Jakarta, CNN Indonesia -- Analisis data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) menemukan fenomena baru yang mendorong pernikahan anak. Dalam analisis mereka, kondisi kemiskinan tak lagi menjadi penyebab utama terjadinya pernikahan di usia anak.
Hal ini terlihat dari tren pernikahan anak bila dipantau di tingkat provinsi. BPS dan UNICEF mencatat, provinsi dengan tingkat penduduk miskin yang tinggi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) justru memiliki prevalensi atau angka kejadian pernikahan usia anak yang rendah.
Di sisi lain, dalam laporan analisis tersebut menemukan sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki angka pernikahan anak di atas rata-rata nasional, 23 persen. Lima provinsi tertinggi adalah Sulawesi Barat (37 persen), Kalimantan Tengah (36,3 persen), Sulawesi Tengah (34,9 persen), Papua (33,6 persen), dan Kalimantan Selatan (32,7 persen).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan NTT menduduki peringkat ke-25, dengan rata-rata prevalensi 20,5 persen yang berarti angka pernikahan anak di provinsi itu berada sedikit di bawah rata-rata nasional. Provinsi dengan angka pernikahan terendah adalah DIY Yogyakarta dengan 12,2 persen.
DKI Jakarta, pun punya angka prevalensi pernikahan usia anak yang cukup rendah, yakni sebesar 13 persen.
BPS dan UNICEF mencoba membandingkan NTT dengan beberapa provinsi lain yang memiliki taraf kesejahteraan lebih tinggi, seperti Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah. Kemudian, perbandingan itu dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan pendapatan, yaitu mulai dari terendah (Kuintil 1) hingga tertinggi (Kuintil 5).
Hasilnya menunjukkan, NTT memiliki angka pernikahan anak lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Tengah di kelompok Kuintil 1, Kuintil 2, Kuintil 3, dan Kuintil 5. NTT hanya lebih tinggi dari rata-rata nasional pada Kuintil 4 dengan selisih 2,7 persen dan masih lebih rendah dibanding dua provinsi pembanding lainnya.
"Hubungan prevalensi pernikahan usia anak dengan kemiskinan lebih rumit karena dapat berbeda-beda dalam tiap kelompok kesejahteraan tergantung pada lokasi dan kondisi geografis," tulis studi tersebut.
"Pola yang umum adalah presentase perempuan yang melakukan pernikahan usia anak cenderung lebih tinggi di empat kelompok kesejahteraan pertama [Kuintil 1-4] dan kemudian pada kelompok kelima persentasenya lebih rendah," lanjutnya.
BPS dan UNICEF menyebut bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara perkawinan usia anak dan penidikan di Indonesia. Anak yang menikah di bawah umur cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah, selain itu BPS dan UNICEF menilai akses pendidikan hingga sekolah menengah menjadi salah satu cara terbaik menunda pernikahan anak.
"Berdasarkan data, pernikahan anak di Indonesia bukan hanya didorong karena kondisi ekonomi dan juga pendidikan, namun ditemukan ada budaya-budaya tertentu yang resisten, sulit berubah di beberapa tempat di Indonesia," kata M Sairi Hasbullah, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS saat peluncuran laporan tersebut di Jakarta, beberapa waktu lalu.
BPS dan UNICEF dalam laporannya merekomendasikan setidaknya lima tindakan memastikan penurunan angka pernikahan anak di bawah usia. Beberapa rekomendasi tersebut adalah memastikan anak perempuan menuntaskan 12 tahun wajib sekolah, intervensi terhadap norma dan budaya yang mendukung pernikahan anak, dan intervensi pemerintah yang terfokus pada kantung kasus pernikahan anak.
(les)