Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak orangtua meyakini anak adalah titipan atau amanah dari Tuhan. Dan karenanya, segala hal dilakukan atas nama kebaikan untuk anak. Namun, ternyata menurut akademisi, anggapan ini dapat menjadi bumerang bagi anak.
Bumerang yang dimaksud oleh Iklilah Muzayyanah, Ketua Pusat Riset Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia, adalah faktor 'kebaikan demi anak' terutama dalam hal pernikahan, yang justru seringkali tidak didasarkan keinginan atau kebutuhan anak.
"Status anak sebagai amanah di sisi lain memang positif, anak akan dijaga dalam artian ada pemenuhan kebutuhan anak. Namun di sisi lain, akan bisa jadi bumerang ketika ada persoalan," kata Iklilah, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misal ketika anak ternyata hamil di luar nikah atau justru khawatir hamil di luar nikah, akhirnya orangtua berpikir 'ya sudah lebih baik dinikahkan dahulu'. Pikiran itu dianggap lebih aman dan itulah salah satu faktor anak sebagai amanah tidak selalu positif," lanjutnya.
Berkaitan dengan fenomena pernikahan anak, Iklilah menganggap ada banyak faktor yang dapat menyebabkan akhirnya anak cenderung 'mengalah' dan menikah. Seringkali, menurut Iklilah, pengambilan keputusan bukan pada tangan anak melainkan atas kehendak orangtua.
Iklilah menyampaikan beberapa penilaiannya tentang faktor penyebab pernikahan anak dilihat dari status anak. Anggapan 'amanah' itu sendiri menjadi faktor pertama yang disebut Iklilah.
Dan anggapan tersebut bercabang menjadi beberapa kekhawatiran bagi orangtua, seperti takut anak melakukan zina. Kemudian mitos atau stigma seperti khawatir tak mendapat pasangan hingga dicap perawan tua, ingin melepas tanggung jawab dari Ayah atas anak perempuannya kepada sang calon suami anak, serta kondisi keamanan yang dianggap tak stabil seperti di daerah konflik.
"Konteks lainnya adalah dari aspek ekonomi. Anak dianggap sebagai beban ekonomi dan untuk mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan, banyak yang beranggapan ya lebih baik dinikahkan saja," kata Iklilah.
"Lalu ketika anak dianggap sebagai aset ekonomi, justru ada harapan anak perempuan dapat meningkatkan status sosial keluarga saat dinikahkan dengan orang kaya," lanjutnya. "Sehingga sebagai bentuk kontribusi anak kepada orangtua, mereka berharap sang anak nantinya bisa memberi sejumlah materi.”
Contoh yang disebutkan oleh Iklilah tentang anak perempuan dapat menaikkan derajat sosial keluarga terjadi kebanyakan di kawasan pantai utara Jawa seperti Indramayu, Jawa Barat. Bahkan tak jarang ada keluarga yang mematok mahar tertentu untuk anak perempuan mereka.
Perilaku seperti ini yang ditanggapi skeptis oleh Iklilah. Ia menilai bahwa mahar atau biaya kawin yang diberikan calon suami kepada sang anak perempuan, bisa jadi tidak seutuhnya untuk sang anak.
"Padahal seharusnya yang menentukan mahar itu ya perempuan yang akan menikah dan itu jadi milik penuh perempuan. Karena, salah satu alasan mengapa mahar jadi milik penuh perempuan adalah sebagai jaminan ekonomi bila nanti terjadi sesuatu pada rumah tangganya," kata Iklilah.
Menurut dia, orangtua sudah sepatutnya menyerahkan segala keputusan untuk anak kepada anak itu sendiri, termasuk urusan pernikahan. Bagi Iklilah, meski masih di bawah umur, anak berhak dan mampu menentukan keputusan walau masih perlu bimbingan.
Di juga memaparkan bila segala keputusan diambil oleh orangtua, maka anak akan kehilangan otonomi dalam memutuskan. Sayangnya, belum banyak orangtua yang memahami arti penting menempatkan anak sebagai pelaku atau subjek, bukan sekadar objek obsesi orangtua.
Oleh sebab itu, Iklilah menyebut undang-undang perkawinan yang masih melegalkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun, perlu diubah.
"UU tersebut menurut saya harus diamandemen, tiak bisa ditawar lagi. Selama masih ada peraturan membolehkan menikah di usia 16 tahun, itu akan tetap jadi peluang bagi orangtua dan siapapun yang melakukan advokasi," kata Iklilah.
"Namun bila batasan umurnya dinaikkan, maka akan jadi lebih baik. Memang edukasi terhadap orangtua juga harus dikerjakan bersamaan. Kalau menunggu amandemen hukum, bisa lama banget."
(les)