Jakarta, CNN Indonesia -- Suasana Thamrin City, salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, masih terbilang sepi. Tak ada sahut menyahut pedagang yang mengajak pengunjung mampir sejenak. Di tengah-tengah kesepian itu, berhelai-helai
batik Betawi terpajang 'lesu' di salah satu sudut.
Keberadaan batik Betawi barangkali bisa jadi jawaban kegalauan pelancong saat berkunjung ke Jakarta. Jika ditagih oleh-oleh, seharusnya pelancong bisa langsung saja sodorkan batik Betawi.
Hanya saja, perburuan batik Betawi kali ini cukup pelik. Dari sekian yang dijumpai
CNNIndonesia.com pada medio pekan lalu, hanya ada dua lapak pedagang yang menjajakan batik Betawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tengok saja Keluarga Batik Betawi, salah satu lapak yang kenampakannya cukup mencolok. Lapak ini menyediakan batik tulis, cap, serta batik kombinasi cap dan tulis.
Ragam motif yang tersedia kebanyakan diambil dari sederet ikon DKI Jakarta. Contohnya saja tape uli, ondel-ondel, si Pitung, Kali Ciliwung, Pasar Marunda, dan Pelabuhan Tanjung Priok. Harganya merentang antara Rp150 ribu hingga Rp230 ribu.
Atau, Anda juga bisa tengok lapak Batik Jayakarta milik pasangan suami istri Imam dan Yuliani di sudut lainnya. Lapak ini menawarkan harga yang lebih beragam antara Rp70 ribu hingga Rp350 ribu untuk beragam jenis batik.
Imam dan Yuliani tampak sibuk melayani pembeli yang memesan busana untuk seragam sebuah lembaga kedinasan. Tumpukan kemeja hijau toska dan tunik berwarna kuning cerah siap diangkut. Motif ondel-ondel menghiasi kain dobby.
Maklum, Jakarta tengah menyambut hari ulang tahunnya ke-492 yang jatuh pada Sabtu (22/6). Momen HUT DKI Jakarta umumnya membuat lapak batik Betawi kian ramai.
"Kalau mau ulang tahun Jakarta, jadi ramai. Omzet mendekati dua kali lipat," kata salah satu pegawai toko Keluarga Batik Betawi, Niko, saat ditemui di Thamrin City, Jakarta, Rabu (19/6). Umumnya, pembeli adalah lembaga-lembaga kedinasan yang memesan seragam khusus untuk memperingati HUT DKI Jakarta. Sementara omzet harian, diakui Niko, tak menentu.
 Seorang perajin mencetak kain batik khas Betawi menggunakan malam atau lilin yang dipanaskan di kawasan Terogong, Cilandak, Jakarta. (ANTARA FOTO/Syailendra Hafiz Wiratama) |
Jika sebelumnya mayoritas pesanan berasal dari lembaga kedinasan untuk seragam, belakangan pemesan batik Betawi mulai beragam. "Belakangan ini [ada pesanan] buat pesta kawinan, sama kedinasan Bogor juga bahkan mulai pakai," aku Yuliani.
Batik Betawi telah lama vakum. Namun, dalam waktu beberapa tahun ke belakang, batik khas Ibu Kota itu pelan-pelan bangkit.
Menilik potret litografi, masyarakat Betawi diprediksi telah mengenal batik sejak sekitar abad 14-15. "Saat itu, kain-kain ini tak disebut kain batik, tapi kain bermotif," ujar budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (19/6).
Kain batik naik daun saat pasar-pasar besar di Jakarta mulai dibuka seperti Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Pasar-pasar ini kemudian menjadi sentra penjualan kain batik dari luar Jakarta seperti daerah pesisir Pulau Jawa.
Munculnya batik Betawi tak lepas dari invasi kain-kain batik pesisir Pulau Jawa. Kemunculan ini bermula dari ketertarikan masyarakat Betawi terhadap motif batik pesisir Jawa. "Kok, motifnya cocok betul dengan makna kearifan lokal masyarakat Betawi," kata Yahya.
Motif pucuk rebung menjadi
signature dari batik Betawi. Pucuk rebung merupakan metamorfosa dari motif klasik cagak yang hadir jauh sebelumnya. Kosarupa berbentuk segitiga yang menyerupai gunung menjadi simbol keseimbangan dalam kehidupan. Bahwa, ada sinergi antara manusia, alam, dan sang maha pencipta.
Kegilaan masyarakat Betawi pada batik yang naik daun kala itu membuat sejumlah juragan meminta pengrajin batik pesisir untuk membantu proses membatik di tanah kelahirannya. Akibatnya, ilmu pengrajin batik pesisir kemudian menular pada masyarakat Betawi.
"Batik Betawi memang hasil comot punya orang [batik pesisir Jawa]," kata Yahya. Masyarakat Betawi mengadopsi batik pesisir Jawa, mulai dari motif hingga warna-warna mencolok yang dihadirkan. Maklum, karakter masyarakat Betawi, kata dia, kerap menyukai nada-nada warna yang menyala.
Di luar itu, ada pula motif yang dibikin oleh masyarakat Betawi asli seperti bambu kuning, galur Ciliwung, pohon gadung, dan masih banyak lagi. "Tapi yang murni seperti ini sulit dicari," kata Yahya.
Motif yang dikenal saat ini seperti ondel-ondel, si Pitung, bajaj, dan ikon-ikon Jakarta lainnya adalah motif kreasi baru.
[Gambas:Video CNN]
Masyarakat
Betawi telah lama mengenal budaya
membatik. Namun, pamor batik Betawi masih kalah populer jika dibandingkan dengan rekan-rekannya di Solo, Cirebon, Pekalongan, atau Yogyakarta. Batik Betawi seolah tenggelam dan tak begitu dikenal masyarakat luas.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya sayup-sayup eksistensi batik Betawi mulai terdengar meski hanya di kalangan terbatas.
Gaung batik Betawi yang tak seberapa ini bisa dijelaskan dengan merunut sejarah DKI Jakarta. Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara, pernah mengalami jatuh bangun hingga diuji oleh beragam peristiwa besar.
"Menurut saya, proses sejarah tak berpihak pada batik Betawi. Betawi, kan, ada di Ibu Kota. Nah, proses sejarah memengaruhi sosial dan budaya masyarakat Betawi," jelas Yahya.
Gejolak Agresi Militer Belanda masih menyala pasca-kemerdekaan Indonesia. Agresi Militer membuat sebagian wilayah Jakarta dikuasai Netherlands Indies Civil Administration (NICA), termasuk di antaranya kawasan Senen dan Tanah Abang. Praktis, produksi batik yang sempat menyala pun lumpuh.
Tenggelamnya batik Betawi, lanjut Yahya, dipengaruhi pula oleh peristiwa G30S. Peristiwa ini seolah mengambil kehidupan masyarakat lantaran kecurigaan adanya infiltrasi PKI.
Selain itu, pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno awal 1960-an juga turut berkontribusi pada tenggelamnya batik Betawi. Pembangunan, kata Yahya, mengambil sedikit lahan sentra batik Betawi yang pernah eksis.
"Itu,
kan, ada kampung saya, ada sentra batiknya. Ya, masyarakat
ngikutin dinamika sejarah saja," kata Yahya.
Di kemudian hari, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) menyadari perlunya membangkitkan batik Betawi. Aneka kegiatan dilakukan, termasuk pemilihan Abang None Jakarta.
Upaya membangkitkan batik melalui pemilihan Abang None Jakarta, kata Yahya, sempat menemui kesulitan akibat minimnya persediaan batik Betawi.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta, Fery Farhati menampik minimnya gaung batik Betawi.
"Sebetulnya batik Betawi bukan enggak ada gaungnya. Sebenarnya ada. Mungkin orang belum banyak lihat langsung," kata Fery saat ditemui di Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta, Kamis (20/6). Batik betawi, lanjutnya, hanya belum mendapat perhatian masyarakat.
 Proses metode cap dalam pembuatan batik Betawi. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Dekranasda, kata Fery, selalu menekankan agar instansi pemerintahan memanfaatkan apa pun yang berasal dari Jakarta, termasuk salah satunya batik Betawi.
Setelah ditempa dengan aneka peristiwa, batik Betawi tampaknya perlu lebih berjuang untuk mencapai popularitasnya. Dalam perjalanannya untuk merangkak naik, tak sedikit kendala yang dihadapi.
Saat ini, misalnya, pengrajin batik Betawi tengah menghadapi dilema. Siti Laela, pengrajin di Batik Betawi Terogong mengeluhkan beleid peraturan daerah yang tidak memperbolehkan industri untuk menggunakan warna sintetis.
"Saya sebagai pengrajin, kalau pakai pewarna alam di satu sisi, ya,
go green, tapi di sisi lain pewarna alam itu mahal," kata Siti saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (20/6).
Hal yang sama juga dikeluhkan oleh R. Emma Damayanti, pengrajin batik di Rumah Betawi. Dia bahkan harus memboyong desain batiknya ke Bantul, Yogyakarta, untuk diproses.
Segala daya upaya diharapkan membuat denyut kehidupan batik Betawi terus hidup. Meski tantangan harus dihadapi, tapi Yahya mengatakan, setidaknya batik Betawi telah memiliki modal yang kuat dari berbagai sisi.
Eksistensi batik Betawi telah diakui dan masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Keberadaan batik Betawi sebagai identitas masyarakat juga termaktub dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Setelah modal-modal itu didapat, tinggal tugas masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kecintaan terhadap batik Betawi.
"Perlu usaha lebih agar masyarakat makin mengenal dan tumbuh keinginan untuk mengenakan batik Betawi," pungkas Yahya.
[Gambas:Video CNN]