-- Hari jelang berganti ketika saya menginjakkan kaki di Bandara Federico García Lorca Granada-Jaén, Granada,
. Jam menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat atau lebih lambat sekitar lima jam dari Jakarta.
Cuaca yang dingin disertai angin membuat saya bergegas masuk ke dalam bandara. Bandara ini berbeda dengan Bandara Internasional Barcelona El-Prat. Bandara yang terletak sekitar 15 km dari pusat Kota Granada ini merupakan bandara mayoritas penerbangan domestik.
Setelah mengambil bagasi, saya langsung menuju pintu keluar untuk mencari transportasi ke pusat kota Granada. Berdasarkan hasil pencarian, saya masih harus menempuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di pusat kota.
Ada dua alternatif transportasi yang tersedia yakni taksi dan bus. Saya akhirnya memilih bus karena pertimbangan ongkos yang cukup jauh perbedaannya.
Begitu sampai di depan bus, saya bertanya kepada kondektur mengenai tujuan akhir saya. Sayangnya, kondektur tersebut kurang paham dengan Bahasa Inggris.
Salah satu tantangan yang saya hadapi selama perjalanan di Spanyol adalah kendala bahasa. Tidak banyak orang paham bahasa Inggris, maka aplikasi penerjemah menjadi pegangan sehari-hari untuk berkomunikasi.
Untungnya, malam tersebut ada seorang perempuan Spanyol yang membantu saya menerjemahkan dan membantu saya mengangkat koper ke bagasi bus.
Suasana hangat ramah saya dapatkan selama satu pekan di Barcelona. Saya berasumsi ini menjadi pertanda baik bahwa perjalanan solo saya akan aman.
Saya akan menghabiskan satu hari di Granada sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Sebelumnya, saya tiba dari Barcelona untuk menghadiri undangan peliputan Mobile World Congress 2019.
Setelah 30 menit perjalanan naik bus dan dilanjutkan taksi sekitar 5 menit. Saya akhirnya tiba di Hotel Casablanca, Granada. Alih-alih berkeliling kota, saya memutuskan untuk beristirahat karena masih ada perjalanan esok hari.
Cuaca Granada di pagi hari tampaknya tak jauh berbeda dengan malam hari. Aplikasi penunjuk cuaca menampilkan cuaca Granada sekitar 11 derajat pada pukul 8.00 pagi waktu setempat.
Setelah selesai sarapan, sekitar pukul 08.30 saya memutuskan untuk berangkat menuju Alhambra yang menjadi tujuan utama selama berada di Granada.
Berdasarkan Google Maps, Alhambra berada sekitar 2,5 km dari tempat menginap dengan estimasi perjalanan menempuh waktu 1 jam dengan berjalan kaki. Saya rasa waktu tersebut cukup, karena saya telah membeli tiket
online masuk Alhambra pukul 10.30.
Kota Granada yang tidak terlalu besar memungkinkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di tempuh dengan berjalan kaki. Perjalanan menuju Alhambra tidak terlalu jauh, walaupun sebenarnya ada alternatif bus umum.
Saya memutuskan untuk berjalan kaki sambil berkeliling kota Granada. Berbeda dengan Barcelona yang padat dan ramai dengan gedung bertingkat. Granada relatif sepi walaupun menjadi tujuan para wisatawan.
Cuaca pun relatif lebih hangat, walaupun untuk orang Indonesia 11 derajat Celcius masih belum terbilang hangat.
Perjalanan menuju Alhambra banyak melalui jalan kecil yang menanjak.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/29/a4d562a0-4621-4d08-a68e-ef7099649c0b_169.jpeg?w=620) Perjalanan menuju Alhambra. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Nama Alhambra beberapa waktu itu menjadi ramai diperbicangkan. Pasalnya, Netflix merilis serial Korea pada 2018 dengan judul
Memories of the Alhambra. Dari judulnya, sudah bisa ditebak tempat syuting serial ini.
Alhambra sendiri merupakan sebuah komplek bekas Kerajaan Islam terakhir di Andalusia (Spanyol) sebelum diambil alih oleh Kerajaan Katolik.
Begitu tiba di pintu masuk, penjaga tiket memeriksa jam yang tertera dan memperbolehkan saya masuk. Harga tiket masuk Alhambra 14,5 euro (sekitar Rp236 ribu).
Saya menyarankan jika Anda hendak berkunjung ke Alhambra, lebih baik membeli tiket
online karena tiket masuk lokasi ini sering habis. Selain itu, Anda tak perlu mengantre jika sudah terlebih dahulu membeli.
Begitu memasuki komplek La Alhambra, saya tersirap dengan pemandangan indah yang disuguhkan sejak pintu masuk. Saya langsung mengambil peta untuk membantu mengarahkan tujuan.
Pasalnya, Alhambra merupakan satu komplek besar yang terdiri dari belasan taman, istana dan kastil.
Setelah melihat tiket dan peta, saya memutuskan akan mendatangi Generalife sebagai tujuan pertama. Keputusan yang pada akhirnya sempat saya sesali.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/29/5a4a50ce-b35f-4340-acf4-4cd9f0c916da_169.jpeg?w=620) Salah satu taman di Kompleks Generalife, Alhambra. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Dulunya, Generalife merupakan tempat peristirahatan keluarga kerajaan pada kisaran tahun 1300an. Komplek kecil Generalife terdiri dari puluhan taman dan air mancur. Dari satu sisi taman, saya bisa melihat penampakan kemegahan Istana Nasrid.
Saat itu bunga-bunga di taman Generalife baru mulai bermekaran. Salah satu area bahkan dipenuhi oleh pohon Jeruk yang sudah banyak berbuah.
Setelah hampir satu jam setengah berkeliling ke Generalife saya memutuskan untuk bergerak ke bangunan utama dari Granada, yakni Istana Nasrid atau orang Spanyol menyebutnya Palacios Nazaries.
Antrean kembali terlihat mengular ketika saya mendekat ke Istana Nasrid. Sayangnya, saya melakukan kesalahan sehingga tidak bisa masuk ke dalam istana tersebut.
Jam 10.30 yang tertulis di tiket masuk merupakan jam berkunjung untuk ke Palacios Nazaries. Sedangkan saya baru mendekat ke istana tersebut sekitar pukul 12.00.
Sejak awal, saya salah persepsi ketika membawa tiket masuk yang berbahasa Spanyol tersebut. Karena tertulis Generalife y Alhambra, maka saya kira harus mendatangi Generalife sesuai waktu yang tertera.
Ternyata, semua lokasi di Alhambra bebas untuk didatangi pukul berapapun. Kecuali Istana Nasrid yang harus didatangi persis seperti waktu yang tercetak di tiket.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/29/8ab1d9db-d2b6-4862-b8fc-66c580d413ca_169.jpeg?w=620) Pemandangan Granada dari Alcazaba. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Rasa kecewa luar biasa langsung muncul. Sebelum berkunjung ke sini, saya sudah banyak mencari tahu mengenai Istana ini. Maka ketika saya tidak bisa masuk karena kecerobohan saya sendiri, rasa sedih, menyesal dan kecewa luar biasa yang ada.
Akhirnya memutuskan untuk beristirahat di area Istana Nasrid sambil menentukan tujuan berikutnya. Saat saya melihat ke sekitar, ternyata banyak sekali turis asal Asia di Alhambra.
Sedikit curi dengar, ada beberapa rombongan dengan Bahasa Korea yang sedang sibuk berfoto. Mungkin film serial Alhambra tersebut telah menarik minat wisata Korea ke tempat ini.
Setelah beristirahat sejenak, saya melanjutkan perjalanan mengelilingi sisa dari Alhambra yang masih sangat luas dari mulai Alcazaba hingga Palace Charles V.
Jika diakumulasi saya menghabiskan hampir 5 jam untuk mengelilingi seluruh komplek Alhambra. Hari sudah mulai sore ketika saya memutuskan turun kembali ke pusat kota.
Saya menghabiskan sore sekaligus hari terakhir saya di Alhambra sambil menyesap kopi di Pusat Kota Granada. Jelang malam, saya bergegas kembali ke hotel untuk packing dan melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya.
Catatan perjalanan wisata masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Hari masih gelap ketika saya bersiap untuk
check-out dari hotel. Saat itu, jam menunjukkan pukul 05.30 pagi, namun cuaca masih sangat gelap seperti tengah malam.
Saya meminta kepada resepsionis untuk memanggilkan taksi dengan tujuan stasiun kereta Granada. Hanya selang kurang dari lima menit, taksi sudah siap membawa saya ke stasiun kereta.
Perjalanan dari hotel ke stasiun kereta hanya memakan waktu sekitar 5 menit. Saya membayar sekitar 8 euro untuk ongkos taksi dan bergegas masuk ke stasiun karena cuaca pagi tersebut sangat dingin.
Penunjuk suhu menunjukkan 6 derajat Celcius dan saya mulai bersin-bersin karena kedinginan. Sayangnya, begitu sampai depan stasiun, pintu stasiun masih terkunci. Ternyata, stasiun buka pada pukul 6.00 pagi. Sedangkan saat itu masih pukul 5.40 pagi. Akhirnya mau tidak mau, saya menunggu di depan stasiun sambil menggigil kedinginan.
Tiket kereta yang saya beli menuju Cordoba pun sebenarnya masih pukul 6.45 pagi. Namun, karena
excited dan antisipasi terlambat saya berangkat lebih cepat ke stasiun. Akhirnya sekitar pukul 06.00 saya bisa menunggu di dalam stasiun. Itu pun belum membuat saya tenang karena belum ada tanda-tanda kereta yang datang di peron.
Saya cuma bisa ‘celingak-celinguk’ mencari orang yang sekiranya bisa bahasa Inggris untuk saya tanya. Hingga pukul 6.30, di tengah hari yang masih gelap, masih belum ada tanda-tanda kereta akan datang.
Namun, saya melihat ada kerumunan orang justru antri mengarah ke luar stasiun dengan membawa tas. Setelah terbata-bata bertanya dengan bahasa Spanyol hasil dari Google Translate, ternyata bus tersebut merupakan kendaraan yang sudah saya beli tiketnya.
Waktu di Indonesia, saya sudah terlebih dahulu membeli tiket kereta api Granada - Cordoba seharga 35 euro atau setara dengan Rp583 ribu. Berdasarkan tiket kereta tersebut, saya harus melakukan satu kali transit sebelum tiba di Cordoba.
Saya pun membeli di situs kereta api, Renfe. Maka, ketika yang datang sebuah bus, saya agak bingung campur heran. Tapi, dengan cueknya saya segera berlari dengan koper saya ke bagasi bus.
Perjalanan dengan bus berjalan sekitar 1,5 jam dengan pemandangan gelap sambil sesekali terlihat padang rumput. Baru sekitar 7.30 matahari mulai muncul dan bus benar-benar berjalan di jalan tengah padang rumput.
Sejauh mata memandang hanya ada padang rumput yang menguning. Sekitar pukul 8.00 dan masih tetap berada di tengah padang rumput, bus berhenti di depan sebuah stasiun kereta api.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/29/7759d4bd-5ea3-49ae-ada7-c10588b7dec3_169.jpeg?w=620) Stasiun Antequerra - Santa Ana. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Hampir seluruh isi bus turun, maka saya pun ikut turun mengambil koper sambil jalan melihat kiri kanan. Saya bertanya dalam hati, apakah saya sudah sampai di Cordoba atau dimana. Baru setelah melewati pintu pemeriksaan barang, saya baru sadar saya berada di Antequerra - Santa Ana. Berdasarkan tiket, saya memang harus transit di sini sebelum menuju Cordoba.
Lokasi stasiun ini benar-benar di tengah padang rumput. Saya yang tidak bisa bahasa Spanyol pun agak kebingungan karena semua petunjuk dan pemberitahuan menggunakan bahasa Spanyol.
Bahkan para penjaganya pun tak ada yang bisa bahasa Inggris. Pagi itu, lumayan saya lalui dengan deg-degan. Saya tidak bisa melakukan pencarian di Internet karena tidak ada wi-fi dan paket internet di ponsel saya mengalami gangguan.
Perasaan agak lega akhirnya muncul ketika kereta yang akan membawa saya ke Cordoba tiba pukul 9.00 pagi.
Namun, tantangan perjalanan solo saya tak berhenti di situ.
Catatan perjalanan masih berlanjut ke halaman berikutnya... Begitu sampai di Cordoba, saya langsung disambut stasiun kereta yang sangat besar, berbeda dengan stasiun kereta Granada dan Antequerra - Santa Ana. Saat itu, jam menunjukkan pukul 09.40 waktu setempat.
Perasaan deg-degan dan harap-harap cemas yang saya alami dari pagi langsung hilang berganti lega. Saya benar-benar senyum lebar ketika saya keluar kereta sambil membawa koper.
“Akhirnya sampai juga di Cordoba!” teriak saya dalam hati.
Sebagai orang yang gemar berbincang, perjalanan wisata sendirian membuat saya seakan merasa gatal untuk berbicara. Ingin saya menyapa penduduk lokal, namun tampaknya mereka tak fasih berbahasa Inggris, sehingga saya pikir ajakan mengobrol nantinya bakal berujung kebingungan satu sama lain.
Saya mempercepat langkah kaki untuk mencari tempat penitipan barang atau
consigna. Pasalnya hari ini saya hanya akan melakukan perjalanan satu hari di Cordoba, sehingga saya perlu menitipkan koper dan barang bawaan lainnya.
Ternyata tak ada
consigna di dalam stasiun kereta Cordoba. Saya harus keluar menyeberang ke terminal bus. Di sana saya baru menemukan
consigna dengan sewa sekitar 2 euro (sekitar Rp16 ribu) per kotak.
Begitu sampai di ruangan loker, adrenaline saya kembali dipacu. Loker yang tersedia ternyata tak terlalu besar. Sedangkan saat itu, saya membawa koper yang sangat amat besar dengan berat sekitar 25 kg.
Akhirnya, pelan-pelan dengan bantuan sesama turis, koper saya bisa masuk loker. Tantangan berikutnya, mencari gerai Vodafone untuk memeriksa masalah paket data dalam ponsel.
Saya berdiri merapat di tembok sambil mengutak-atik aplikasi peta di ponsel. Sesekali saya mengangkat muka dan melihat ke kiri dan ke kanan untuk mencari arah yang tepat.
Tampaknya raut muka bingung saya terlihat oleh seorang pria muda. Ia menghampiri dan menyapa saya.
Awalnya saya merasa ketakutan, karena teringat banyaknya kasus kriminal terhadap turis di Spanyol. Namun bahasa tubuhnya ramah dan santai, sekaligus ia mengaku sebagai turis asal Prancis. Clemence namanya.
Akhir cerita, Clemence, yang juga sedang melakukan perjalanan singkat ke Cordoba dari Sevilla, membantu saya mencari gerai Vodafone.
Dalam perjalanan kami, ia menceritakan perihal liburannya di Sevilla. Dia bahkan berbagi tips untuk saya yang rencananya akan melanjutkan perjalanan ke Sevilla.
Setelah sekitar 10 menit berjalan, akhirnya saya menemukan Vodafone dan kami berpisah arah.
Setelah urusan ponsel selesai, saya langsung bergegas menuju The Mosque-Cathedral of Cordoba.
Berbeda dengan Granada, tiket masuk ke lokasi ini tidak bisa dibeli online sehingga saya harus bergegas sebelum antrean masuk semakin panjang.
Benar saja, ketika saya tiba, antrian untuk membeli tiket masuk sudah mengular. Tapi karena mezquita ini menjadi tujuan utama saya ke Cordoba, maka saya segera mengantre.
Setelah hampir 40 menit mengantri, akhirnya saya mendapatkan tiket masuk dengan harga 10 euro (sekitar Rp160 ribu). Suasana magis yang saya rasakan begitu masuk ke dalam lokasi ini.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/28/72b6dfbc-1542-4bfa-8bbe-4419f3cc9c4f_169.jpeg?w=620) Bagian dalam Mezquita Cordoba. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Saat zaman Kerajaan Islam di Cordoba, lokasi ini merupakan sebuah masjid. Baru saat Kerajaan Katolik mengambil alih, tempat ini diubah menjadi gereja katedral.
Namun, nuansa Islam dalam bangunan ini masih sangat kental. Baik ukiran hingga motif di jendela tak ada yang dihilangkan dari nuansa Islam.
Saya menghabiskan waktu sekitar 2 jam untuk berkeliling lokasi mezquita ini. Mengambil foto dari bangunan ini rasanya tak pernah cukup. Berkali-kali rasa takjub saya kembali muncul ketika berkeliling bangunan ini.
Di salah satu bagian mezquita terdapat bagian gereja yang masih digunakan untuk ibadah hingga saat ini. Sayang sekali saya kurang satu hari untuk bisa mengikuti ibadah di tempat magis ini.
Setelah dari mezquita, saya berjalan menuju Jembatan Roman. Jam sudah menunjukkan pukul 14.30 waktu setempat. Saya masih memiliki sekitar 4 jam terakhir di Cordoba sebelum melanjutkan perjalanan.
Akhirnya setelah berkeliling, saya menyempatkan masuk ke dalam Torre de la Calahorra atau Tower Calahorra. Letaknya di seberang the Mosque-Cathedral of Cordoba. Kedua lokasi ini terpisah oleh Roman Bridge.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/29/82944724-fad0-4760-8026-84a72ada4fcb_169.jpeg?w=620) Torre de Calahorra dari dekat. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Dahulu Tower Calahorra merupakan menara penjagaan, saat ini lokasi ini diubah menjadi museum yang menyimpan sejarah Kerajaan Islam di Spanyol Selatan atau Andalusia.
Biaya masuk museum ini sekitar 8,5 euro (sekitar Rp137 ribu). Bak sebuah menara, lokasi museum ini tak begitu besar, namun tinggi. Pengunjung dapat naik ke puncak menara dan melihat pemandangan pejalan kaki di Roman Bridge dari atas.
Pemandangan dari atas menara sangat cantik. Walaupun naik tangga ke atas menara cukup terjal, tetapi semua terbayar lunas dengan pemandangan sebagian kota yang terlihat dari atas menara.
Pemandangan sore tersebut menutup perjalanan saya di Cordoba. Saya segera mengambil koper ke
consigna dan kembali ke stasiun kereta untuk meneruskan perjalanan ke kota berikutnya.
Catatan perjalanan wisata masih berlanjut ke halaman berikutnya... Setelah melalui perjalanan sekitar 40 menit, akhirnya saya tiba di Stasiun Santa Justa Sevilla. Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Saya langsung bergegas mencari taksi dan menuju hotel tempat saya menginap.
Dengan ransel dan koper seberat 25 kg yang saya bawa, saya memutuskan untuk naik taksi menuju hotel tempat menginap.
Begitu tiba di Hotel Derby Sevilla, saya memutuskan istirahat sejenak. Berdasarkan aplikasi pengukur langkah kaki, hari itu saya sudah 'mengajak' kaki berkeliling kota dari Granada, Cordoba hingga Sevilla sekitar 13 km.
Pantas saja, walau masih memiliki semangat berkeliling, rasa lelah badan tak bisa disembunyikan. Apalagi masih ada hari esok untuk berkeliling Sevilla.
Setelah segar beristirahat, pagi hari saya langsung bergegas menuju tujuan pertama di Sevilla yakni Real Alcazar. Google Maps menunjukkan jarak dari hotel menuju Alcazar hanya berjarak 2,2 km. Akhirnya saya memutuskan berjalan dan mempercayakan nasib saya pada penunjuk jalan di Google Maps.
Setelah berjalan sekitar 30 menit, akhirnya saya tiba di lokasi tujuan. Dari situs yang saya baca, salah satu bekas istana jaman Kerajaan Islam ini selalu dipenuhi turis pada hari apapun.
Benar saja, ketika saya tiba, para turis wisatawan sudah berbaris mengular hingga ke sisi lain istana. Untungnya, saya sudah membeli tiket Alcazar melalui situs yang teman sarankan. Harga tiket masuk Alcazar 12 Euro (sekitar 195 ribu).
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/28/ead755d7-cb84-4ab5-9ce6-5b20c7234bef_169.jpeg?w=620) Salah satu sudut Real Alcazar.(CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Saya sudah membaca satu per satu aturan masuk Alcazar agar kejadian Istana Nasrid di Alhambra tak kembali terulang. Berbeda dengan Alhambra dan Mezquita Catedral Cordoba, Alcazar merupakan satu kompleks istana yang terdiri dari banyak bangunan. Di bagian belakang, ada satu taman yang sangat luas.
Alcazar pernah menjadi tempat syuting serial
Game of Thrones yakni Dorne. Istana ini benar-benar membuat saya tak berhenti berdecak kagum. Semua bagian hingga air mancur di taman memiliki khas arsitektur Moor.
Bangunan utama Alcazar memiliki taman dengan kolam air bak Istana Nasrid. Di istana tersebut, rasa sedih dan penyesalan saya tak masuk Istana Nasrid terbayarkan. Setelah menghabiskan hampir setengah hari di Alcazar, saya memutuskan untuk istirahat sejenak di taman sekitar Alcazar.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/28/96acc955-bba2-4db7-abca-e9d2e6e04d22_169.jpeg?w=620) Pemandangan dari atas Giralda. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Sejak awal tujuan saya di Sevilla hanya Alcazar. Namun saya tidak bisa mendatangi pusat perbelanjaan, karena hari itu bertepatan dengan hari Minggu, hari liburnya pertokoan di Spanyol. Sama seperti yang saya alami di Barcelona, pertokoan di Sevilla pun tutup di hari Minggu, meski kafe kecil dan toko souvenir tetap buka.
Hari Minggu disebut sebagai waktu beristirahat, sehingga masyarakat lebih memilih berada di rumah bersama keluarga atau teman.
Setelah selesai di Alcazar, saya memutuskan perjalanan menuju Menara Giralda. Menara ini berlokasi di sekitar Real Alcazar dan berada di kompleks Katedral Sevilla. Biaya masuk menara ini sekitar 4 Euro (sekitar Rp65 ribu). Menara setinggi 35 lantai ini akan memberikan pemandangan kota Sevilla dari empat arah mata angin.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/28/0845f39e-4b64-4cfc-95e8-a787b34d4329_169.jpeg?w=620) Art Street di sudut kota Sevilla. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Dari Menara Giralda, saya memutuskan untuk berjalan ke Plaza de Espana, alun-alun kota Sevilla. Berbeda dengan Alcazar dan Giralda yang berdekatan, untuk menuju Plaza de Espana saya harus menempuh sekitar 2,5 km.
Saya kembali memutuskan untuk berjalan kaki dengan santai. Jam menunjukkan pukul 17.00 waktu setempat, saya berniat menghabiskan sore saya di Plaza de Espana sebelum kembali ke hotel.
Di beberapa sisi jalan Sevilla, saya menemukan beberapa atraksi seni yang ditampilkan warga lokal. Dari mulai pantomim hingga melukis di jalan menggunakan kapur. Hiburan sederhana yang menjadi daya tarik Sevilla dan memikat para wisatawan.
Setelah berjalan sekitar 40 menit, saya tiba di Plaza de Espana. Berbeda dengan alun-alun yang saya lihat di Indonesia, Plaza de Espana memiliki bangunan klasik berbentuk setengah lingkaran. Di tengahnya terdapat sungai yang cukup besar lengkap dengan perahu kecil bak di Venice.
![Anjangsana Jejak Islam di Selatan Spanyol [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/28/5929e04b-a183-4a20-b07d-c7d728e3b7dd_169.jpeg?w=620) Tampilan depan dari Plaza de Espana. (CNN Indonesia/Agnes Savithri) |
Plaza de Espana saat ini digunakan untuk gedung pemerintahan. Layaknya alun-alun, tempat ini dipenuhi oleh pengunjung yang mayoritas masyarakat lokal. Apalagi hari itu seluruh tempat belanja libur.
Sesekali terdengar suara musik yang mengiringi tarian Flamenco, tarian yang terkenal di Sevilla. Desir angin dan gemericik air mancur di Plaza de Espana menutup perjalanan solo perdana saya di Andalusia.
Keindahan yang tak lekang waktu. Peninggalan bangunan yang megah dan magis. Perasaan aman dan nyaman yang hadir sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Granada. Andalusia akan terus melekat dalam benak dan hati. Terima kasih, Andalusia!