Jakarta, CNN Indonesia -- Jarum jam terus berdetak. Tak terasa waktu sudah berjalan lebih dari 60 menit. Tapi, si
minuman berboba yang bikin penasaran tak kunjung tiba di hadapan Arvin Vinsensius.
Setelah hampir dua jam menunggu, nomor antrean milik Arvin pun dipanggil. Angka '40' tertera dalam secarik kertas antrean. Tak tunggu waktu lama, segelas
bubble tea pun di tangan. Segar seketika.
"Padahal, waktu itu datangnya [ke mal] masih pagi," ujar
food influencer satu ini kepada
CNNIndonesia.com. Arvin datang pukul 10.20 WIB untuk mencoba minuman berboba Xing Fu Tang di salah satu mal ibu kota. Waktu yang terbilang '
nyubuh' untuk bertandang ke mal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mau tak mau, menunggu jadi satu hal yang harus dilakoni Arvin. Maklum, minuman dingin dengan
topping si kenyal bola tapioka itu tengah naik daun. Minuman itu dianggap praktis untuk dikonsumsi. Jalan-jalan di mal dengan
bubble tea di tangan jadi pilihan ciamik banyak orang masa kini.
Sensasi rasa kenyal boba dianggap sebagai salah satu alasan yang bikin banyak orang kepincut. "Kayak lebih puas, ada yang dikunyah [dulu]. Enggak cepat habis," kata pemilik akun Instagram @BuncitFoodies itu.
[Gambas:Instagram]
Minuman berboba diyakini lahir di Taiwan pada tahun 1980-an. Ia lahir dari tangan seorang pemilik toko teh di Kota Taichung, Liu Han Chien, yang bereksperimen dengan menu teh susu konvensional. Boba jadi salah satu yang hadir mewarnai eksperimennya.
Boba sendiri merupakan penganan yang terbuat dari tepung tapioka. Bentuknya bulat kecil serupa kelereng. Teksturnya yang kenyal menggoda banyak orang. Amerika Selatan disinyalir sebagai tempat pertama kalinya tapioka digunakan.
Di Taiwan,
bubble tea layaknya es cendol yang bisa dinikmati sambil dibawa ke mana-mana. Sejak tahun 1990-an,
bubble tea berkelana ke Amerika Serikat (AS), menyusul para imigran Taiwan yang berdatangan ke Negeri Uwak Sam. Eksistensi minuman berboba pun terus melesat ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia, yang ditengarai muncul sejak dua dekade silam.
Jika Anda besar di awal 2000-an, tentu Anda tahu sebuah
brand minuman bernama Quickly. Berdiri di Taiwan sejak tahun 1996, Quickly terus merambah pasarnya ke berbagai negara Asia. Pada tahun 2001, gerai pertama Quickly Indonesia dibuka di Plaza Indonesia, Jakarta.
Dengan standar pembuatan
bubble tea yang orisinal, sebanyak 80 persen bahan diimpor dari Taiwan. Konsistensi rasa adalah satu hal yang membuat Quickly terus bertahan.
 Ilustrasi. Xing Fu Tang, salah satu gerai minuman berboba asal Taiwan yang membuka cabangnya di Indonesia. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Mulanya adalah rasa terpukau pada gerai Quickly-yang kebetulan-tengah
ngetren di Singapura. Antrean konsumen yang mengular di Singapura membuat para pendiri berpikir untuk membuka gerai yang sama di Indonesia. Meski gerai yang dimiliki hingga saat ini tak terlalu banyak, tetap saja Quickly menjadi salah satu pionir
bubble tea ala Taiwan di Indonesia.
Taro Milk Tea menjadi cita rasa legendaris yang dihadirkan Quickly. "Kalau tanya '
boba lovers', taro [punya] Quickly
still the best," ujar Direktur Quickly Indonesia, Nini Faridz kepada
CNNIndonesia.com. Perpaduan rasa talas ungu (taro) dengan teh susu dingin serta kenyalnya boba membuat para pelanggan setia terus berdatangan.
Apa yang dialami Xing Fu Tang dan sederet gerai boba masa kini lainnya juga dirasakan oleh Quickly pada dua dekade lalu. Tak berbeda, antrean mengular jadi hal biasa pada masa awal Quickly berdiri. "[Quickly]
diantrein panjang banget. Meledak!," kata Nini. Apalagi saat itu, lanjut Nini,
brand luar yang hadir di Indonesia jumlahnya masih terbilang sedikit, bahkan nyaris tak ada.
Antrean yang mengular saat Quickly hadir menjadi bukti bahwa antusiasme masyarakat terhadap minuman satu ini tak berubah. Sama saja, dulu dan sekarang.
Dalam rentang waktu dua dekade itu, beragam
brand luar--dengan produk yang sama--datang ke Indonesia. Nama-nama seperti Chatime, Tiger Sugar, KOI, Ban Ban, dan masih banyak lagi menjadi incaran banyak orang. Antrean?
Ah, biasa.
Boba dan minumannya tak cuma menjadi penganan khas asal Taiwan, tapi juga Nusantara. Di Indonesia, sagu mutiara—atau biasa juga dikenal sebagai pacar cina—hadir dengan karakter yang sama seperti boba. Bulat kecil dengan tekstur yang kenyal.
Di balik hiruk pikuk minuman asli Taiwan itu, segelintir muda-mudi Indonesia muncul memperkenalkan
bubble drink ala Indonesia. Dengan semangat nasionalis, Goola menghadirkan ragam minuman tradisional dengan
topping ‘boba’ Nusantara.
“Kami ingin membangkitkan minuman tradisional Indonesia,” ujar CEO Goola, Kevin Susanto,
partner putra Presiden RI Joko Widodo, Gibran Rakabuming, kepada
CNNIndonesia.com.
Konsep yang dihadirkan Goola bisa dibilang sama dengan gerai-gerai lainnya. Perbedaan hanya terletak pada fokus Goola terhadap minuman tradisional, bukan
bubble tea ala Taiwan. Sebagai boba, kata Kevin, Goola memiliki sagu mutiara sebagaimana yang muncul dalam menu Es Goola Aren.
Inovasi Boba tak berhenti pada produk minuman. Tak tanggung-tanggung, boba juga hadir pada sederet jenis penganan seperti kue, roti, hingga mi goreng.
Food influencer, Synthia Tjipto mengatakan, ‘latah’ ini muncul karena orang Indonesia yang cepat menangkap tren. “Karena
hype banget, jadi enggak berhenti di minuman
aja,” katanya saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
 Ilustrasi. Beberapa gerai kuliner bahkan mencoba menyuntikkan boba ke dalam makanan seperti mi goreng. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Sebagai tren, boba terbilang unik. Dia muncul dan tenggelam, namun bertahan dalam waktu yang lama. “Biasanya,
kan, [tren] kuliner itu sekali,” ujar pengamat kuliner Arie Parikesit kepada
CNNIndonesia.com.
Banyak tren kuliner yang muncul, tapi tak banyak yang bertahan lama seperti boba. Menurut pengamatan Arie, satu dekade adalah waktu paling lama bagi sebuah tren kuliner untuk bertahan.
Tak mudah bagi satu jenis kuliner untuk menjadi sebuah tren yang bertahan lama. Inovasi jadi kunci. Cita rasa dan konsep pemasaran jadi dua hal yang patut diperhatikan.
Kuliner boba memiliki trik tersendiri untuk ‘mencaplok’ konsumen. Salah satunya adalah gaya hidup milenial yang menjadi sasaran medium pemasaran para pebisnis boba saat ini. Hal ini bisa dilihat dari tampilan segelas
bubble tea yang kian
instagramable. “Karena [tampilan itu] penting bagi yang suka
posting di Instagram atau YouTube sebagai konten,” kata Arie.
Selayaknya tren lain, media sosial mengambil peran dalam mempopulerkan boba saat ini. “Ini mungkin enggak ditemui 10-20 tahun lalu,” katanya.
Urusan cita rasa juga tak dilupakan para peracik
bubble tea. Ada cita rasa baru yang dihadirkan setiap gerai. Cita rasa itu akan terus mengikuti tren yang berkembang dengan teh susu sebagai fondasinya.
Belakangan adalah paduan
bubble tea dengan gula aren sebagai pemanis alternatif. Sontak, sejumlah gerai pun beramai-ramai menghadirkan seri khusus
brown sugar yang langsung digilai kaum milenial.
Belum lagi variasi boba yang lebih baru. Jika dulu boba hanya menjual sensasi kenyalnya, kini
popping boba mulai mencuri perhatian. Boba jenis satu ini memberikan sensasi meletup-letup di dalam mulut.
Bikin Happy Selayaknya manusia, kuliner pun hadir lengkap dengan karakternya masing-masing.
Bubble tea kerap diasosiasikan dengan nuansa gembira dan ceria.
“Minuman ini [
bubble tea],
tuh, seru. Orang-orangnya seru, gerainya warna-warni.
Fun, happy,” kata Arie. Hal ini membuat
bubble tea diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan. Karakter yang dimiliki boba jelas berbeda dengan kopi yang terkesan serius.
 Ilustrasi. Bubble tea punya karakter khas yang menimbulkan perasaan gembira. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Dengan karakter sedemikian rupa, tak heran jika konsumen
bubble tea didominasi oleh remaja hingga dewasa muda.
“Boba,
tuh, pengin yang
cheer out your day,
gitu,” kata Arie.
Arie memprediksi boba akan terus menjadi tren yang digilai banyak orang dalam jangka waktu yang lebih lama. Boba, baginya, bukan sebuah tren yang sifatnya sementara. Boba, mungkin saja, tak akan pernah ‘mati’.