Jakarta, CNN Indonesia -- Aceh juga boleh berjuang untuk mewujudkan mimpinya menjadi destinasi wisata halal kelas dunia. Tentunya sebagai salah satu provinsi penghasil devisa bagi negara. Selain itu, untuk menyerap tenaga kerja dan mengikis angka pengangguran, serta untuk menaikkan PDB. Di samping itu, Arief Yahya juga turut mendukung keinginan tersebut.
"Jika ingin menjadi pemain dunia, gunakan standar global," saran Menpar Arief Yahya di Rakor Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh di Hotel Hermes, Banda Aceh, 19 September 2016 itu.
Caranya, tentu saja dengan mengikuti standar yang sudah dibuat secara universal oleh Global Moslem Travel Index (GMTI). Seperti halnya Kemenpar yang selalu mengkalibrasi dengan standar World Tour and Travel Index (WTTI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF) dengan 14 pilar itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Standar global itu bisa membandingkan posisi kita sedang berada di mana, Mungkin berada di.antara negara-negara rival, seperti Malaysia, Singapore, Thailand, Turki,dan UAE yang sukses dengan destinasi halalnya. Selain itu, mengenai kelemahan dan kelebihan kita. Sebab kita bisa menentukan dengan cepat titik mana yang urgent disentuh. Akhirnya, kita bisa memenangkan pertarungan," kata Arief Yahya yang menyebutkan saat ini Indonesia masih terbawah di antara negara-negara di atas.
Arief Yahya mengungkapkan salah satu kelemahan dan mungkin sekaligus jadi kelebihan Aceh. Ternyata halal itu sendiri yang menjadi kekurangan sekaligus kelebihan dari Aceh. Sebab semua makanan sudah dijamin 1000 persen halal. Selain itu, prosesnya juga halal. Tempat dan fasilitasnya sudah otomatis halal. Maka stakeholder pariwisata di Aceh sudah tidak perlu lagi diurus sertifikat halalnya. Karena semuanya memang sudah halal.
"Nah ini yang salah kaprah! Meskipun sudah jelas-jelas halal, tetap dibutuhkan sertifikat halal tersebut yang dikeluarkan oleh lembaga yang diakui global," kata Arief Yahya.
Arief juga melanjutkan ucapannya. Menurut Menpar yang disertifikat itu bukan hanya makanan dan minuman saja. Tetapi "muslem friendly amenities", seperti hotel, resto, café, dan semua yang terkait dengan wisman. Mulai dari 3A (Atraksi, Akses, dan Amenitas). Seperti yang Anda ketahui, atraksi Aceh memang sangat kuat. Aceh lengkap dengan wisata alam (bahari,gunung, dan danau), wisata budaya (heritage, kuliner, seni dan budaya), dan wisata man made. Akses dan Amenitas yang masih harus dikembangkan lagi," kata dia.
Arief Yahya menyebut cara yang paling mudah dan cepat untuk memenangkan persaingan tentu saja dengan benchmarking. Jadi, tidak asal membandingkan kasus demi kasus yang hanya berujung pada polemik dan debat kusir. Tetapi juga menggunakan standar global yang sudah biasa dilombakan setiap tahaunnya.
"Quick win-nya, Aceh harus bisa memenangkan persaingan itu. Aceh juga harus bisa merebut award sebagai The World’s Best Halal Cultural Destination 2016, yang tahun lalu berhasil dimenangkan Lombok," kata dia.
Ternyata, ada tujuan paling fundamental dari pemenangan award internasional. Menpar Arief Yahya menyebutnya dengan 3C. Pertama, Calibration untuk menyesuaikan kualitas layanan yang dimiliki dengan standar dunia. Jadi harus lebih di pahami, semua yang dijalankan sudah memenuhi kriteria dan level dunia atau belum. Kedua, Confidence, award itu akan menaikkan confidence level atau membuat Aceh semakin pede dengan status juara dunia wisata halal. Ketiga, menaikkan Credibility atau kepercayaan publik akan reputasi Aceh sebagai destinasi yang aman dan nyaman untuk wisatawan yang berasal dari wilayah mana pun.
Ketua Tim Percepatan Wisata Halal Kemenpar Riyanto Sofyan juga menyebut bahwa ada tiga level untuk merebut quick win itu. Pertama, global leadership yang meliputi pemenangan international award, peningkatan peringkat GMTI, lobi dan komunikasi antar sesama stakeholder. Selain itu, makin banyak terlibat dalam event internasional.
Level kedua adalah pemasaran dan promosi. Hal itu bertujuan untuk mengintegrasikan kampanye wisata halal Indonesia baik ke dalam maupun luar negeri secara agresif, terutama target pasar utama. Jika diurutkan, pasar wisata halal itu antara lain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Malaysia, Singapura, Tiongkok, India, Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris.
"Selanjutnya, hanya tinggal menjalankan strategi promosi pemasaran dengan DOT (destination, origination, dan timeline), strategi promosi dengan BAS (branding, advertising, dan selling) dan strategi media dengan POSE (paid media, own media, social media, dan endorser media)," kata Riyanto Sofyan.
Kemudian, level ketiga adalah pengembangan Destinasi serta SDM dan Kelembagaan. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah penguatan daya saing atraksi, produk dan pelayanan. Khusus destinasi dengan 3A (Atraksi, Aksesibilitas, dan Amenitas), harus dilakukan peningkatan kapasitas SDM dan pembuatan pedoman wisata halal. Terakhir, fasilitasi Sertifikasi Halal Indutri Pariwisata.
Di ujung presentasi, Arief Yahya meminta Riyanto Sofyan untuk berdiri. "Khusus untuk program Aceh menuju "The World’s Best Halal Cultural Destination 2016" saya serahkan langsung kepada Riyanto Sofyan. Beliau adalah Ketua Tim Percepatan Wisata Halal Kemenpar. Sementara untuk Sabang menjadi "The World’s Best Marine Tourism Destination" saya serahkan kepada Indroyono Soesilo. Saat ini Indroyono Soesilo juga sedang mengadakan Rakor Wisata Bahari di Sabang. Sebab, beliau adalah Ketua Tim Percepatan Wisata Bahari Kemenpar," ungkap Arief Yahya.
(odh/odh)