
SURAT DARI RANTAU
Orang Indonesia 'di Tengah' Brexit
Velda Catrinna, CNN Indonesia | Minggu, 27/10/2019 16:06 WIB

London, CNN Indonesia -- Setelah delapan tahun berkarier di bidang penjualan barang fesyen di Indonesia, saya putuskan terbang ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan S2 di bidang bisnis kreatif.
Tahun 2015 saya berhasil lulus dan sejak saat itu bekerja di London.
Seiring berjalannya waktu, saya mendapat jodoh pria London. Saat ini kami telah resmi menikah dan ia meminta saya untuk hidup bersamanya di Inggris.
Agak lucu juga kalau dipikir, saya datang ke London untuk menimba ilmu eh malah mendapat jodoh. Nasib memang tidak bisa ditebak ya.
Bagi saya, London adalah kota besar yang luar biasa indah. Selalu banyak hal yang dapat dipelajari di sini, mulai dari sejarahnya sampai industri kreatifnya.
Di balik nikmatnya hidup di kota multikultur seperti London, ada keresahan yang tengah dialami warganya, terutama saya yang datang sebagai migran.
Saat ini Inggris sedang diterpa isu Brexit. Sebuah isu yang sangat rumit dan sensitif - terutama bagi mereka yang memberikan suara 'STAY' atau 'LEAVE' dalam pemungutan suara beberapa waktu yang lalu.
Saking sensitifnya, isu Brexit bisa membuat orang bertengkar di media sosial lalu jadi tak bertegur sapa di dunia nyata. Mungkin kusutnya mirip seperti waktu musim pemilihan presiden di Indonesia kemarin.
Namun kondisi ini biasanya terjadi oleh orang-orang yang terlalu emosional, karena dalam lingkaran pertemanan saya tidak ada yang seperti itu.
Bagi saya yang seorang pekerja kantoran, isu itu tidak terlalu berdampak. Tapi bagi pemilik perusahaan tempat saya bekerja, mungkin bakal berdampak besar.
Saya bisa membayangkan bagaimana pusingnya para pebisnis dalam menghadapi kondisi Inggris tidak lagi menjadi kongsi Uni Eropa.
Mereka harus mempersiapkan perusahaannya, terutama yang memiliki jalinan dagang luar negeri, saat Inggris "merdeka".
Jadi atau tidaknya Brexit, menurut saya Inggris tetaplah negara dengan biaya hidup yang mahal. Bukan hanya untuk urusan rumah tangga, tetapi juga soal berleha-leha.
Biaya berwisata di sini terbilang tidak murah, mulai dari hotel sampai restoran.
Tapi bagi turis Indonesia yang ingin liburan ke sini dengan dana terbatas, bisa juga tetap menikmati Inggris dengan cara yang murah. Contohnya seperti datang ke museum atau piknik di taman.
Beberapa hari yang lalu saya membaca berita kalau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan kalau ia ingin kuliner Indonesia, seperti rendang, bisa seterkenal masakan khas Thailand di luar negeri.
Hal tersebut rasanya benar adanya. Restoran Indonesia di sini amat sangat jarang. Malah lebih gampang menemukan makanan khas Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia. Menu rendang terkadang ada di restoran-restoran ini.
Bagi perantau seperti saya, kehadiran restoran Indonesia sangatlah penting, sehingga kami bisa menuntaskan rindu dengan kampung halaman walau hanya dari sepiring makanan.
Untuk mengakali rindu masakan rumah, sebisa mungkin saya memasak. Berbeda dengan Indonesia, keperluan dapur di sini - seperti sayuran, daging, atau ikan, jauh lebih murah dibandingkan harga seporsi makanan di restoran. Jadi memasak juga menjadi cara saya untuk berhemat.
Selain masak di rumah, jalan kaki juga menjadi pilihan saya untuk keliling kota dalam jarak dekat.
Saya hanya menggunakan kereta, bus, atau taksi online jika harus berkunjung ke tempat yang jauh dijangkau kaki.
Untungnya jalur pejalan kaki di kota ini sangat mumpuni, sehingga saat melangkahkan kaki saya masih merasa nyaman dan aman.
Liburan keliling Eropa menjadi kegiatan menyenangkan diri bagi saya dan suami.
Jangan dulu berpikir kalau kami boros, karena nyatanya penerbangan dari Inggris ke negara Eropa lain sangatlah murah, seperti dari Jakarta ke Bali mungkin.
Saat ini saya dan suami telah mengunjungi 50 negara. Selagi fisik masih kuat, kami berencana lebih sering jalan-jalan lagi tahun depan.
Jika tidak ada aral melintang, mungkin kami juga akan mengunjungi keluarga di Indonesia dan menuntaskan rindu saya akan masakan khasnya.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ike.agestu@cnnindonesia.com / vetricia.wizach@cnnindonesia.com / ardita@cnnindonesia.com
[Gambas:Video CNN]
(vvn/ard)
Tahun 2015 saya berhasil lulus dan sejak saat itu bekerja di London.
Seiring berjalannya waktu, saya mendapat jodoh pria London. Saat ini kami telah resmi menikah dan ia meminta saya untuk hidup bersamanya di Inggris.
Agak lucu juga kalau dipikir, saya datang ke London untuk menimba ilmu eh malah mendapat jodoh. Nasib memang tidak bisa ditebak ya.
Bagi saya, London adalah kota besar yang luar biasa indah. Selalu banyak hal yang dapat dipelajari di sini, mulai dari sejarahnya sampai industri kreatifnya.
Di balik nikmatnya hidup di kota multikultur seperti London, ada keresahan yang tengah dialami warganya, terutama saya yang datang sebagai migran.
Saat ini Inggris sedang diterpa isu Brexit. Sebuah isu yang sangat rumit dan sensitif - terutama bagi mereka yang memberikan suara 'STAY' atau 'LEAVE' dalam pemungutan suara beberapa waktu yang lalu.
Saking sensitifnya, isu Brexit bisa membuat orang bertengkar di media sosial lalu jadi tak bertegur sapa di dunia nyata. Mungkin kusutnya mirip seperti waktu musim pemilihan presiden di Indonesia kemarin.
Namun kondisi ini biasanya terjadi oleh orang-orang yang terlalu emosional, karena dalam lingkaran pertemanan saya tidak ada yang seperti itu.
Bagi saya yang seorang pekerja kantoran, isu itu tidak terlalu berdampak. Tapi bagi pemilik perusahaan tempat saya bekerja, mungkin bakal berdampak besar.
Saya bisa membayangkan bagaimana pusingnya para pebisnis dalam menghadapi kondisi Inggris tidak lagi menjadi kongsi Uni Eropa.
Mereka harus mempersiapkan perusahaannya, terutama yang memiliki jalinan dagang luar negeri, saat Inggris "merdeka".
Jadi atau tidaknya Brexit, menurut saya Inggris tetaplah negara dengan biaya hidup yang mahal. Bukan hanya untuk urusan rumah tangga, tetapi juga soal berleha-leha.
Biaya berwisata di sini terbilang tidak murah, mulai dari hotel sampai restoran.
Tapi bagi turis Indonesia yang ingin liburan ke sini dengan dana terbatas, bisa juga tetap menikmati Inggris dengan cara yang murah. Contohnya seperti datang ke museum atau piknik di taman.
Beberapa hari yang lalu saya membaca berita kalau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan kalau ia ingin kuliner Indonesia, seperti rendang, bisa seterkenal masakan khas Thailand di luar negeri.
Hal tersebut rasanya benar adanya. Restoran Indonesia di sini amat sangat jarang. Malah lebih gampang menemukan makanan khas Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia. Menu rendang terkadang ada di restoran-restoran ini.
Bagi perantau seperti saya, kehadiran restoran Indonesia sangatlah penting, sehingga kami bisa menuntaskan rindu dengan kampung halaman walau hanya dari sepiring makanan.
Untuk mengakali rindu masakan rumah, sebisa mungkin saya memasak. Berbeda dengan Indonesia, keperluan dapur di sini - seperti sayuran, daging, atau ikan, jauh lebih murah dibandingkan harga seporsi makanan di restoran. Jadi memasak juga menjadi cara saya untuk berhemat.
Selain masak di rumah, jalan kaki juga menjadi pilihan saya untuk keliling kota dalam jarak dekat.
Saya hanya menggunakan kereta, bus, atau taksi online jika harus berkunjung ke tempat yang jauh dijangkau kaki.
Untungnya jalur pejalan kaki di kota ini sangat mumpuni, sehingga saat melangkahkan kaki saya masih merasa nyaman dan aman.
Liburan keliling Eropa menjadi kegiatan menyenangkan diri bagi saya dan suami.
Jangan dulu berpikir kalau kami boros, karena nyatanya penerbangan dari Inggris ke negara Eropa lain sangatlah murah, seperti dari Jakarta ke Bali mungkin.
Saat ini saya dan suami telah mengunjungi 50 negara. Selagi fisik masih kuat, kami berencana lebih sering jalan-jalan lagi tahun depan.
Jika tidak ada aral melintang, mungkin kami juga akan mengunjungi keluarga di Indonesia dan menuntaskan rindu saya akan masakan khasnya.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ike.agestu@cnnindonesia.com / vetricia.wizach@cnnindonesia.com / ardita@cnnindonesia.com
Lihat juga:Operasi Rahang dan Sesuap Kimchi di Korea |
[Gambas:Video CNN]
(vvn/ard)
ARTIKEL TERKAIT

Sendirian Menghadapi Topan dan Huruf Kanji di Jepang
Gaya Hidup 1 bulan yang lalu
FOTO: Nostalgia Masa Perang di Stasiun Pickering
Gaya Hidup 1 bulan yang lalu
Peta Wisata Tertua di Dunia Dipamerkan di Inggris
Gaya Hidup 1 bulan yang lalu
Operasi Rahang dan Sesuap Kimchi di Korea
Gaya Hidup 1 bulan yang lalu
Museum Vagina Pertama di Dunia Bakal Buka di London
Gaya Hidup 2 bulan yang lalu
10 Kuburan Paling Terkenal di Dunia
Gaya Hidup 2 bulan yang lalu
BACA JUGA

Gempa Magnitudo 3,2 Guncang Inggris, Tak Ada Korban Jiwa
Internasional • 06 December 2019 12:40
Iran Dituduh Kembangkan Rudal Balistik Nuklir
Internasional • 06 December 2019 05:40
VIDEO: Drama Trump, Boris, dan Trudeau di NATO
Internasional • 05 December 2019 20:29
Mengulik Perjalanan NATO, Aliansi Militer di Atlantik Utara
Internasional • 05 December 2019 13:22
TERPOPULER

FOTO: Tarantula Goreng, Si Renyah Camilan Unik dari Kamboja
Gaya Hidup • 2 jam yang lalu
'Island Hopping' di Stockholm
Gaya Hidup 1 jam yang lalu
Kandungan Kosmetik yang Perlu Dihindari oleh Ibu Hamil
Gaya Hidup 4 jam yang lalu