BW challenge atau tantangan foto hitam putih yang belakangan marak di media sosial. Para perempuan menggaungkan dan menyemarakan lini masa dengan tren dan juga tagar #womensupportingwomen, #womenempowerent dan lainnya.
Ada kisah di balik maraknya tantangan tersebut. Tantangan tersebut sebenarnya sudah sering mewarnai lini masa media sosial. Saat ini beredarnya tantangan tersebut juga diwarnai dengan berbagai alasan dan latar belakang. Mengutip berbagai sumber, pelacakan timnya mendapati pangkal dari rantai tren challenge ini bermula dari unggahan jurnalis Brasil, Ana Paula Padrao. Namun catatan lain juga menuliskan adanya nama Pinar Gultekin, wanita Turki yang menjadi korban kekerasan oleh mantan pacarnya. Apapun cerita di baliknya, tantangan ini bukan sekadar unggahan foto semata, semuanya tergerak untuk mengatasi femicide atau femisida (feminisida).
Femicide adalah kejahatan kebencian berbasis jenis kelamin yang banyak didefinisikan sebagai pembunuhan intensional dari kaum perempuan, karena mereka adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis Diana E.H.Rusell adalah salah satu pionir istilah tersebut. Dia mendefinisikan femicide sebagai pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka adalah perempuan.
Mengutip Stylist, pendidik anti-rasial dan penulis Dr Pragya Agarwal mengungkapkan bahwa semua itu dimulai sebagai gerakan pembangkangan yang serius untuk mendukung wanita Turki.
Hal ini dilakukan karena Turki memiliki salah satu tingkat feminisme tertinggi.
"Tantangannya dimulai "untuk mendukung Pinar Gultekin yang terbunuh dengan cara paling kejam, untuk mendukung setiap wanita yang merasa terancam dan tidak aman," katanya
"Ini adalah menunjukkan solidaritas untuk mengatakan bahwa kita berdiri bersama, kita tidak takut, kita muak dengan kurangnya akuntabilitas bagi para pelaku," tambahnya.
Seperti dilansir Forbes, penulis New York Times, Tariro Mzezewa juga tweeted bahwa dia berbicara kepada beberapa wanita Turki yang mengatakan bahwa tren "dimulai di sana sebagai tanggapan terhadap mereka yang frustrasi karena selalu melihat foto hitam-putih dari wanita yang telah terbunuh.
"Ini dimulai oleh wanita Turki untuk mengatakan bahwa mereka terkejut dengan keputusan pemerintah Turki untuk menarik diri dari konvensi Istanbul seperti halnya Polandia. Ini untuk mengatakan bahwa tidak ada wanita yang berdiri sendiri, kita layak mengambil tempat, kita semua wanita #womensupporting."
Siapa Pinar Gultekin?
Gultekin adalah seorang mahasiswa berusia 27 tahun yang meninggal dunia yang mayatnya ditemukan di distrik Aegean Muğla pada hari Selasa 21 Juli.
Gultekin dibunuh secara brutal di Turki oleh mantan pacarnya. Tubuhnya dimasukkan ke dalam tong minyak dan dibakar dan disembunyikan di hutan.
![]() ilustrasi kekerasan perempuan |
Kasus ini pun menimbulkan berbagai demonstrasi oleh perempuan di Turki. Demonstrasi adalah bagian dari kemarahan yang meningkat di Turki pada meningkatnya jumlah perempuan yang terbunuh, termasuk pembunuhan mahasiswa universitas Pinar Gultekin.
Mengutip AFP, Kelompok hak asasi "We Will Stop Femicides Platform" mengatakan 146 wanita dibunuh oleh pria pada paruh pertama tahun 2020.
Tahun lalu, 474 wanita terbunuh, menurut kelompok itu. Itu 440 pada 2018.
Kasus kekerasan terhadap perempuan tak cuma terjadi di Turki tapi juga di Indonesia.
Pemerintah bahkan menyebut bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak wabah virus corona. Komnas Perempuan bersama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak mencatat terjadi peningkatan sebesar 75 persen sejak pandemi Covid-19.
Tercatat 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 5.548 kasus di antaranya berupa kekerasan fisik, 2.123 kasus kekerasan psikis, 4.898 kasus kekerasan seksual, 1.528 kasus kekerasan ekonomi, dan 610 kasus kekerasan buruh migran dan trafficking.
Untuk mengatasi hal tersebut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama UNFPA (United Nations Population Fund) menyusun protokol penanganan kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi. Pemerintah juga memastikan layanan penanganan dan pendampingan kasus kekerasan perempuan harus tetap berjalan sekalipun di tengah pandemi virus corona.
(chs)