Tika Bisono
Tika Bisono
Tika Bisono adalah psikolog yang dulunya berprofesi sebagai penyanyi dan model. Kini, mantan Putri Remaja Indonesia 1978 itu, aktif sebagai konsultan dan dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Menikah Urusan Orang Dewasa

Tika Bisono | CNN Indonesia
Rabu, 27 Jul 2016 12:39 WIB
Banyaknya kasus pernikahan usia anak menimbulkan keprihatinan. Menikah itu urusan orang dewasa. Terlalu berat jika dibebankan pada anak-anak.
Pernikahan yang dilakukan di usia dini memberi beban tambahan pada anak-anak yang seharusnya mengembangkan diri. (Dok. SplitShire)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Menikah. Sebuah kata yang membuat hati berdebar bahagia. Penuh penantian. Ada hidup baru penuh pengharapan di masa depan. 

Namun, jika dilakukan terlalu dini. Segala harapan bahagia itu bisa berubah bencana. 

Pernikahan merupakan penyatuan dari dua orang dalam sebuah rumah tangga. Ini adalah tahapan dalam kehidupan yang paling substansial, serius dan sebenar-benarnya. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disinilah pertautan antara dua orang yang berbeda segalanya, berubah status menjadi suami-istri dan bertujuan membangun rumah tangga. Mereka akan mendidik anak-anak yang dilahirkan menjadi manusia yang berguna serta bermanfaat. 

Jadi, logis jika menikah disebut sebagai tugas yang baru bisa dilaksanakan jika manusianya sudah matang dan dewasa.

Matang dan dewasa dari aspek kognitif, kepribadian, psikososial, kemandirian, ekonomi, keamanan, perencanaan berkesinambungan dan terpenting adalah pedagogis – kesiapan untuk belajar menjadi orang tua.

Logis jika menikah disebut sebagai tugas yang baru bisa dilaksanakan jika manusianya sudah matang dan dewasa.Tika Bisono
Namun, ketika pernikahan itu dilangsungkan oleh mereka yang berusia dini dan belum mencapai barometer seperti diatas, bagaimanakah kemudian kelanjutannya? 

Wajar, jika kemudian muncul berbagai opini dari masyarakat tentang pernikahan dini.

Kata ‘dini’ masih bersifat relatif untuk diartikan. 

Barometer kata ‘dini’ itu sendiri masih terpacu pada pandangan umum yang ada. Umumnya, usia menikah bagi kaum pria berkisar 23-30 tahun, sedangkan wanita sekitar 20-27 tahun. Kurang dari itu maka dianggap belum siap menikah.

Selain dari barometer tersebut, pemerintah juga telah menentukan pasangan yang dapat menikah secara hukum di Indonesia. 

Batasan usia yang diizinkan oleh pemerintah tertulis dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Lalu, bagaimana kondisi anak usia 16 dan 19 tahun tersebut yang notabene adalah sosok remaja, dikaitkan dengan beban pernikahan? Padahal, tugas utama mereka adalah pengembangan diri.

Secara psikologis, remaja punya kondisi sosio-emosional, kepribadian, dan kognitif mereka masih seperti masa anak namun terus berkembang sesuai lingkungannya. Oleh karena itu, masa remaja ini juga sering disebut masa pencarian jati diri. 

Pada masa ini, mereka akan sangat sibuk mencari tahu tentang diri mereka dan dunianya. Dan karena rasa ingin tahu yang sangat besar ini, mereka membutuhkan bantuan dari orang tua dan lingkungan untuk mengontrol dan menyaring pengetahuan yang baik untuk mereka.

Kebutuhan pendampingan dari orang tua dan lingkungan itu juga membuat mereka belum dapat memikirkan dengan matang perilaku dan keputusan yang mereka ambil. Sehingga tidak jarang mereka akhirnya menyesali dan belajar dari hal tersebut. 

Hormon manusia juga berkembang pesat saat masa remaja, sehingga remaja sudah mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis dan memiliki rasa ingin tahu terhadap masalah seksual. 

Oleh karena itulah perilaku seksual pranikah bukan hal yang asing lagi bagi remaja, yang seharusnya diimbangi oleh pendidikan dan pengarahan seksual yang proporsional sesuai dengan perkembangan usia mereka. 

Dengan kata lain, meningkatnya ekses dan penyimpangan perilaku seksual pranikah para remaja, maka semakin tinggi pula pernikahan dini yang dilakukan anak dibawah umur.

Padahal, sangat berat bagi remaja melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga. Terlebih lagi bagi pria yang akan berperan sebagai kepala keluarga dan memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.

Tidak hanya itu, besarnya konflik dalam membangun rumah tangga akan menambah parahnya keadaan dan menimbulkan kekecewaan bahkan penyesalan, karena mereka merasa terenggut masa muda mereka yang seharusnya dapat lebih produktif dan berkembang lebih optimal.

Sayangnya, di era global seperti saat ini, pergaulan remaja semakin tidak terkontrol yang berimbas pada meningkatnya kehamilan pranikah dan berujung pada pernikahan dini. 

Tidak sedikit kerugian yang diderita ketika remaja melakukan pernikahan dini, antara lain adalah  keadaan psikologis, emosi dan psikososial remaja yang masih belum matang, sehingga rapuh dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dan akhirnya rentan terhadap perceraian. 

Di sisi lain, perceraian sendiri bisa jadi beban emosional yang dapat menimbulkan gangguan psikis, seperti stres dan depresi. 

Cara paling efektif menekan angka pernikahan usia dini adalah dengan memberi pengetahuan dan pendidikan seks kepada anak sedini mungkin. 

Pembahasan dan pendidikan seks yang dilakukan oleh orang tua, guru dan pemerintah secara masif dan konsisten akan membuat anak tidak ‘penasaran’ mencari informasi dari luar ataupun sumber yang tidak bertanggung jawab yang dapat merusak pengetahuan dan pemahaman seks anak. 

Dengan keterbukaan dan komunikasi dua arah oleh orangtua, guru dan pemerintah mengenai masalah seksualitas, anak juga akan tidak sungkan untuk menanyakan dan berdiskusi tentang hal-hal tersebut. 

Akhirnya anak bisa menjaga diri karena tidak mau menanggung konsekuensi dan resiko dari perilaku seksual pranikah dan pernikahan dini sebelum saatnya. (yns)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER