Jakarta, CNN Indonesia -- Suara keramaian memecah ketika pintu kayu gedung tiga lantai di tepi Jalan KH Zainal Arifin, Jakarta Pusat, itu dibuka. Saat itu, puluhan wanita paruh baya tengah menari, bercengkerama, dan berbincang seolah bernostalgia melepas rindu.
Mereka berkumpul di sebuah tempat legendaris di ibu kota. Bangunan tiga lantai bercat putih bertuliskan 'Restoran Eka Ria' di bagian luar bangunan itu memiliki model bangunan yang menandakan ia tidak dibuat dari era milenium.
Namun para wanita yang meramaikan lantai dasar restoran itu tidak peduli seberapa tua tempat tersebut. Mereka asik mengobrol mengelilingi meja bundar berisi 10 orang yang tersebar mengelilingi aula besar untuk dansa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yesi, 45, adalah salah satu wanita di tengah keramaian itu. Ia berserta dengan teman-temannya kerap berkumpul rutin di Eka Ria.
"Di sini enak makanannya, dan suasananya membuat kami sering ke sini," kata Yesi saat ditemui
CNNIndonesia.com. Aula utama restoran Eka Ria kerap jadi lantai dansa.(CNN Indonesia/Hizkia Darmayana) |
Yesi dan kawan-kawannya adalah sebagian kecil yang terus datang meramaikan restoran peranakan tertua di Jakarta itu. Yesi, dan pelanggan lainnya, terus datang dan menjadi nadi kehidupan restoran yang berdiri bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Eka Ria pada awalnya adalah sebuah restoran yang didirikan oleh pedagang asal Guang Zhou, China, bernama Tjoeng Tan. Tjoeng mendirikan cikal bakal Eka Ria yang bernama Rumah Makan Jit Lok Jun pada 1925 di kawasan Glodok.
Tjoeng memilih mengenalkan menu asal kampung halamannya, khususnya Kanton, sebagai sajian utama rumah makan mungil yang ia miliki.
Roda zaman berputar. Tjoeng kemudian meneruskan usahanya itu kepada sang anak, Tjoeng Sang alias Suharto Tjondro pada 1958.
Namun, akibat peremajaan kawasan Glodok yang membabat banyak bangunan tua, restoran ini harus angkat kaki pada akhir dekade 1960-an. Suharto kemudian memindahkan rumah makan itu ke Pasar Lindeteves, Jalan Hayam Wuruk, pada 11 November 1970.
Saat restoran berada di tangan generasi ke-dua Tjoeng yaitu Tjoeng Tjien Tjen alias Koko Suharto pada 1984, Pasar Lindeteves terbakar.
Sepetak tanah kosong di sudut Jalan KH Zainal Arifin menarik Koko untuk mendirikan restoran peninggalan itu dengan nama baru.
"Saat itu Presiden Soeharto melarang semua nama yang bernuansa China," kata Koko saat ditemui
CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
[Gambas:Instagram]"Dan sebenarnya Eka Ria itu terjemahan Jit Lok Jun. Jit artinya satu atau eka, lok artinya gembira ria, dan jun artinya taman. Jadi, Jit Lok Jun artinya 'sebuah taman yang gembira', disederhanakan menjadi Eka Ria," papar Koko.
Menjalani bisnis hingga lebih dari 90 tahun bukan hal sederhana bagi keluarga besar Koko. Pasang-surut bisnis kuliner sudah kenyang mereka hadapi.
"Yang membuat restoran ini bertahan hingga selama ini adalah rasa tanggung jawab kami terhadap seluruh karyawan yang rata-rata sudah bekerja lama dengan kami," kata Koko.
"Kami tidak ingin hanya karena sepi pengunjung lantas kami menutup restoran ini, nanti bagaimana nasib karyawan kami?" Koko mengaku tidak memiliki perbedaan apalagi rahasia khusus dalam mempertahankan restoran ini ada di tengah gempuran bisnis kuliner lainnya.
Ia bahkan cukup konservatif dalam menjalankan restoran Eka Ria. Tercatat, Koko hanya membuka satu cabang di Serpong pada 2009.
"Saya tidak ingin banyak cabang. Bila banyak cabang, saya khawatir rasa makanan berubah. Mendidik satu koki hingga ia mengerti masakan kami itu tidak mudah," kata Koko.
"Semua bumbu yang kami gunakan ini diracik sendiri, tidak ada yang instan. Namun memang sudah disesuaikan dengan lidah Indonesia yang 'berani' soal rasa,"
Koko mengatakan makanan yang jadi favorit dipesan pelanggan adalah gurame asam manis dan burung dara goreng. Bahkan ia mengklaim menu burung dara yang ia miliki sudah langka ada di restoran sekelasnya.
[Gambas:Instagram]
Dalam masakannya, Koko menggunakan banyak bumbu khas China dalam memperkaya cita rasa.
Bahkan, ada garam khusus buatan Eka Ria yang menguatkan rasa dari menu burung dara goreng. Sebelum dikonsumsi, garam itu harus ditabur ke daging burung dara agar gurih.
Makanan ala Kanton di Eka Ria memang sudah terasa berbeda bila dibanding yang ada di Singapura atau Hong Kong. Koko mengakui, masakan di luar Indonesia cenderung lebih 'datar'.
Namun mempertahankan rasa tetap sama dan tidak ingin ekspansi bukan berarti Koko kehilangan ide. Ia pun menambah menu baru, untuk memperkaya pilihan konsumen langganannya.
Menu baru yang masih dalam uji coba tersebut adalah Lontong Cap Gomeh yang dijual khusus di Serpong. Koko berharap masyarakat dapat menerima menu yang sudah akrab di lidah orang Indonesia, tentu dengan sentuhan 'Taman Bahagia'.