Dilema dengan "bumbu"Bukan cuma Bali, konon isu ini juga menghantui industri pariwisata Manado, Sulawesi Utara. Turis yang didatangkan para mafia juga bukan hanya dari China saja.
Gubernur Bali I Wayan Koster memilih langkah prosedural bukan berdebat untuk mengatasi isu ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ada pelaku usaha wisata asal Tiongkok yang menjual paket wisata ke Bali dengan harga rendah, kami harap pemerintah Tiongkok ikut melakukan pengawasan dan menerapkan kontrol ketat," kata Gubernur Koster saat menerima kunjungan Wakil Gubernur Hainan Liu Pingzhi di Denpasar pada 19 Oktober 2018.
"Kami harapkan pelaku bisnis pariwisata China untuk mematuhi regulasi pariwisata di Bali sebagai tujuan wisata berkelas internasional," lanjutnya.
Perlunya standarisasiSorotan terhadap isu antara turis China versus industri pariwisata Indonesia juga mendapat tanggapan dari Indonesianis asal Guangdong University of Foreign Studies (GUFS), Prof Emeritus Cai Jincheng. Dia merupakan salah satu pendiri jurusan Bahasa Indonesia di GUFS.
"Jangan hanya nyinyir dalam menyikapi paket wisata murah dari China ke Indonesia. Harga paket boleh murah, tapi ingat wisatawan China bisa menghabiskan 15.000 RMB untuk belanja," katanya kepada LKB Antara Biro China.
Dengan asumsi 1 RMB sama dengan Rp2.200, maka dalam lima hari seorang wisatawan China bisa menghabiskan sedikitnya Rp33 juta.
"Coba hitung berapa duit orang China kalau dari Guangzhou (ibu kota Provinsi Guangdong) saja ada 9.000 wisatawan ke Indonesia dalam satu tahun," ujarnya.
Prof Cai menambahkan bahwa dengan harga yang sangat kompetitif itu, Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk memenangi persaingan mendatangkan turis China dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
"Singapura negara kecil. Thailand, wisatawan China masih trauma dengan kecelakaan kapal di Phuket. Momentum ini bisa dimanfaatkan Indonesia," ujarnya.
Selain menjual paket hemat yang perlu dibenahi secara kualitas itu, Prof Cai juga mengingatkan sistem keimigrasian di Indonesia harus terus dibenahi.
"Saya pernah antar wisatawan ke Medan sampai tertahan dua jam, padahal Indonesia sudah bebas visa untuk wisatawan dari China," ujarnya.
Demikian halnya dengan pelayanan. Menurut profesor yang kerap diundang sebagai pembicara di Indonesia itu menilai pelayanannya tempat makan di Indonesia juga masih kurang maksimal.
"Orang China suka makan ikan. Tapi kalau cara penyajiannya lama, mereka bisa kelaparan dan enggan balik lagi," katanya.
Terkait pelayanan imigrasi, restoran, dan sebagainya yang dinilai kurang berkualitas itu, Kepala Dinas Pariwisata Bali Anak Agung Yuniarta Putra berjanji akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk penyelesaian yang lebih komprehensif.
"Ini akan dipikirkan pemerintah pusat karena tidak hanya terjadi di Bali tetapi di Manado juga," katanya.
Selain itu, Pemprov Bali pun mengeluarkan surat dari Gubernur kepada Bupati/Wali Kota se-provinsi ini terkait kebijakan untuk menjaga citra Pariwisata Bali melalui penertiban kepada pengusaha jasa pariwisata yang tidak memiliki izin atau perusahaan legal tapi usaha yang dilakukannya menyimpang dari izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menanggapi paket wisata murah yang dirasa merugikan Bali, Kepala Ombudsman Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab, menilai turis dari manapun, termasuk asal China, tidak patut ditolak, namun perlu dicarikan solusi.
Untuk itu, ia menyarankan tiga standardisasi, yakni standardisasi pelaku wisata (agen/biro perjalanan); standardisasi satuan harga akomodasi dan konsumsi wisata (hotel, restoran, suvenir) sesuai level/kategori/kelas; dan standardisasi layanan pelaku budaya (sertifikasi/kualitas).
Namun, katanya, tidak berhenti pada standardisasi, melainkan standardisasi yang dibahas pemprov bersama dinas pariwisata itu hasilnya disampaikan pemprov ke Menteri Pariwisata, lalu Menteri Pariwisata membahas secara "G to G" dengan Menteri Pariwisata dari negara pemasok wisatawan.
"Kesepakatan standarisasi antar-negara itu pun perlu diawasi secara hukum dalam penerapan standarisasi di lapangan, baik oleh dinas pariwisata, dinas ketenagakerjaan, dinas perdagangan, hingga kepolisian pariwisata yang melakukan koordinasi lintas negara (interpol)," katanya.
Ia meyakini penerapan standarisasi yang sama-sama dilakukan, baik oleh negara tujuan wisatawan maupun negara pemasok wisatawan itu, disertai dengan pengawasan bakal meminimalkan pariwisata "pahe", sehingga citra Pulau Dewata akan tetap terjaga.
(ard)