Diusulkan sejak 2017, hingga kini nasib RUU PKS masih terombang-ambing di antara pro dan kontra. Banyak pihak justru menuduh RUU PKS sebagai bentuk feminisme yang ibarat racun di tengah masyarakat.
“Suara semangat positif pembentukan RUU PKS justru malah berubah menjadi suara-suara negatif,” kata Mariana. Saat suara negatif-negatif itu muncul, pemerintah, lanjut dia, sama sekali tak merespons. “Ya, abai saja gitu.”
Kendati tak bisa sepenuhnya menjadi ‘obat’ untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap perempuan, tapi setidaknya RUU PKS dapat memastikan dan menjamin pemulihan serta pemenuhan hak korban. “Kami butuh itu,” kata Tunggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lima tahun berjalan, negara masih tak optimal merespons maraknya kekerasan seksual. Akibatnya, banyak perempuan korban yang tidak terlindungi. Kondisi itu mau tak mau menurunkan kualitas hidup perempuan korban.
Padahal, Jokowi sendiri telah beberapa kali meneriakkan ‘Indonesia Darurat Kekerasan’. Teriakan itu kentara terdengar saat pembahasan mengenai RUU PKS tengah ramai diperbincangkan dan menarik perhatian banyak pihak.
Sejak awal kepemimpinannya, Jokowi-JK mengeluarkan sebuah kontrak politik bernama Nawa Cita. Meski tak secara eksplisit, tapi isu perlindungan perempuan sekelebat masuk di antaranya.
Dalam sub-agenda prioritas 8 dari agenda prioritas keempat, misalnya. Perlindungan anak, perempuan, dan kelompok marjinal menjadi salah satu yang menjadi perhatian Jokowi-JK.
Faktanya, hingga saat ini, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA), nyaris tak ada kebijakan strategis yang dicapai.
“Mungkin ada peningkatan. Tapi, selama lima tahun, beliau harusnya bisa melakukan banyak hal,” ujar Tunggal.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terungkap belakangan, kata Tunggal, bahkan tak direspons. “Mereka [Kementerian PPA] bahkan tak membuat aktivitas berarti. Padahal, daya jangkau mereka sangat luas,” kata dia.
Harapan KosongDi masa-masa awal pemerintahan Jokowi-JK, secercah harapan akan kebijakan berbasis gender itu muncul. Jokowi memperlihatkan komitmennya untuk memperbaiki sistem keadilan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
“Ada harapan besar bagi kami di awal,” kata Mariana.
Jokowi, kata Mariana, meminta Komnas Perempuan untuk memimpin proses RUU PKS pada 2017. “Kami menunggu,” katanya.
Namun, harapan itu hilang saat Jokowi tiba-tiba saja mengubah arah perhatiannya menjadi soal usia perkawinan anak.
“Enggak salah. Boleh, kok. Tapi masalahnya RUU PKS kemudian menghilang,” kata Mariana. Seiring berjalannya baru, muncul lagi kabar-kabar lain yang semakin menyudutkan perempuan.
Ditambah lagi, tak adanya usaha para pemangku kebijakan untuk membangun perspektif gender. Padahal, kata Mariana, seyogianya Jokowi bisa meminta bantuan para pakar untuk membangun perspektif gender, khususnya untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kebijakan berbasis gender.
“Kalau perspektif itu sudah terbangun, kita enggak perlu berisik saat kasus seperti Baiq Nuril muncuk ke permukaan. Harusnya pemerintah itu enggak perlu dikasih tahu lagi,” jelas Mariana.
Indonesia sendiri telah ikut meratifikasi The Convention of the Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) sejak 1984 silam. Artinya, Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk memajukan dunia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan.
 Ilustrasi. Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk memajukan dunia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Namun, selama lima tahun, Indonesia tak membuat laporan pelaksanaan pasal-pasal yang tercantum dalam CEDAW. Dalam hal ini, Mariana tak menyalahkan Kementerian PPPA.
“Memang, sejak kementerian ini ditambah dengan mengurusi perlindungan anak [sebelumnya hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan], jadi enggak ada laporan,” jelas Mariana.
Sebagaimana diketahui, CEDAW berfokus pada penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sementara urusan perlindungan anak tak termasuk di dalamnya.
Hal ini pula yang mengusik para pegiat hak-hak perempuan. Penambahan tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan perlindungan anak yang ditetapkan sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai mengganggu upaya penekanan angka kekerasan seksual.
“Kita sudah bilang [ke Jokowi], tolong anak jangan disatukan dengan perempuan, karena dia [Kementerian Pemberdayaan Perempuan] adalah mandat konvensi CEDAW di depan PBB. Tapi ditolak,” ujar Mariana.
Dari sana jelas terlihat cara berpikir pemerintah yang belum menggunakan perspektif gender.
Betul saja. Lima tahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan, isu dan permasalahan terkait perempuan di Indonesia masih menjadi perhatian nomor dua.
Mariana mengatakan, Jokowi seharusnya bisa lebih mengenal masyarakat, yang dalam hal ini adalah kaum perempuan. Jokowi harus bisa menemukan masalah-masalah apa saja yang dialami perempuan untuk kemudian menyusun rencana-rencana strategis untuk mengatasinya.
“Seperti Kartini Kendeng yang diterima Jokowi tanpa solusi berarti, nasib perempuan-perempuan korban juga hanya mampir di teras istana," katanya.
(asr/asa)