Siena, CNN Indonesia --
Rabu, 4 Maret 2020Sama seperti biasanya, jadwal perkuliahan saya lumayan padat hari itu. Di waktu istirahat saya dan teman-teman berkumpul di kantor Dottorandi (kandidat Doktor) untuk makan siang bersama.
Tidak ada kecurigaan bahwa hari tersebut berbeda dengan hari lainnya, sampai salah satu rekan postdoc kami datang dan membawa kabar terbaru: ada desas desus bahwa universitas akan ditutup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami mengintip ke koridor dan memang dosen-dosen dan administrator terlihat sibuk. Meskipun belum ada kabar resmi, kami langsung mengambil ponsel dan mengecek berita di internet. Memang ada spekulasi dari pemerintah bahwa sekolah dan universitas mungkin ditutup, meskipun kabar terlengkap baru akan diberitakan sore harinya.
Saya tidak terlalu berpikir banyak tentang desas desus tersebut karena tahu bahwa regione saya, Toskana, sudah berjuang keras agar kehidupan tetap berlanjut normal.
Tiga kota besar di Toskana: Pisa, Firenze, dan Siena merupakan daerah yang sangat populer dengan turis mancanegara. Bukan hanya anggur, daerah ini terkenal sebagai tempat kelahiran masa Renaisans di benua Eropa. Dengan latar belakang seperti itu, tentunya pariwisata merupakan industri yang sangat penting untuk Toskana.
Sepinya turis mancanegara yang memenuhi jalan-jalan di kota juga saya anggap dikarenakan musim dingin yang belum berakhir. Biasanya, turis-turis mulai berdatangan setelah April.
Setelah semua sesi perkuliahan selesai, saya memutuskan untuk menyiapkan bahan-bahan belajar di rumah kalau-kalau dekrit tersebut diluluskan. Isu yang saya dengar mengatakan bahwa penutupan sekolah akan sampai tanggal 15 Maret 2020, yang berarti kami mungkin terkunci di rumah selama 10 hari.
Tidak lupa saya pergi ke pasar swalayan untuk mempersiapkan stok makanan. Situasi di pasar swalayan cenderung normal. Foto-foto yang kami lihat di internet tentang panic buying di Milan tidak nampak di Siena. Rak pasta dan kertas toilet, dua hal yang paling mendasar untuk orang Italia, masih cukup penuh. Para pelanggan pun berbelanja seperti biasanya tanpa terburu-buru.
Sesampai di rumah, ponsel saya berdering pertanda ada email masuk. Ternyata benar, kami dikabarkan bahwa universitas akan tutup sampai tanggal 15 Maret 2020. Penutupan yang dimaksud adalah pemberhentian proses belajar mengajar dan ujian sementara Dottorandi tetap diperbolehkan ke kantor.
Email tersebut juga diakhiri dengan pesan menenangkan dari Rektor yang menginformasikan bahwa mahasiswa dan staf yang tidak membayar kontribusi ke sistem kesehatan nasional akan ditanggung oleh pemerintah Toskana dalam kasus COVID19.
Walaupun sudah ada kabar bahwa akhirnya Siena kota memiliki satu kasus positif dari kalangan mahasiswa, tapi saya cukup percaya dengan sistem kesehatan di Italia dan tidak terlalu ambil pusing.
Kamis, 5 Maret 2020Hari pertama penutupan sekolah dan universitas juga kebetulan jatuh pada hari dimana saya tidak ada jadwal kuliah. Saya menghabiskan hari berkoordinasi dengan dosen-dosen yang kuliahnya terdampak penutupan.
Satu dosen mengabulkan permintaan kami untuk tetap melakukan kelas secara fisik, walaupun sebenarnya hal tersebut ilegal. Dosen lainnya bersikukuh untuk kuliah lewat Skype walaupun kami semua berencana datang ke kampus. Saya memutuskan untuk ke kampus untuk belajar dan juga untuk menghemat tagihan gas yang cukup mahal jika saya harus tinggal seharian di rumah.
Beberapa kolega terlihat masih datang di kampus dan di sepanjang koridor saya bisa mendengar suara dosen-dosen yang sedang membuat rekaman kuliah untuk dikirim ke mahasiswa.
Saya bisa merasakan atmosfer kebingungan di fakultas karena penutupan ini. Bukan cuma karena hal ini berarti jadwal kuliah dan ujian berubah, tetapi karena dosen dan administrator yang memiliki anak menjadi kebingungan. Maklum, di Italia lazim kedua orang tua bekerja, sehingga di situasi seperti ini ada kebingungan mengenai siapa yang akan menjaga anak-anak mereka.
Sore harinya ketika berjalan pulang, saya bisa melihat bahwa ada banyak anak-anak yang bermain bersama di taman dan orang dewasa yang berkumpul di bar untuk minum kopi atau apperitivo. Tentunya ini bukan hal yang diharapkan oleh pemerintah Italia ketika mereka memutuskan untuk menutup sekolah dan universitas.
Sementara itu, grup penanganan COVID19 yang dibentuk oleh KBRI seminggu sebelumnya mulai berdering. KBRI menjadwalkan sebuah panggilan Skype dengan WNI dari berbagai kota dan juga meminta kami untuk memutakhirkan data.
Inisiatif dari KBRI tersebut dimaksudkan agar kami bisa mendapat perkembangan terakhir terutama jika ada WNI yang terkena COVID19. Selain itu, kami diinformasikan perihal travel warning dan restriction yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Dari berbagai grup WhatsApp dengan WNI dan PPI Italia, sepertinya banyak yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Banyak juga yang memutuskan untuk tinggal di Italia agar tidak membawa virus kembali ke Indonesia.
Jumat, 6 Maret 2020Saya tidak ikut berpartisipasi dalam panggilan Skype dengan KBRI karena kesibukan kuliah, tetapi kemudian saya diberikan rangkuman. Beberapa WNI meminta tolong KBRI untuk menyediakan masker dan pembersih tangan yang memang sudah langka di berbagai kota sejak Januari kemarin.
Selain itu, situasi WNI di berbagai kota pun lumayan stabil. Di kampus sendiri, walaupun kami sebenarnya melakukan hal ilegal, dengan tetap mengadakan kuliah yang sebagian fisik dan sebagian jarak jauh, administrator tidak terlalu banyak berkomentar. Program perkuliahan ini cukup menyita waktu dan tidak bisa ditunda, sehingga kami memutuskan untuk sebisa mungkin melanjutkan perkuliahan dengan normal.
Tidak ada perasaan ketakutan tentang COVID19 di antara saya dan teman-teman di kampus. Meski demikian, suasana sepi di kampus mulai terasa.
Untuk kedua kali-nya saya diinterogasi oleh penjaga pintu yang dengan tegas mengusir semua mahasiswa. Status saya sebagai Dottoranda mengijinkan saya untuk tetap ke kampus, tetapi tentunya tidak disarankan.
Sabtu, 7 Maret 2020Beredar informasi bahwa seluruh Lombardia dan 14 provinsi di utara Italia akan ditutup. Provinsi-provinsi tersebut adalah: Modena, Reggio Emilia, Parma, Rimini dan Piacenza (di Emilia Romagna), Pesaro dan Urbino (di Marche), Venezia, Padua dan Treviso (di Veneto), Asti, Novara, Verbano-Cusio-Ossola, Vercelli dan Alessandria (di Piemonte).
Selang beberapa lama kemudian, dekrit tersebut disahkan. Karantina akan diberlakukan dari 8 Maret hingga 3 April 2020.
Media sosial saya kemudian dibanjiri foto dan video dari stasiun kereta di Milan yang dipenuhi orang-orang yang ingin kabur dari karantina. Italia memang cukup dinamis dan ada banyak orang-orang dari selatan yang pindah ke utara. Otomatis dengan situasi seperti ini, mereka yang dari selatan berusaha untuk pulang agar dapat dekat dengan keluarganya.
Bukan hanya Milan, kami juga dikabarkan bahwa ada banyak karavan yang memasuki provinsi Lucca di Toskana dari provinsi Reggio Emilia yang memang masuk zona merah.
Kolega-kolega yang berasal dari daerah-daerah berbeda pun memutuskan untuk bersikap penuh tanggung jawab dan membatalkan rencana Paskah mereka agar tidak menyebarkan COVID19 lebih jauh.
Meski demikian, kehidupan di Siena terasa seperti biasa. Pasar swalayan masih ramai, begitu juga jalan-jalan di kota.
Minggu, 8 Maret 2020Hari Minggu seakan berjalan lambat di Italia. Menjelang siang hari, saya memutuskan untuk keluar dan memantau kondisi sekeliling kota. Sekitaran saya terasa lengang tetapi normal. Saya tidak bisa memutuskan apakah dekrit karantina tersebut mulai berdampak, atau memang karena hari itu adalah hari Minggu.
Menjelang sore hari, Banchi di Sopra, jalan paling sibuk di Siena, masih menunjukkan aktivitas walaupun lengang.
Berjalan menuju Piazza il Campo, pusat kota dan rumah dari Palio yang merupakan atraksi utama Siena, saya masih melihat beberapa turis berwajah Asia dengan masker di wajah.
Sementara itu bar dan restoran di piazza terlihat cukup penuh dengan penduduk lokal yang masih melakukan ritual apperitivo.
Saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu gelateria dan mendapati bak-bak gelato yang setengah penuh. Artinya, cukup banyak pengunjung yang membeli gelato hari itu.
Saya mengakhiri hari saya dengan memanjat Fortezza di Medicea yang terutama banyak dikunjungi penduduk Siena untuk jogging. Masih banyak orang yang berlari atau hanya duduk-duduk menikmati malam.
Di pojok-pojok benteng tersebut juga ada sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pusat kebugaran terbuka untuk publik, dan juga sekelompok remaja yang sedang bercanda.
Senin, 9 Maret 2020Hari ini adalah hari pertama dimana saya merasa gentar dengan kekhawatiran COVID19.
Hampir tidak ada orang di kampus, dan saya bekerja sendirian di kantor. Ada beberapa kolega yang datang, tetapi mereka memutuskan untuk kembali sambil menghindari saling sentuh.
Saran yang disebarkan oleh pemerintah Italia sebelumnya tidak digubris, tetapi sekarang terlihat orang-orang mulai berusaha untuk mematuhi anjuran tersebut.
Kami diajak untuk mengurangi kontak seperti berjabat tangan, berpelukan, dan berciuman. Tentu ini adalah hal yang sulit di Italia karena budaya disini cenderung fisik. Orang-orang yang merasa cukup dekat akan saling berpelukan dan mencium pipi satu sama lain.
Anjuran untuk tidak berkumpul di tempat umum juga sangat sulit dilakukan karena minum kopi di bar dan apperitivo merupakan budaya yang sangat lekat sehingga sulit dilepaskan.
Melihat orang-orang menghindari satu sama lain merupakan pengalaman yang tidak biasanya untuk saya setelah tinggal di Italia sejak 3 tahun terakhir.
Di sore hari setelah kampus tutup, saya memutuskan untuk melihat kondisi kota sekali lagi. Benar saja, hari Senin tersebut terasa sangat mencekam. Semua toko dan restoran tutup karena mereka memang disarankan untuk buka hanya sampai jam 6 sore.
Jalan-jalan kosong melompong dan bar-bar yang biasanya menawarkan apperitivo pun kosong. Pasar swalayan masih cukup penuh dengan bahan kebutuhan sehari-hari, paling tidak kami tak akan kelaparan.
Satu hal tidak biasa yang saya perhatikan di pasar swalayan adalah kasir yang tutup dan semua pelanggan diarahkan untuk membayar lewat self check out. Hanya ada 2 karyawan yang membantu pelanggan yang kesulitan, dan mereka juga menggunakan masker.
Hal tersebut juga adalah hal yang baru karena di Italia penggunaan masker hanya disarankan untuk awak medis dan orang-orang yang sudah sakit. Keseriusan wabah COVID19 ini sepertinya mulai merasuk bahkan ke kota terpencil kami.
Selasa, 10 Maret 2020Pagi ini saya dibangunkan dengan kabar perkembangan terbaru: zona merah Italia diberlakukan secara nasional. Kami tidak diperbolehkan keluar dari comune kami tanpa ijin khusus.
Kami mulai dibagikan dokumen dari pemerintah setempat yang harus diisi jika ingin bepergian antar comune.
Kolega-kolega juga memutuskan untuk menaati dekrit nasional tentang tidak keluar rumah jika tidak dibutuhkan, dan terutama untuk tidak bepergian ke luar kota.
Kampus bukan hanya lengang, tetapi hampir kosong. Kami juga dikabarkan bahwa penutupan diperpanjang sampai 3 April, yang berarti semakin banyak kegiatan perkuliahan dan ujian yang terdampak.
Setelah bertukar kabar dengan kolega-kolega lainnya, saya diinformasikan bahwa di supermarket besar ada pembatasan jumlah orang masuk agar ada jarak paling tidak satu meter dengan orang lainnya. Meski demikian, pihak pasar swalayan memastikan agar stok keperluan sehari-hari diisi kembali setiap dua jam agar tidak ada kekurangan.
Saya memutuskan untuk mengunjungi pasar swalayan dekat rumah di perjalanan saya ke kampus dan mendapati sebuah rak yang baru dipasang di depan pintu yang berisi sarung tangan karet dan semprotan alkohol untuk para pengunjung.
Beberapa pelanggan yang saya temui di dalam menggunakan masker dan menjaga jarak satu sama lain.
Kampus juga memasang dispenser gel alkohol di koridor lengkap dengan panduan terakhir dari Kementrian Kesehatan Italia perihal tindakan preventif.
Jam makan siang saya habiskan di kota sembari memantau keadaan sekitar. Walaupun banyak restoran yang masih buka, kebanyakan menyediakan diskon untuk menu makanan siang ditambah dengan layanan antar dadakan untuk mereka yang memutuskan untuk tinggal di rumah.
Masih ada beberapa orang yang lalu lalang di jalanan, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa saya belum pernah melihat Siena sesepi itu.
Di malam hari ketika saya berjalan pulang jalanan terasa lebih sepi lagi. Jika Minggu malam sebelumnya piazza il Campo masih terlihat ada pengunjung, hari ini semuanya kosong melompong. Semua bar dan restoran tutup.
Banchi di Sopra yang merupakan jalanan paling sibuk pun terlihat sangat sepi.
Saya memperhatikan pintu toko-toko yang memadati jalanan dan di sebagian besar ada tulisan yang menjelaskan alasan mereka tutup.
Secara umum ada 3 jenis tanda yang dapat saya lihat. Pertama, bisnis yang memutuskan untuk tutup jam 6 sore sesuai dengan dekrit dari pemerintah.
Kedua, bisnis yang memutuskan untuk tutup dan mempromosikan tagar #iostareacasa (#sayatinggaldirumah) sebagai bentuk solidaritas nasional untuk memperlambat penyebaran COVID19.
Ketiga, bisnis yang memutuskan untuk tetap buka tetapi membatasi jumlah orang agar selalu ada jarak 1 meter antar pengunjung.
Ada juga beberapa bisnis yang tidak menggubris dekrit tersebut dan tetap buka seperti normal, walaupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Cukup mengejutkan bahwa di tengah wabah nasional seperti ini, penduduk Siena memutuskan untuk akhirnya mengikuti arahan pemerintah dan mementingkan penanganan COVID19 dibandingkan mata pencaharian mereka.
Ini bukanlah keputusan yang mudah, karena musim dingin yang merupakan low season baru saja berakhir dan bisnis seharusnya mulai merangkak sekarang sebelum kembali seperti biasa setelah paskah.
Rabu, 11 Maret 2020Hari kedua penguncian Italia atas wabah COVID19. Saya mulai terbiasa dengan kehidupan yang baru ini.
Jalan-jalan hampir kosong, tetapi masih ada kehidupan terlihat. Beberapa restoran di dekat kampus masih buka dan mereka juga menyediakan diskon makan siang.
Salah satu kolega memutuskan untuk datang ke kampus karena memang agak sulit untuk mengumpulkan motivasi mengikuti kuliah jarak jauh sendirian di rumah.
Sebelum sesi Skype dimulai, kami pergi ke kafe untuk minum kopi kami pagi itu.
"Tolong jarak 1 meter," kata barista begitu kami memasuki kafe.
Hanya ada 2 orang lainnya di kafe, seorang wanita yang sedang membaca koran dan seorang anak perempuan yang sedang sibuk dengan buku gambarnya di salah satu meja.
Hanya ada tiga meja yang dalam kondisi siap, tetapi mereka tidak ditata karena memang tidak dianjurkan untuk berkumpul di kafe.
Saya memesan macchiato dan kolega saya memesan cappuccino. Hari itu barista tidak berkomentar apa-apa tentang cappuccino yang dipesan rekan saya setelah jam makan siang, meskipun hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran untuk orang Italia.
Ada ketegangan di atmosfer udara yang menyelimuti kami semua sembari menunggu kopi yang sedang dibuat.
Setelah menghabiskan kopi, kami melanjutkan aktifitas di kampus. Kami masih diberhentikan penjaga pintu atau tukang bersih-bersih ketika kami masuk ke kampus, tetapi sepertinya mereka sudah mengingat wajah kami.
Hari berjalan lambat walaupun kami menyadari bahwa hari-hari seperti ini sebenarnya lebih produktif untuk keperluan studi.
Jika biasanya setiap jam ada yang menawarkan kopi, sekarang kami duduk seharian dan hanya diinterupsi makan siang.
Rekan saya menginformasikan bahwa mensa (kantin) juga hanya menyiapkan makanan yang sedang dibungkus yang sudah dia beli dalam perjalanan ke kampus sehingga kami tidak perlu meninggalkan kantor untuk makan siang.
Kuliah lewat Skype dimulai. Tidak mudah melakukan kuliah jarak jauh karena banyak dosen yang tidak terbiasa dengan teknologi sehingga sebagian besar waktu kami dihabiskan di masalah teknis.
Setelah hari yang panjang, saya pulang dan sesampai di rumah saya langsung mengecek ponsel. Ternyata ada berita baru. Giuseppe Conte, perdana menteri Italia, mengumumkan di televisi nasional bahwa mulai keesokan harinya bar dan restoran juga akan tutup. Bisnis yang diperbolehkan buka hanyalah pasar swalayan dan apotek, dan beberapa kebutuhan dasar lainnya.
Kami juga wajib mengisi dokumen semacam affidavit setiap kali keluar rumah. Jika sebelumnya dokumen ini hanya diwajibkan untuk mereka yang akan bepergian antar kota, sekarang bahkan untuk membawa anjing jalan-jalan sore pun kami diminta untuk selalu membawa dokumen tersebut.
Hanya ada 4 alasan yang diijinkan: pergi bekerja, alasan darurat, alasan kesehatan, dan pulang ke domisili.
Kami juga diberikan artikel mengenai panduan yang perlu kami patuhi seperti aturan bahwa berbelanja hanya disarankan satu orang per keluarga, dan detil-detil kecil tentang peraturan baru ini.
Kamis, 12 Maret 2020Tak terasa sudah hari ketiga penguncian Italia akibat wabah COVID19.
Pagi ini suasana semakin mencekam setelah pidato Perdana Menteri Conte semalam sebelumnya.
Saya memutuskan tetap ke kampus karena ada banyak hal yang harus dilakukan dan saya tidak bisa bekerja sepenuhnya dari rumah.
Karena secara teknis saya memang bekerja sebagai peneliti di Universitas, saya memberanikan diri untuk keluar. Saya sempat was was karena saya tidak punya printer di rumah sehingga tentunya saya keluar tanpa surat keterangan.
Grup penanganan COVID19 yang dibentuk KBRI pun mulai dibanjiri informasi. Jika biasanya kami hanya menerima pesan tentang statistik terbaru, beberapa rekan WNI di kota lainnya juga membagikan pengalaman mereka di kota lainnya yang sudah diberhentikan polisi dan diminta dokumen tersebut.
Untungnya posisi rumah saya dan kampus yang tidak jauh dan rute saya yang tidak melewati pusat kota jadi saya tidak bertemu polisi sama sekali.
Di gerbang kampus saya bertemu dengan salah satu kolega yang datang untuk mengambil beberapa barang di kantor kami. Dia terlihat panik karena lupa mencetak dokumen pernyataan tersebut dan terburu-buru meninggalkan kampus.
Setengah jam kemudian dia menulis di grup kami, bercerita bahwa dia diberhentikan polisi dan bahwa polisi tidak senang karena dia tidak membawa dokumen tersebut.
Karena masih hari pertama tidak ada sanksi yang dikenakan, tetapi akan ada denda di kemudian hari jika tetap melanggar.
Di kampus sendiri hanya ada satu orang yang saya temui: administrator program kami. Jika hari-hari sebelumnya masih ada banyak dosen-dosen yang datang, hari ini kampus benar-benar kosong.
Sebelum hari berakhir, saya mendapat telepon dari pasangan saya di Latvia. Penerbangannya untuk mengunjungi saya di bulan April sudah diberhentikan. Hal ini membuat hubungan jarak jauh kami menjadi lebih sulit, terutama karena kami belum bertemu sama sekali sejak 4 bulan terakhir. Rencana kami untuk bertemu di Belgia dan Rusia di bulan Juni pun terancam batal.
Dia meminta saya untuk tidak membeli tiket terlebih dahulu karena kami tidak tahu bagaimana situasi ini akan berkembang. Bukan hanya itu, rencana awal saya untuk melanjutkan proyek riset saya di Lithuania bulan Juli terancam batal karena komplikasi situasi COVID19 ini.
Pasangan saya juga menginformasikan bahwa Latvia sudah mengumumkan darurat nasional walaupun kasus yang terjadi baru mencapai angka 15. Tempat kerjanya di perpustakaan nasional pun diberhentikan sampai bulan April.
Ini bukanlah hal baru. Kami sudah mendapat kabar penutupan sekolah dan anjuran bekerja dari rumah di beberapa negara tetangga di Eropa. Teman dekat kami yang berada di Polandia juga membagikan gambar-gambar pasar swalayan yang sudah kosong karena panic buying.
Diam-diam saya merasa bersyukur bahwa di Siena orang-orang cukup beradab untuk tidak berbondong-bondong mengosongkan pasar swalayan, dan juga mengikuti anjuran pemerintah.
Malam itu, salah satu contrada di Siena dipenuhi dengan paduan suara dadakan menyanyikan lagu Canto della Verbana yang merupakan lagu tradisional Siena.
Kota ini sudah melewati berbagai peristiwa sulit sepanjang sejarah. Siena dan Italia pasti bisa melewati wabah ini juga.
Jumat, 13 Maret 2020Hari ini adalah hari keempat sejak karantina nasional diberlakukan.
Seminggu sudah kegiatan belajar mengajar diberhentikan, dan kehidupan di Siena berubah drastis. Jika sebelumnya kota ini penuh kehidupan, sekarang jalan-jalan kosong.
Banyak yang membandingkan situasi ini dengan perang dunia kedua karena ini adalah pertama kalinya Italia bertekuk lutut secara nasional setelah dimulainya masa damai.
Ada banyak kisah sedih yang saya dengar: mereka yang meninggal, mereka yang ditolak rumah sakit karena over kapasitas, mereka yang kehilangan penghasilan, dan umumnya terdampak oleh situasi ini.
Tetapi ada juga kisah-kisah manusiawi yang saya dengar: solidaritas. Ajakan untuk tidak membeli masker agar dapat digunakan oleh rumah sakit, ajakan untuk tinggal di rumah meskipun artinya banyak bisnis merugi, dan ajakan untuk belanja seperlunya untuk menghindari kekosongan bahan makanan terutama untuk mereka yang membutuhkan.
Meskipun saya adalah satu-satunya orang Indonesia di Siena, saya tidak merasa sendiri. KBRI terus menerus memantau kondisi kami, pemerintah Italia dan universitas meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan orang-orang di sekeliling tetap saling menyemangati di waktu yang sulit ini.
Di tengah wabah ini, kami semua harus memainkan peran masing-masing. Kementerian Kesehatan Italia sudah memastikan informasi yang kami terima transparan, pemerintah regione memastikan bahwa kami akan diurus tanpa perlu memikirkan tagihan kesehatan, pemerintah nasional memastikan bahwa tindakan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut sudah tepat, dan kami penduduk sipil harus patuh agar bencana ini dapat cepat berlalu.
Sementara itu kami berusaha untuk hidup senormal mungkin sambil menunggu perkembangan terbaru setiap paginya.
Saya harap semua ini cepat berlalu, dan Italia bisa bangkit kembali. Sampai saat itu tiba, saya harus memainkan peran saya sebagai tamu yang baik.
---Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]