Selayang Pandang Gerakan Anti-Vaksin di Dunia

CNN Indonesia
Jumat, 27 Nov 2020 19:51 WIB
Kelompok anti-vaksin percaya bahwa vaksin justru akan menimbulkan ancaman penyakit baru. Bagaimana gerakan anti-vaksin ini dimulai?
Ilustrasi. Alih-alih percaya bahwa vaksin dapat meningkatkan kekebalan tubuh, kelompok anti-vaksin justru percaya bahwa vaksin hanya akan menimbulkan penyakit lain. (AP/Ng Han Guan)

Penentangan vaksin abad ke-20

Berbeda dengan masa sebelumnya di mana pusat kontroversi terletak pada vaksin cacar. Pada pertengahan 1970-an, penentangan terhadap vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) meletus di Eropa, Asia, Australia, dan Amerika Utara.

Penolakan terjadi setelah adanya laporan mengenai 36 anak di salah satu rumah sakit di London, Inggris, yang mengalami gangguan neurologis setelah mendapatkan vaksin DPT. Tak ayal, peristiwa itu pun memicu ketidakpercayaan masyarakat.

Meski lembaga kesehatan telah menegaskan keamanan vaksin, kebingungan publik terus berlanjut. Tak tanggung-tanggung, beberapa tenaga medis juga turut enggan merekomendasikan imunisasi kepada semua pasien.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak berhenti sampai di sana, 25 tahun setelah kontroversi vaksin DPT, Inggris kembali menjadi 'rumah' bagi bergejolaknya kaum anti-vaksin. Kali ini terkait vaksin MMR.

Pada tahun 1998, dokter di Inggris, Andrew Wakefield, merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut mengenai hubungan antara penyakit usus, autisme, dan vaksin MMR. Wakefield menuduh vaksin tidak diuji dengan benar sebelum digunakan. Hal itu jelas menimbulkan ketakutan dan kebingungan publik.

Masalahnya terletak pada thimerosal, senyawa yang mengandung merkuri, yang digunakan sebagai pengawet dalam vaksin. Senyawa ini menjadi pusat kontroversi vaksinasi dan autisme. Namun, hingga saat ini tidak ada cukup bukti yang mendukung hipotesa bahwa senyawa tersebut menyebabkan autisme pada anak.

Terlepas dari bukti ilmiah yang dianggap kurang, kekhawatiran akan thimerosal mendorong kampanye publik 'Green Out Vaccines', sebuah gerakan yang mendorong penghilangan racun dari vaksin karena dianggap dapat menyebabkan autisme.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menunjukan botol vaksin seusai melakukan vaksinasi Difteri di Gedung Pakuan, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (6/1). Gubernur Jabar mengajak masyarakat untuk melakukan vaksin Difteri mengingat Jawa Barat merupakan salah satu daerah kejadian luar biasa (KLB) Difteri.  ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/pd/18Ilustrasi vaksin difteri. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Gerakan anti-vaksin tak berhenti sampai di situ. Seiring berjalannya waktu, mereka terus gencar menyuarakan pendapatnya yang menganggap bahwa vaksin bisa memicu penyakit.

Resonansi penolakan itu disebarkan melalui informasi-informasi yang dibagikan di media sosial, termasuk saat pandemi seperti sekarang.

Sebuah analisis yang diterbitkan dalam International Journal of Environental Research and Public Health menemukan, pencarian terkait vaksin di internet telah meningkat. Kebanyakan dari pencarian tersebut bertepatan dengan dimulainya kampanye vaksinasi influenza.

Para peneliti menganalisis sejumlah studi yang telah mencari hubungan antara kelompok anti-vaksin dan penggunaan media sosial di masa modern.

Media sosial disebut berperan dalam penyebaran pendapat kelompok anti-vaksin. Twitter menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan. Ditemukan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan kelompok anti-vaksin memiliki jumlah interaksi, retweet, atau suka yang lebih banyak.

Studi lain juga menunjukkan bahwa sekitar 12 persen situs web dengan konten vaksin yang dibagikan di Twitter memiliki kredibilitas yang rendah. Banyak kelompok anti-vaksin kerap mengaitkan vaksin dengan autisme, yang dianggap sebagai salah satu efek samping vaksin.

(asr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER