Jakarta, CNN Indonesia -- Selain ada peringatan Hari Buku Sedunia yang jatuh setiap 23 April, Indonesia memiliki peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh setiap 17 Mei.
Peringatan ini berlangsung sejak 2002 yang digagas Menteri Pendidikan kala itu, Abdul Malik Fadjar. Tanggal ini dipilih berdasarkan hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980.
Peringatan hari buku kerap dikaitkan dengan minat baca, yang di Indonesia masih tergolong rendah. Dari data studi 'Most Littered Nation in the World' yang pernah dirilis Central Connecticut State University pada tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Posisi itu persis di bawah Thailand dan di atas Bostwana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Unesco juga pernah mengungkapkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, yang artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca.
"Rendahnya minat baca atau literasi di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan akses pada buku, banyak daerah tak memiliki perpustakaan dan toko buku, serta kebiasaan membaca yang tak dibentuk di bangku sekolah," ungkap Okky Madasari, penulis novel
Entrok, saat dihubungi di Jakarta, pada Rabu (17/5).
Padahal, kata dia, membaca membawa banyak manfaat. Di antaranya, membaca merupakan aktivitas politik paling sederhana yang bisa seseorang lakukan.
"Dengan membaca kita melawan kedangkalan pikiran. Dengan membaca kita menolak untuk sekadar hanyut pada pendapat kebanyakan orang. Dengan membaca kita berpikir kritis," ujarnya.
Peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award itu menambahkan, membaca karya-karya sastra Indonesia telah mengubah banyak hal dalam dirinya, terutama akan cara pandang dalam melihat sesuatu.
"Membaca karya-karya Pramoedya membangkitkan kesadaran saya bahwa sebuah buku, sebuah cerita, semestinya didedikasikan untuk menyuarakan persoalan ketidakadilan dalam masyarakat," ujarnya.
Sementara, buku-buku Umar Kayam mengajarinya untuk merefleksikan setiap hal kecil dalam kehidupan. "Buku-buku Mangunwijaya mengajari saya makna humanisme dan religiositas. Tentu banyak lagi karya lain yang juga memiliki sumbangan besar bagi perkembangan kesadaran dan pemikiran saya."
Minat baca Okky menyayangkan, rendahnya angka literasi atau minat baca masyarakat Indonesia membuat penerbit tak bisa memproduksi dan menjual banyak buku. Akibatnya harga buku mahal karena biaya produksi tinggi. Belum lagi soal pajak dan biaya lain-lain. Sebagai penulis yang menjadi bagian dari industri perbukuan, ia harus akui keberadaan buku bajakan jelas tak bisa dibenarkan.
"Buku bajakan merugikan penulis, merugikan penerbit, merugikan seluruh rantai yang terlibat dalam industri," katanya.
Namun, ia menegaskan semua itu harus ilhat lebih luas. "Kita harus melihat semua masalah perbukuan secara komprehensif. Buku bajakan hanya salah satu dampaknya saja, ada lingkaran yang saling terkait," tambah dia.
"Jadi, mengatasi buku bajakan juga harus dibarengi dengan upaya menyelesaikan probelm akarnya," kata dia.
(rah)