Dokter Twindy Rarasati, tenaga medis sekaligus penyintas Covid-19, masih ingat betul apa yang dia alami awal April 2020 lalu. Tidak ada demam maupun batuk, tetapi yang ada sesak napas, kelelahan ditambah hilang kemampuan mencium dan mengecap.
"Tidak ada demam, batuk bukan berarti tidak (kena) Covid-19. Ada banyak gejala sehingga kita harus selalu waspada," kata Twindy dalam Dialog Produktif Inspirasi Senin, Senin (23/11).
Protokol kesehatan, lanjutnya, kini jauh lebih bagus daripada dulu. Terlebih kini dunia sedang menantikan kehadiran vaksin Covid-19. Dalam kesempatan serupa dokter Dirga Sakti Rambe, spesialis penyakit dalam sekaligus vaksinolog, mengatakan hingga kini laporan terkait vaksin Covid-19 di dunia sifatnya masih sementara. Dalam waktu dekat, belum bisa diharapkan kehadiran vaksin yang sudah benar-benar mendapatkan izin penuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berkata riset vaksin memang memakan waktu lama. Vaksin-vaksin yang sudah ada memakan waktu hingga 10 tahun penelitian. Namun masa pandemi ada akselerasi tanpa ada kompromi terkait keamanan. Hingga tidak sampai setahun ini, ada kandidat vaksin yang menunjukkan efektivitas.
"Untuk vaksin Covid-19, WHO menetapkan efektivitas minimal 50 persen. Harapannya (vaksin) setidaknya 50 persen tapi lebih tinggi lagi, 90 atau 95 persen," imbuhnya.
Akan tetapi dalam perjalanannya, beredar hoaks seputar vaksin Covid-19 di masyarakat. Dirga menyebut ada dua hoaks yang cukup ramai terdengar:
Dirga mengungkapkan bahwa ini adalah hal yang keliru. Untuk dapat digunakan secara luas, vaksin telah melewati tahap penelitian panjang. Riset vaksin dimulai dari riset pada hewan, baru kemudian pada manusia setelah terbukti aman.
Pada manusia, ada 3 fase dan melibatkan ribuan orang. Dalam proses ini dilihat efektivitas dan keamanannya. Sejauh ini, riset vaksin Covid-19 tidak menunjukkan tidak ada catatan berarti sehingga aman.
"Keamanan vaksin ini dipantau terus, bukan setelah diedarkan lalu dibiarkan begitu saja," kata Dirga.
Vaksin itu sifatnya melatih sistem imunitas, memproduksi antibodi sehingga tubuh kebal terhadap penyakit secara spesifik. Ini jadi keunggulan penggunaan vaksin.
"Vaksin bekerja menetralisir virus lebih spesifik. Jaga kebersihan, makan makanan bergizi itu upaya general tapi vaksin ini spesifik," kata dia.
Bagaimana dengan kesiapan Indonesia?
Distribusi vaksin memerlukan sistem cold chain atau rantai dingin. Artinya, vaksin harus disimpan dalam suhu yang terjaga dari laboratorium pembuatan hingga ke unit terkecil termasuk Puskesmas. Dirga berkata vaksin harus disimpan di suhu 2-8 derajat Celcius.
"Indonesia sudah siap. Kita sudah menjalankan vaksinasi sejak 1970-an. Kita siap jaga cold chain sampai ke pelosok," imbuhnya.
(els/chs)