Tjoeng memilih mengenalkan menu asal kampung halamannya, khususnya Kanton, sebagai sajian utama rumah makan mungil yang ia miliki.
Roda zaman berputar. Tjoeng kemudian meneruskan usahanya itu kepada sang anak, Tjoeng Sang alias Suharto Tjondro pada 1958.
Namun, akibat peremajaan kawasan Glodok yang membabat banyak bangunan tua, restoran ini harus angkat kaki pada akhir dekade 1960-an. Suharto kemudian memindahkan rumah makan itu ke Pasar Lindeteves, Jalan Hayam Wuruk, pada 11 November 1970.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat restoran berada di tangan generasi ke-dua Tjoeng yaitu Tjoeng Tjien Tjen alias Koko Suharto pada 1984, Pasar Lindeteves terbakar.
Sepetak tanah kosong di sudut Jalan KH Zainal Arifin menarik Koko untuk mendirikan restoran peninggalan itu dengan nama baru.
"Saat itu Presiden Soeharto melarang semua nama yang bernuansa China," kata Koko saat ditemui
CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
[Gambas:Instagram]"Dan sebenarnya Eka Ria itu terjemahan Jit Lok Jun. Jit artinya satu atau eka, lok artinya gembira ria, dan jun artinya taman. Jadi, Jit Lok Jun artinya 'sebuah taman yang gembira', disederhanakan menjadi Eka Ria," papar Koko.
Menjalani bisnis hingga lebih dari 90 tahun bukan hal sederhana bagi keluarga besar Koko. Pasang-surut bisnis kuliner sudah kenyang mereka hadapi.
"Yang membuat restoran ini bertahan hingga selama ini adalah rasa tanggung jawab kami terhadap seluruh karyawan yang rata-rata sudah bekerja lama dengan kami," kata Koko.
"Kami tidak ingin hanya karena sepi pengunjung lantas kami menutup restoran ini, nanti bagaimana nasib karyawan kami?"