Jakarta, CNN Indonesia -- Lima tahun pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
kekerasan seksual terhadap perempuan masih saja jadi hantu yang bergentayangan.
Perempuan korban hanya jadi 'tamu' di teras Istana Presiden.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi seorang Baiq Nuril Maknun untuk memperjuangkan keadilan. Dia menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan rekan kerjanya.
Alih-alih mendapat perlindungan, rekaman yang digunakannya sebagai bukti pelecehan seksual justru menjebloskan Nuril ke dalam pusaran kasus hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa daya, Nuril terpaksa harus mendekam di dalam bui untuk beberapa waktu. Dia dinyatakan bersalah karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sebagai korban pelecehan seksual, Nuril justru dikriminalisasi.
Beruntung, kegigihan Nuril mendapat dukungan dan perhatian dari khalayak luas. Tak terkecuali Presiden Jokowi.
Setelah banting tulang melakoni berbagai upaya, Nuril ketiban bahagia. Amnesti diberikan, Nuril pun bebas dari jerat hukum.
Nuril menjadi korban pelecehan seksual pertama di Indonesia yang mendapatkan amnesti. Namun, pemberian amnesti tak serta merta dapat dianggap sebagai wujud komitmen pemerintah untuk mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
"Itu bukan komitmen pemerintah. Itu,
sih, karena desakan yang kuat dari publik dan perlawanan yang kuat juga dari Baiq Nuril dalam memperjuangkan keadilan," ujar aktivis perempuan sekaligus konsultan gender, Tunggal Prawesti kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (17/10).
Mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan, kata Tunggal, tak cukup dengan pemberian amnesti. Amnesti tak bisa dijadikan solusi untuk menekan maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia.
Lebih dari itu, perempuan korban membutuhkan sistem yang disusun secara struktural yang dapat menjamin perlindungan mereka.
"Amnesti [yang diberikan Jokowi] bagus, tapi akan lebih baik jika dirancang aturan baru yang bisa melindungi perempuan korban," ujar Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Mariana Aminudin saat ditemui
CNNIndonesia.com, Jumat (18/10).
Alih-alih mencari solusi, apa yang terjadi pada Nuril justru menjadi salah satu contoh yang membuat masyarakat begitu tergantung pada sosok Presiden Jokowi.
Betapa tidak, kasus pelecehan seksual tak cuma dialami Nuril. Di luar Nuril, ribuan bahkan ratusan ribu perempuan merintih memohon perlindungan.
Sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan bahwa Indonesia tengah dihadapkan dengan situasi darurat kekerasan seksual. Perempuan menjadi kelompok korban terbesar.
Data Komnas Perempuan mencatat, angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, misalnya, sebanyak 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan terlaporkan secara resmi. Angka itu meningkat pada 2015 menjadi 321.752 kasus.
Kendati mengalami penurunan pada 2016 menjadi sebanyak 259.150, namun angka kekerasan kembali melonjak cukup drastis pada 2017 sebanyak 348.886. Terakhir, sebanyak 406.178 kekerasan terhadap perempuan tercatat pada 2018.
 Ilustrasi. Angka kekerasan seksual selama lima tahun kepemimpinan Jokowi-JK terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Belum lama ini, kasus pelecehan seksual yang terjadi di kereta rel listrik (KRL) menjadi sorotan publik. Korban mengalami pelecehan saat tengah menumpangi kereta jurusan Tanah Abang-Depok.
Di tengah padatnya penumpang kereta, seorang pria tiba-tiba saja memegang bokong korban secara sengaja. Saat sadar, korban berteriak.
Pelaku berhasil diamankan oleh pihak kepolisian. Pelaku disebut-sebut telah berkali-kali melakukan pelecehan seksual dengan memanfaatkan suasana kereta yang penuh sesak.
Banyak kasus seperti demikian berujung mediasi. Dengan cara itu, tak ada efek jera yang dirasakan pelaku.
Belum lagi nasib banyak perempuan korban yang justru dikriminalisasi, sebagaimana yang dialami Nuril. Alih-alih mendapatkan perlindungan, perempuan korban justru malah jadi pihak yang disalahkan atau bahkan diperkarakan.
"Ya, bagaimana? Undang-undangnya saja tidak ada?" kata Mariana. Dengan cara seperti ini, lanjut dia, seolah-olah semua beban yang terkait dengan kekerasan seksual menjadi tanggung masyarakat itu sendiri.
Komnas Perempuan menemukan banyak perempuan korban yang membawa laporannya ke pihak kepolisian. Pada satu sisi, hal ini menandakan bahwa aparat penegak hukum telah memiliki perspektif gender yang tepat.
Kendati ada peningkatan dari aparat penegak hukum, tapi penanganan masih saja menemukan kendala. "
Kan, bingung. Enggak ada undang-undangnya," kata Mariana.
Hingga saat ini, kasus kekerasan seksual yang terlaporkan masih menggunakan payung hukum Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.
"Tapi, di UU KDRT enggak ada analisis tentang kekerasan seksual. Di KUHP juga sama," kata Mariana. UU KDRT dan KUHP tidak bisa mewakili seluruh kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Perkembangan zaman juga membuat kasus kekerasan seksual semakin kompleks. Sepanjang lima tahun ini, Komnas Perempuan melihat adanya tren baru pada pola kekerasan seksual. Kekerasan berbasis dunia maya atau
online pelan-pelan muncul ke permukaan.
Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual berbasis siber mengalami peningkatan dari sebanyak 65 pada 2017 menjadi 97 pada 2018.
"Harusnya pemerintah menyadari itu. Ini yang kekerasan fisik [RUU PKS]
aja belum kelar, gimana sekarang? Sudah keburu ada bentuk [kekerasan seksual terhadap perempuan] yang baru lagi," kata Mariana.
Dengan alur putar masalah sedemikian rupa, tak heran jika kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus langgeng di Indonesia.
Untuk itu lah, muncul wacana Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sembilan jenis kekerasan seksual dijelaskan secara detail dalam RUU tersebut.
Pelecehan seksual, misalnya, tak hanya diartikan sebagai kontak fisik maupun verbal. Perlakuan dalam konteks seksualitas yang lain pun bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Beleid yang mengatur hak korban pun hadir di dalamnya. Disebutkan bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi, serta kompensasi atas kekerasan yang dialami.
RUU PKS bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual, memulihkan korban, dan meletakkan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
"Undang-undang ini bukan sekadar produk hukum, tapi juga produk budaya yang membentuk perspektif berdasarkan gender," kata Mariana.
Diusulkan sejak 2017, hingga kini nasib RUU PKS masih terombang-ambing di antara pro dan kontra. Banyak pihak justru menuduh RUU PKS sebagai bentuk feminisme yang ibarat racun di tengah masyarakat.
“Suara semangat positif pembentukan RUU PKS justru malah berubah menjadi suara-suara negatif,” kata Mariana. Saat suara negatif-negatif itu muncul, pemerintah, lanjut dia, sama sekali tak merespons. “Ya, abai saja gitu.”
Kendati tak bisa sepenuhnya menjadi ‘obat’ untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap perempuan, tapi setidaknya RUU PKS dapat memastikan dan menjamin pemulihan serta pemenuhan hak korban. “Kami butuh itu,” kata Tunggal.
Lima tahun berjalan, negara masih tak optimal merespons maraknya kekerasan seksual. Akibatnya, banyak perempuan korban yang tidak terlindungi. Kondisi itu mau tak mau menurunkan kualitas hidup perempuan korban.
Padahal, Jokowi sendiri telah beberapa kali meneriakkan ‘Indonesia Darurat Kekerasan’. Teriakan itu kentara terdengar saat pembahasan mengenai RUU PKS tengah ramai diperbincangkan dan menarik perhatian banyak pihak.
Sejak awal kepemimpinannya, Jokowi-JK mengeluarkan sebuah kontrak politik bernama Nawa Cita. Meski tak secara eksplisit, tapi isu perlindungan perempuan sekelebat masuk di antaranya.
Dalam sub-agenda prioritas 8 dari agenda prioritas keempat, misalnya. Perlindungan anak, perempuan, dan kelompok marjinal menjadi salah satu yang menjadi perhatian Jokowi-JK.
Faktanya, hingga saat ini, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA), nyaris tak ada kebijakan strategis yang dicapai.
“Mungkin ada peningkatan. Tapi, selama lima tahun, beliau harusnya bisa melakukan banyak hal,” ujar Tunggal.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terungkap belakangan, kata Tunggal, bahkan tak direspons. “Mereka [Kementerian PPA] bahkan tak membuat aktivitas berarti. Padahal, daya jangkau mereka sangat luas,” kata dia.
Harapan KosongDi masa-masa awal pemerintahan Jokowi-JK, secercah harapan akan kebijakan berbasis gender itu muncul. Jokowi memperlihatkan komitmennya untuk memperbaiki sistem keadilan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
“Ada harapan besar bagi kami di awal,” kata Mariana.
Jokowi, kata Mariana, meminta Komnas Perempuan untuk memimpin proses RUU PKS pada 2017. “Kami menunggu,” katanya.
Namun, harapan itu hilang saat Jokowi tiba-tiba saja mengubah arah perhatiannya menjadi soal usia perkawinan anak.
“Enggak salah. Boleh, kok. Tapi masalahnya RUU PKS kemudian menghilang,” kata Mariana. Seiring berjalannya baru, muncul lagi kabar-kabar lain yang semakin menyudutkan perempuan.
Ditambah lagi, tak adanya usaha para pemangku kebijakan untuk membangun perspektif gender. Padahal, kata Mariana, seyogianya Jokowi bisa meminta bantuan para pakar untuk membangun perspektif gender, khususnya untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kebijakan berbasis gender.
“Kalau perspektif itu sudah terbangun, kita enggak perlu berisik saat kasus seperti Baiq Nuril muncuk ke permukaan. Harusnya pemerintah itu enggak perlu dikasih tahu lagi,” jelas Mariana.
Indonesia sendiri telah ikut meratifikasi The Convention of the Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) sejak 1984 silam. Artinya, Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk memajukan dunia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan.
 Ilustrasi. Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk memajukan dunia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Namun, selama lima tahun, Indonesia tak membuat laporan pelaksanaan pasal-pasal yang tercantum dalam CEDAW. Dalam hal ini, Mariana tak menyalahkan Kementerian PPPA.
“Memang, sejak kementerian ini ditambah dengan mengurusi perlindungan anak [sebelumnya hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan], jadi enggak ada laporan,” jelas Mariana.
Sebagaimana diketahui, CEDAW berfokus pada penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sementara urusan perlindungan anak tak termasuk di dalamnya.
Hal ini pula yang mengusik para pegiat hak-hak perempuan. Penambahan tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan perlindungan anak yang ditetapkan sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai mengganggu upaya penekanan angka kekerasan seksual.
“Kita sudah bilang [ke Jokowi], tolong anak jangan disatukan dengan perempuan, karena dia [Kementerian Pemberdayaan Perempuan] adalah mandat konvensi CEDAW di depan PBB. Tapi ditolak,” ujar Mariana.
Dari sana jelas terlihat cara berpikir pemerintah yang belum menggunakan perspektif gender.
Betul saja. Lima tahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan, isu dan permasalahan terkait perempuan di Indonesia masih menjadi perhatian nomor dua.
Mariana mengatakan, Jokowi seharusnya bisa lebih mengenal masyarakat, yang dalam hal ini adalah kaum perempuan. Jokowi harus bisa menemukan masalah-masalah apa saja yang dialami perempuan untuk kemudian menyusun rencana-rencana strategis untuk mengatasinya.
“Seperti Kartini Kendeng yang diterima Jokowi tanpa solusi berarti, nasib perempuan-perempuan korban juga hanya mampir di teras istana," katanya.