restoran yang saya kenal, ternyata mereka mengganti juru masaknya sehingga ada bumbu yang dikurangi dan lainnya," ujar dia.

"Lokasi juga sangat menentukan. Ada kedai kopi Indonesia yang letaknya di dekat kampus di mana banyak mahasiswa internasional, jadi rasanya kurang otentik. Tapi yang anehnya, ada restoran Indonesia yang ada di lingkungan komunitas Indonesia, dan rasanya justru tidak otentik."

Tevy, Rainy, Ayas, Ayu, dan Detty sama-sama setuju bahwa makanan adalah salah satu upaya pengobat rindu akan kampung halaman mereka. Untuk itu, mereka sangat ingin menikmati aneka makanan khas Indonesia dengan citarasa yang benar-benar rasa asli makanan Indonesia di negara mereka bermukim.

"Kami tidak keberatan jika harus menambah 1-2 dollar untuk makanan Indonesia di restoran. Sekalipun harganya cukup mahal untuk makanan tersebut, tapi saya rasa semuanya rela untuk membayar lebih mahal demi citarasa makanan yang otentik dan khas Indonesia," ucap Tevy yang bersama Diaspora rutin menyelenggarakan berbagai acara kuliner Indonesia di New York lewat bazaar ini. (chs/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER