Alergi Wi-Fi, Fakta atau Mitos?

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Minggu, 06 Des 2015 08:21 WIB
Belakangan ini, banyak orang-orang yang mengaku menderita sakit kepala, pusing, sampai iritasi kulit karena terpengaruh sinyal wi-fi.
ilustrasi orang menggunakan ponsel pintar (Dinic/GettyImages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak hanya memudahkan komunikasi, perkembangan teknologi ternyata juga membawa dampak lainnya, termasuk kesehatan. Belakangan ini, banyak orang-orang yang mengaku menderita sakit kepala, pusing, sampai iritasi kulit karena mengalami sensitivitas dan ketidaknyamanan akibat adanya sumber gelombang elektromagtik di sekitarnya. Kondisi ini menurut World Health Organization (WHO) disebut sebagai electromagnetic hypersensitivity (EHS).

Tak tanggung-tanggung, EHS ini diduga menjadi penyebab seorang bocah berumur 15 tahun di Inggris mati bunuh diri. Keluarganya mengatakan gadis tersebut menderita alergi sinyal Wi-Fi.

Dalam kesaksian ibunya di pengadilan pada 19 Novermber lalu, sinyal Wi-Fi di sekolahnya membuat gadis tersebut mabuk dan mendatangkan serangan sakit kepala, sampai mambuatnya sulit untuk berkonsentrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melansir laman Live Science, di beberapa kasus, orang yang mengaku mengalami EHS mengatakan gejala yang mereka alami melemahkan dan mempengaruhi hidup mereka secara dramatis. Orang tua dari seorang anak 12 tahun baru-baru ini mengajukan gugatan di Massachusetts terhadap sekolah swasta, karena menganggap sistem Wi-Fi di sekolah tersebut menyebabkan masalah kesehatan pada anaknya.

Anak tersebut menderita sakit kepala, kulit gatal dan ruam, perdarahan di hidung, pusing dan jantung berdebar-debar. Gejala itu muncul hanya selama jam sekolah dan dokter pun tak mampu mendiagnosisnya.

Pejabat sekolah menolak kesimpulan bahwa penyakit itu berasal dari paparan Wi-Fi. Berdasarkan evaluasi yang mereka lakukan, Wi-Fi tersebut masih sesuai dengan parameter keselamatan yang ditetapkan oleh Federal Communications Commission.

Dalam kasus lain, di Perancis, seorang wanita yang mengklaim bahwa EHS-nya begitu parah membuat ia harus hidup tanpa listrik di gudang yang sedang direnovasi, di pegunungan, untuk melindungi diri dari sinyal elektromagnetik.

Namun, pengadilan secara resmi memutuskan untuk tidak mengakui EHS sebagai kondisi medis.

Terkait hal ini, sebuah penelitian telah menemukan bahwa orang yang menderita gejala EHS, ketika mereka dihindarkan dan diisolasi dari gangguan gelombang elektromagnetik, entah itu dari sinyal Wi-Fi, ponsel atau layar komputer, merasa gangguan sakit kepala dan kelelahan yang mereka derita ketika berhadapan dengan alat-alat tersebut memang berkurang.

Namun, pada penelitian lainnya yang diterbitkan di jurnal Bioelectromagnetics, ditemukan bahwa para partisipan yang mengikuti penelitian sebenarnya tak menyadari kapan sinyal elektromagnetik itu dinyalakan. Dan sebelum penelitian dilakukan, mereka memang tidak diberitahu soal ini.

Dosen psikologi senior di King's College London, James Rubin mengatakan orang yang mengaku menderita EHS sejatinya memang sakit. "Tapi, sains percaya kalau bukan sinyal elektromagnetik yang menyebabkan mereka sakit," kata pemegang gelar doktor yang juga meneliti tentang EHS itu.

Walaupun WHO menyatakan dalam websitenya bahwa orang yang menderita EHS menunjukkan 'berbagai gejala spesifik', mereka juga mengatakan bahwa EHS bukanlah diagnosis medis. Sebab, tak ada dasar ilmu pengetahuan yang mengatakan kalau gejala EHS memiliki hubungan dengan paparan frekuensi elektromagnetik.

Gejala EHS dapat berbeda-beda pada setiap orang, tapi biasanya bisa digeneralisasi. Hal ini berarti EHS bisa mempunyai banyak penyebab.

Misalnya saja sakit kepala. Bisa saja itu disebabkan kebanyakan mengonsumsi kafein. Rasa pusing yang diderita juga bisa saja merupakan gejala flu atau kurang tidur.

Dalam studi Rubin pada 2009 lalu, yang melibatkan 1.000 orang pengidap EHS, dia menyimpulkan Wi-Fi bukan pelaku utamanya. Sejumlah kondisi kesehatan dan lingkungan, yang berbeda pada setiap individulah yang mungkin bertanggung jawab dalam hal tersebut.

Faktor lain yang berperan mungkin saja terjadi ketika seseorang tersugesti bahwa paparan EMF memicu gejala tersebut untuk muncul. (les/les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER