Surabaya, CNN Indonesia --
Spesialis jantung dan pembuluh darah Siloam Hospitals Surabaya, dr Samuel Sudanawidjaja SpJP, menerangkan bagaimana penyakit jantung koroner sering kali disebut sebagai silent killer disease, di mana penderita biasanya terlihat sehat dan masih beraktivitas normal. Mayoritas penderita tidak mempunyai gejala yang spesifik sehingga tidak merasakan gejala penyakitnya yang berbahaya.Namun, suatu saat bisa saja tiba-tiba mengalami serangan jantung akut ataupun kematian mendadak. Lebih fatal lagi, gejala awal sakit jantung dianggap sepele karena hanya dianggap masuk angin atau kelelahan.
Oleh karena itu, informasi untuk mengenali gejala serangan jantung sangat penting. Perlu juga pemahaman mengenai pentingnya masa dua jam awal serangan jantung atau yang disebut sebagai golden period.
Masa tersebut merupakan jendela waktu untuk memberikan pertolongan kepada penderita serangan jantung yang akan menentukan potensi kesembuhan dan perubahan kualitas hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Samuel mengatakan, indikasi serangan jantung koroner adalah seseorang mengalami rasa seperti tertekan benda berat di bagian dada, terasa sakit hingga ke ulu hati, dan napas pendek. Pada serangan yang lebih berat, penderita akan merasa mual, muntah, keringat dingin, hingga hilang kesadaran.
Saat serangan terjadi, pasien dalam waktu kurang dari dua jam setelah gejala awal harus sudah berada di rumah sakit dengan fasilitas khusus untuk pelayanan jantung.
“Menangani serangan jantung seperti berpacu dengan waktu, harus segera ditangani. Prinsipnya adalah time is muscle. Setiap detik yang terlewat berarti kerusakan otot jantung,” ujar Samuel.
“Mengabaikan setiap detik golden period sama saja dengan membuang harapan sehat kembali, bahkan bisa berakibat kematian,” lanjutnya.
Otot jantung yang tidak mendapat aliran darah selama 6 jam akan mengalami kerusakan secara permanen sehingga fungsi jantung akan menurun. Oleh karena itu, keterlambatan pertolongan akan mengakibatkan kerusakan otot yang makin luas atau kematian otot jantung parah. Keduanya bisa mengakibatkan kecacatan dan kematian.
Penanganan serangan jantung yang terlambat juga dapat menimbulkan dampak serius terhadap organ lain, misalnya paru-paru. Darah yang seharusnya dipompa ke seluruh tubuh pun menumpuk di paru-paru. Hal itu akan menyebabkan perembesan air ke dalam paru-paru dan menimbulkan sesak napas yang hebat, bahkan gagal napas.
Fakta lain yang cukup mengkhawatirkan mengenai penderita penyakit jantung koroner adalah meningkatnya jumlah penderita usia produktif.
“Dulu, pasien jantung koroner yang saya tangani berusia 50-60 tahun, sekarang mulai usia 40-an. Ironisnya, beberapa kali ada juga pasien yang baru berusia 30 tahun,” kata Samuel.
Kondisi tersebut ditengarai akibat lifestyle modern. Misalnya, mengonsumsi makanan cepat saji yang tidak sehat, minum-minuman beralkohol, dan merokok. Tingginya tuntutan pekerjaan yang memicu stres dan kurang berolahraga juga bisa menjadi faktor penyebab.
Akibatnya, usia penderita jantung koroner pun kian muda dan lebih banyak pria. Sebelum terlambat, pencegahan penyakit jantung koroner bisa dilakukan sedini mungkin.
Caranya dengan berhenti merokok, menjalani diet sehat, dan menjaga berat badan ideal. Selain itu melakukan olahraga teratur minimal 30 menit 3 kali seminggu, dan rutin memeriksakan kondisi kesehatan Anda.
Pemeriksaan dengan kateterisasi
Tindakan kateterisasi jantung kian akrab di telinga seiring dengan makin seringnya prosedur tersebut dilakukan untuk mendiagnosis, mengevaluasi, ataupun sebagai treatment gangguan jantung. Ditambah lagi, tingkat akurasi pemeriksaan dengan teknik minimal invasif (nonoperasi) untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner memiliki angka lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya.
Selain itu, tindakan pemasangan stent atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dan bedah bypass koroner (coronary artery bypass grafting–CABG) mutlak harus berdasarkan hasil pemeriksaan kateterisasi jantung. Kateterisasi jantung bisa juga dilakukan tanpa persiapan (emergency), seperti dalam kondisi serangan jantung.
Pasien tidak perlu cemas karena proses kateterisasi jantung sangat sederhana. Spesialis jantung dan pembuluh darah, dr Samuel Sudanawidjaja SpJP menerangkan, tindakan kateterisasi dilakukan di Cath-lab. Kateter atau selang berukuran kecil akan dimasukkan ke jantung melalui pembuluh darah di tangan atau kaki.
Melalui kateter, zat kontras disuntikkan sehingga pembuluh koroner bisa terlihat dan dibuat film dengan menggunakan sinar-X. Apabila ada penyempitan atau penyumbatan pembuluh koroner, akan tampak dalam film.
’’Sedangkan untuk terapi, tindakan kateterisasi bisa digunakan untuk memasukkan stent (cincin), balon, wire, atau bor di pembuluh darah yang tersumbat dalam jangka waktu sangat singkat. Pada masalah pengapuran, tim medis menggunakan sejenis bor yang disebut rotablator untuk mengikis kapur di pembuluh darah dulu,’’ jelas Samuel
Kateterisasi jantung bisa dilakukan dengan one day surgery. Bahkan, pada tahap pasca-tindakan, pasien diperbolehkan jalan, makan, serta minum. Kondisi berbeda diterapkan jika kateterisasi jantung dilakukan untuk PCI dengan pemasangan stent.
Pada prosedur itu, pasien akan dirawat di ICU selama satu malam untuk pemantauan lebih lanjut, baik itu tekanan darah, denyut jantung, maupun keluhan-keluhan lainnya. Lalu, 2 hari pasca-kateterisasi sebaiknya pasien menghindari aktivitas yang berat, mengejan, maupun mengangkat beban berat.
Demi memberikan pelayanan jantung yang berkualitas, Siloam Hospitals Surabaya memiliki Cath-lab dengan fasilitas penunjang, antara lain Optical Coherence Tomography (OCT) dan Fractional Flow Reserve (FFR). Di bidang kardiologi intervensi, OCT mampu memberikan sistem pencitraan beresolusi tinggi berbasis kateter.
Adanya fasilitas lengkap tersebut diharapkan mendorong masyarakat melakukan pemeriksaan rutin agar dapat mengurangi angka kematian karena serangan jantung.