Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah kesibukannya sebagai fotografer, Budi -bukan nama asli- sebenarnya tengah direpotkan serangkaian dokumen untuk pernikahannya di Belanda dengan pria idamannya.
Ya, Budi memang penyuka sesama jenis atau yang lebih akrab disebut gay.
Budi bercerita kepada
CNNIndonesia.com di tengah urusan bisnis yang ia lakukan di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu. Dia dengan terbuka mengisahkan jalan panjang yang ia lalui, hanya untuk menemukan cinta yang berbeda dengan kebanyakan orang.
"Sebenarnya agak telat ketika saya mengakui saya ini gay," kata Budi mengawali perbincangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangankan curhat, dahulu ketika saya masih remaja, mengaku ke diri sendiri saja tidak berani," sebutnya.
Seperti kebanyakan gay lainnya, Budi juga mengalami masa penyangkalan identitas saat masa pubertas. Ia, dengan jenis kelamin laki-laki yang dimiliki sejak lahir, meyakini saat itu ketertarikannya dengan sesama jenis adalah sebuah ketidaklaziman.
Terlahir sebagai seorang laki-laki yang tidak se-maskulin teman-teman sebayanya di Aceh, Budi kerap mendapat cercaan. Kata 'bencong' sudah biasa mampir ke telinga Budi saat remaja, apalagi di lingkungan keluarga dan pergaulannya yang religius.
 Ilustrasi: Ledekan dan cacian kepada anak dengan perilaku yang tidak umum sesuai gendernya, kerap membuat anak tersebut tertekan. (dok. Unsplash/Pixabay) |
"Saya dahulu bertingkah selayaknya (orang) heteroseksual. Namun kalau ada (pria) yang cakep, saya berkata ke diri sendiri "ini salah, ini salah". Dan itu sakit
sih sebenarnya," ujar Budi. "Setiap malam, saya berdoa dalam salat bahkan hingga ketiduran di atas sajadah karena mencoba untuk sembuh. Saya tidak punya teman untuk membicarakan ini."
Selain itu, dia juga mengaku pernah mencoba untuk menyukai lawan jenis. Bahkan menjalin hubungan romantis.
"Saya juga pernah mencoba berpacaran dengan wanita, namun rasanya seperti menjalin hubungan dengan kakak sendiri.
Kan tidak mungkin
macarin kakak sendiri," tuturnya.
Kepindahan Budi ke Medan pada 2004, membuat ia menemukan dan kenal komunitas lesbian, gaya, biseksual, dan transgender (LGBT). Untuk kali pertama, Budi tidak merasa sendirian di dunia ini.
Hanya Karena Orientasi SeksualMeski mengaku tidak sampai merasakan diskriminasi hingga dalam bentuk fisik, namun Budi mengakui bahwa perlakuan tidak menyenangkan masih jadi langganan komunitas LGBT di Indonesia.
Makian 'bencong' atau sebutan lainnya hanya sebagian kecil bentuk diskriminasi masyarakat kepada kelompok marjinal ini. Bahkan, tidak sedikit yang harus terluka hingga terancam nyawa hanya karena masalah 'orientasi seksual'.
Sebuah penelitian yang dilakukan Arus Pelangi pada Oktober 2015 hingga Februari 2016 di delapan provinsi di Indonesia, sebanyak 56 persen orang LGBT di Indonesia pernah mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Data lainnya diungkapkan oleh
Forum LGBT Indonesia pada November lalu. Forum tersebut mengungkapkan sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus kekerasan beragam bentuk terhadap komunitas LGBT.
Secara rinci, kekerasan tersebut 27 persen datang dari aparat negara, 27 persen oleh organisasi massa, 22 persen oleh media, 11 persen oleh individual, delapan persen oleh organisasi profesi, satu persen oleh kelompok tertentu dan sisanya datang dari keluarga sendiri.
Berbagai bentuk kekerasan mengancam komunitas LGBT.
Ino Shean, anggota Gerakan Keberagaman Seksualitas Indonesia (GKSI) mengatakan bahkan keluarga terdekat dapat menjadi 'predator' bagi orang LGBT.
Ia mengatakan, pada 2014 di Jakarta, terdapat seorang perempuan lesbian diperkosa oleh laki-laki dengan restu sang ibunda. Hal ini dilakukan sebagai upaya memaksa sang anak agar menjadi heteroseksual.
"Ketika LGBT alami kekerasan seksual, aparat kepolisian tidak pernah mengusut kasus tersebut sampai tuntas, tapi justru dikembalikan lagi kepada keluarga, padahal yang kami inginkan penegakan hukum," ujar Ino.
 Kelompok LGBT kerap menerima berbagai macam diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Lingkaran SetanPosisi komunitas LGBT di Indonesia seperti terombang-ambing. Masih segar dalam ingatan ketika Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, M Nasir, pada 2016 lalu, mengeluarkan pernyataan melarang keberadaan LGBT di dalam lingkungan kampus.
Pernyataan 'penolakan' tersebut ditanggapi sebagai gambaran bentuk penerimaan Indonesia yang masih rendah terhadap LGBT, seperti yang diungkapkan peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sri Purwatiningsih.
"Studi-studi yang pernah dilakukan PSKK UGM mencatat hal yang sama tentang LGBT dan akhirnya memunculkan homofobia," kata Sri. Homofobia, atau ketakutan akan homoseksual, ini yang kemudian muncul sebagai bentuk diskriminasi.
Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan waktu itu mengatakan orang LGBT juga berhak mendapatkan perlindungan negara.
 Tanggapan pemerintah mengenai kasus LGBT. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
"Siapapun dia, apapun pekerjaannya, dia (LGBT) kan WNI, jadi punya hak untuk dilindungi," ujar Luhut.
"Bahwa ada masalah perlu nanti pencerahan agama, pendekatan sosiolog, psikiater dan lain-lain, itu silakan saja, tapi saya masih di posisi tidak setuju kalau ada perbedaan pendapat langsung usir, bunuh, dan lain-lain, saya tidak setuju," katanya.
Namun janji perlindungan tampaknya dipahami berbeda oleh para wakil rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mengagendakan membuat Rancangan Undang-undang Anti LGBT.
RUU ini dianggap sebagai bentuk 'perlindungan' warga negara lain dari masalah orientasi seksual yang berbeda.
"Intinya bagaimana melindungi bangsa dari perilaku yang menyimpang," ujar Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Deding Ishak.
"Ini penting diadakan sehingga bisa memastikan ada payung hukum yang mengawal tentang kebutuhan dari bangsa ini agar lebih baik melakukan ajaran agama dan tidak menyimpang secara seksual yang sebetulnya bertentangan dengan bangsa dan negara," kata Deding. Aktivis LGBT Dede Oetomo dalam wawancara khusus dengan
CNNIndonesia.com mengatakan Indonesia masih sangat terbelakang dalam membahas masalah gender selain laki-laki dan perempuan, termasuk LGBT.
"Jadi masalahnya diputar-putar seperti lingkaran setan
gitu," kata Dede. "Menurut saya, secara umum pemerintah itu tidak mengerti."
Lebih lanjut, Dede menjelaskan ada dua permasalahan utama.
"Pertama, pemerintah tidak mengerti isu dan persoalannya, atau mereka pura-pura tidak tahu ada orang seperti LGBT. Kedua, pemerintah ragu-ragu untuk secara positif membela LGBT," terangnya.
Berencana untuk BahagiaTerlepas dari segala kerumitan masalah LGBT di Indonesia, Budi memilih untuk mendahulukan kebahagiaan diri sendiri, meski harus bersiap menanggung segala konsekuensi yang ada.
"Mungkin saya tetap tidak akan mengatakan kepada keluarga (setelah menikah di Belanda), karena itu susah sekali. Saya tidak masalah kalau saya tidak lagi dianggap sebagai anak, namun saya tidak ingin mereka menyalahkan diri mereka sendiri, atas apa yang terjadi pada saya," kata Budi.
Budi bertemu dengan calon suaminya saat ini, seorang warga negara Belanda, pada 2009 melalui
Facebook. Setelah komunikasi jarak jauh sebagai teman selama beberapa tahun, pada 2014 keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan lebih serius.
 Komunitas LGBT pernah mengadakan kampanye peringatan Hari Bebas Homphobia pada 2015 lalu untuk menekan angka diskriminasi pada kelompok tersebut. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Dan sejak 2015, Budi kerap ke Belanda untuk menemui sang kekasih dan kini serta mempersiapkan pernikahan yang rencananya akan dilangsungkan tahun ini di Negara Kincir Angin tersebut.
Budi, seperti manusia lainnya, hanya berharap mendapatkan pasangan dan cinta yang membuat dia merasa utuh. Terlepas dari salah-benar di mata orang lain, Budi dan kekasihnya hanya ingin bersama-sama menjalin hubungan yang lebih serius.
"Menjadi seorang gay sama saja seperti yang lain. Kalau ini salah, biarkan jadi urusan kami. Hanya, jangan hakimi kami. Kalau kami berbeda, biarkan lah selama kami tidak merugikan orang lain," tuturnya.
"Indonesia harus lebih banyak belajar lebih peduli apa itu LGBT," kata Budi. "Saya banyak teman
hetero dan mereka tidak masalah dengan orientasi saya karena mereka paham tentang ini."